Saat ini, saya sebenernya lagi
deg-degan. Iya, sih, deg-degan itu wajar, namanya juga punya jantung, kalau gak
nanti mati. Bukan, bukan itu. Maksudnya saat ini saya sedang gugup. Karena hari
rabu ini akan ada ujian masuk magister profesi psikologi UGM.
EEEHH?? UDAH LULUS SARJANA??
Iya, udah lulus. Belum dibahas ya? Nanti
deh ya dibahas kapan-kapan. Hehe. Pokoknya saat ini saya sedang gugup banget.
Cemas berlebihan. Eh, gak berlebihan juga sih. Pokoknya ya cemas gitu deh. Saya
baca buku jadi tidak konsen, buka web jadi tidak semangat, nonton yutub pun
tidak karuan. Pokoknya menjadi tidak jelas. Terlebih lagi, Jogja akhir-akhir
ini macet, membuat diri ini makin mager untuk keluar dari tempat persembunyian.
Wis-lah lengkap. Tapi, kan, tidak boleh membiasakan hal ini terjadi? Meksipun
insomnia saya semakin menjadi-jadi.
Akhirnya, saya memutuskan untuk menulis.
Meskipun sebenarnya saya seharusnya menulis cerpen karena ikut lomba cerpen.
Tapi, menulis dengan tema sedih di saat sedang bahagia, itu sama sulitnya
ketika menulis dengan tema bahagia di saat sedih. Ya, tidak bahagia secara
harfiah, tapi jantung yang berdetak tidak karuan ini bisa saya asumsikan
sebagai kegembiraan. Saya pikir begitu.
Lalu, apa yang akan saya tulis? Yang
akan saya tulis berkaitan dengan yang saya lakukan saat ini, terutama untuk
menghadapi ujian penyelesaian kasuistik psikologi klinis, wawancara, dan LGD.
Saya merasa bodoh setiap kali ditanyain oleh orang lain. Rasanya waktu berpacu
dengan cepat, karena saya punya kebiasaan untuk menjawab dengan spontan ketika
bertatapan langsung dengan orang tersebut. Makanya saya menghindari telpon atau
video call kecuali dari keluarga. Dan itulah yang menyebabkan saya takut
diwawancara dan membuat saya merasa gagal pas ujian IELTS.
EEEHHH? UJIAN IELTS?? BUAT APAA? KAPAN??
Ternyata saya juga belum menceritakan
ini. Nanti akan saya ceritakan juga deh, lika-liku ujian IELTS. Semacam review
gitu. Hasilnya tidak sesuai target tapi cukup memuaskan untuk pemula seperti
saya yang mudah gugup dan tidak ikut les IELTS, cuman ikut les TOEFL, itupun
cuman ikut 2 minggu. Iya, emang gak nyambung. Kapan sih hidup saya itu pernah
sejalan antara pikiran dan perilaku? Ehhh... gak juga... yaaa sebut saja
penghematan. Karena les 2 minggu itu 4 kali lipat lebih murah dari les IELTS 2
bulan di tempat les ternama.
Back to topic... Saya akan membahas
tentang tips melakukan analisis. Kenapa membahas ini? Karena saya sangat ingin
berbagi pentingnya membiasakan berpikir serius dan analitis, plus politis. Kita
sudah dewasa, sayang dong ya, otak yang sudah diberikan oleh Allah ini kita
sia-siakan. Apalagi IQ diatas 90. Sayang banget, tidak bersyukur namanya. Jadi,
mari kita gunakan dengan semaksimal mungkin. Terutama untuk berpikir serius.
Untuk jenjang berpikir ini sebetulnya ada
tiga, yaitu berpikir dangkal, mendalam dan cemerlang. Adapula yang disebut
dengan berpikir serius, mungkin akan saya bahas di lain kesempatan. Karena ini
cukup panjang dan butuh konsentrasi penuuuhhh... meskipun tulisan ini juga
membutuhkan konsentrasi penuh. Tapi, ya, tidak penuh banget.
Beberapa orang menyebut saya baik dalam
hal analisis. Saya juga tidak tahu kenapa, yang saya tahu saya hanya bisa
membaca masalah saja, tidak tahu solusinya. Haha... (eh, kembalikan dirimu
*tampar*) Dulu saya pernah dianjurkan masuk filsafat. Kebayang gak sih hidup
saya insightful banget, wkwk. Tapi, berakhir di psikologi, dan menyenangkan
juga ternyata menganalisis kepribadian dan fenomena sosial.
Setelah berpikir mengapa banyak orang
berpikir demikian dan saya berupaya untuk mencari penyebabnya, saya pun
menemukan rumusnya. Saya punya kebiasaan sejak SMP yang dimana saya lupa siapa
yang memberikan rumus itu. Terima kasih kepada guru SMP saya yang saya lupakan
namanya. Bukan, ini bukan karena saya kurang ajar (pembelaan), tapi karena saya
tidak sadar, ini terjadi begitu saja. Setiap kali akan mengerjakan soal, saya
selalu menggunakan rumus ini...
Diketahui
Ditanyakan
Dijawab
Entah, apakah teman-teman juga
menggunakan rumus ini. Rumus ini memudahkan kita untuk membedah soal, kasus,
pertanyaan, masalah dan apapun itu namanya. Sehingga kita bisa fokus terhadap
masalah yang telah diberikan dan fokus untuk solusinya. Ini saya lakukan untuk
semua pertanyaan kasuistik, bahkan termasuk pertanyaan remeh sekalipun. Ini
menjadi sebuah kebiasaan. Itulah yang saya gunakan. Saya rasa inilah penyebab
nilai saya bertahan. Setidaknya saya bisa membedah soal meskipun jawaban
ngawur, wkwk. Another hobby, membuat jawaban suka-suka dan rumus aneh.
Itu pemahaman ketika sekolah, ketika
kuliah beda lagi dong. Harusnya naik tingkat. Apalagi sebagai seorang ilmuwan
harus berpegang pada data ilmiah dan hasil penelitian, kan? Maka, yang biasanya
hanya 3 bagian di atas, bisa jadi akan banyak yang diperoleh dari “diketahui”.
Khasanah ilmunya makin luas, solid, dan kokoh. Menimbulkan banyak jawaban yang
masuk akal. Saat seperti ini saya tidak bisa menjawab sembarangan ala anak
sekolahan. Saya menjawab sesuai dengan peraturan yang ada. Haus akan ilmu
benar-benar terasa di sesi ini. Maka, untuk bagian “diketahui” akan menambah
sesuai kasus. Apakah kita butuh penelitian sebelumnya? Pandangan orang-orang
sekitar? Pandangan subjek? Sudut pandang lainnya? Bukti fisik? Bukti digital?
Persepsi? Semuanya!
Trus, gak hanya sampai disitu dong,
sampai juga pada keadaan sebagai seorang muslim. Tentunya sebagai seorang
muslim/ah, kita menyandarkan segalanya kepada Islam, termasuk dalam berpikir
analitis. Berpikir objektif bukan berarti otak kita kosong pada pemahaman
sebelumnya yang kita jadikan pemahaman acuan, tapi berpikir objektif artinya
sesuai dengan fakta dan disesuaikan dengan pemahaman acuan. Dengan demikian,
kita bisa menentukan keputusan yang sesuai dengan pemahaman acuan kita.
Misalnya, masalah pelacuran. Kita tidak bisa menjawab bahwa itu boleh saja asal
tidak ada yang dirugikan. Kita seorang muslim, maka pelacuran adalah haram
(disertai dengan dalil-dalilnya) dan upaya kita sebagai muslim untuk
menyelesaikan problem pelacuran. Begitu mudahnya. Sulitnya bisa kita pikirkan
lagi.
Menyatakan bahwa opini adalah lebih
rendah dari data penelitian sebenarnya adalah pembodohan tersistem dari sistem
sekuler saat ini. Kita dibentuk agar meninggalkan agama dari pikiran kita dan
berupaya, berpikir mandiri sebagai seorang manusia. Meninggalkan peran sebagai
hamba Allah yang dibebankan oleh hukum syara’. Berhasil? Jelas! Makanya, banyak
orang yang berpikir mendalam, tapi tidak cemerlang! Nanti akan dibahas lagi.
Munculnya pemahaman acuan disertai
pemahaman sebelumnya inilah yang disebut dengan proses analisis. Kita akan
mulai berpikir dari suatu kasus, menentukan apakah itu salah atau benar,
masalah atau tidak. Setelah itu, kita menentukan sikap, perbaiki atau tidak,
selesaikan atau biarkan. Nanti akan muncul lagi penyelesaiannya.
Lebih singkatnya, seseorang yang
berpikir analitis dan politis itu seperti burung yang terbang dan melihat
sesuatu secara keseluruhan. Tidak hanya melihat dari depan, kiri, kanan,
belakang, tapi termasuk di atas dan bawah. Dengan demikian, semua masalah bisa
terlihat polanya, bisa terlihat jawabannya.
Oh, ya, saran lainnya adalah dengan
tidak mencampur adukkan perasaan dan adil dalam melihat masalah. Banyak masalah
menjadi double masalah ketika kita membawa perasaan dan tidak adil dalam
menyikapinya. Berpikir dingin dan menenangkan diri adalah kunci ketika emosi
sudah tidak tertahankan. Entah emosi macam apa, sedih, marah, bahagia, atau
apapun. Ya, itulah kenapa Sherlock disebut sosiopat karena tidak menggunakan
perasaannya dalam menyelesaikan kasus. Tapi, kita juga manusia, punya perasaan.
Ya, tempatkan perasaan pada tempatnya. Jangan terlarut dengan keadaan. Memang
tidak ada manusia macam Sherlock. Dia hanyalah fiksi.
Terakhir tapi tetap penting, berpikir
analitis perlu didampingi berpikir politis. Kenapa? Karena berpikir analitis
akan sia-sia jika tidak berpikir politis. Politis bukan artinya hanya
kekuasaan, terlalu kecil maknanya kalau sampai disitu saja. Berpikir politis
maksudnya adalah suatu kejadian tidak lepas dari dampaknya bagi kehidupan
sosial. Sehingga, suatu fenomena kecil tidak bisa dianggap remeh. Bisa jadi itu
adalah satu domino yang akan menjatuhkan domino lainnya. Seperti butterfly effect, kepakan sayap
kupu-kupu di Barat menimbulkan badai di Timur. Ya, kurang lebih begitu.
Tentu saja ini tidak bisa didapatkan
secara instan. Banyak membaca buku, belajar, berdiskusi, menyelesaikan kasus
adalah kuncinya. Selain dari mendengarkan, menerima kritikan dan saran,
menghadapi masalah, dan tentunya berpikir! Jangan malas berpikir. Jangan
menghindar dari masalah. Jangan kebanyakan bercanda. Hidup tidak sesantai yang
kita pikirkan!
Lagi!
Berpikir tidak merusak otak, tapi bahkan
memperbaikinya. Penelitian menunjukkan berpikir akan menyehatkan otak dan
mencegah demensia dan alzheimer.
Well, kecuali kalau kamu punya penyakit
keturunan. Who knows!
Terus berpikir serius!
Wallahu alam
Saatnya kembali belajar.... Doakan semoga lulus yaa!
Komentar
Posting Komentar