Beberapa hari
yang lalu saya diwawancarai oleh seorang teman. Saya menduga itu adalah untuk
memenuhi tugas salah satu mata kuliah. Karena saya juga mendapat tugas yang
sama, haha. Selain itu, saya juga menduga tema dari wawancara ini adalah “Self Control”. Hei, itu adalah hak
seorang narasumber untuk menebak arah wawancara, bukan? Itu hak siapa saja.
Meskipun demikian, saya tidak memimpin wawancara dan membiarkan si pewawancara
untuk memimpin.
“Apa yang
Anda lakukan jika menghadapi masalah?”
Ingin saya
tanya balik, ‘emangnya apa yang harusnya dilakukan?’. Tidak ada yang bisa saya
pikirkan selain, ‘ya, tentu saja saya akan hadapi masalah tersebut dengan lapang
dada (?)’. Bagi saya, masalah adalah sebuah masalah. Membuat sakit kepala dan
menyebalkan. Tapi, mau tidak mau harus dihadapi, karena masalah pasti berlalu. Lagipula,
ditinggalkan atau dihadapi, tetap saja masalah itu datang.
“Masalah
besar seperti apa yang pernah Anda alami?”
Saya perlu
memikirkan hal tersebut dengan kepala yang agak pusing. Sudah lama saya belum
menghadapi masalah. Bukan, bukan. Maksudnya, untuk ukuran sebuah masalah yang
sangat besar, alhamdulilah, sampai saat ini belum ada. Kecuali masalah untuk
membuang rasa malas dalam diri. Itu masalah yang cukup besar.
Seperti sebelumnya,
setiap orang mempunyai ukurannya masing-masing mengenai masalah yang ia hadapi.
Besar ataupun kecil. Begitu pun saya. Tapi, saking seringnya menghadapi masalah
(atau membuat masalah?), saya sampai-sampai bingung yang manakah yang dimaksud
dengan masalah besar? Karena semua telah berlalu, semua masalah tadi bukanlah
menjadi masalah. Melainkan masa lalu.
“Apa
tanggapan orang lain jika Anda menyelesaikan masalah?”
Hal ini juga
membuat saya mengeryitkan dahi. Apa perduli orang dengan masalah saya? Saya tidak
pernah memperhatikan pandangan orang lain mengenai masalah saya, atau bagaimana
mereka melihat saya menyelesaikan masalah, atau bagaimana saya memutuskan suatu
hal. Bukankah orang-orang tidak akan perduli apa masalahmu, karena mereka pun
juga punya masalah mereka sendiri. Sekedar tahu, mungkin itu cukup. Itulah manusia
zaman sekarang. Memangnya saya bukan manusia zaman sekarang?
Saya termasuk
orang yang tidak suka menceritakan masalah saya kepada siapapun, karena bagi
saya, tidak ada satupun yang akan memperdulikannya. Tidak ada siapapun yang
bisa menyelesaikan masalah saya kecuali saya sendiri. Menceritakannya hanya
akan membuat saya lelah, saya mudah lelah, sih. Selain itu, bukankah mereka
juga punya masalah mereka sendiri.
Tapi, tidak
juga. Curhat adalah bentuk terapeutik yang bagus untuk mengurangi stress
sebagai dampak dari menghadapi masalah. Jika seseorang menghadapi masalah,
berceritalah kepada orang yang dipercayai mungkin akan menyimpan semua cerita. Keluarga
atau sahabat. Saya tidak begitu bisa bercerita kepada keluarga saya, karena
keluarga saya sudah cukup lelah menjalani hidup. Maka, semua “sampah” saya
berikan kepada sahabat saya. Dan begitu pula sebaliknya. Bukankah seperti itu
sebuah persahabatan? Saling merepotkan? Haha. Selain itu, saya berfikir, bahwa
sedekat-dekat apapun sahabatmu, ia tidak akan memikirkan masalahmu
sampai-sampai tidak bisa tidur. Berbeda dengan keluarga. Sejauh-jauhnya kalian,
keluarga akan memikirkanmu, bahkan hingga sekecil-kecilnya.
Well, untuk
pembahasan mengenai keluarga dan sahabat mungkin bisa lain kali. Ha!
“Apa
pertimbangan Anda dalam menyelesaikan masalah, mengapa Anda memilih hal itu?”
Hei,
pelan-pelan. Bagi seorang muslim, tentu saja yang terpenting dalam
menyelesaikan masalah adalah menggunakan pertimbangan hukum syara’. Bagaimana syara’
memandang suatu masalah dan penyelesaiannya, haram atau halal. Baik atau buruk
tentunya harus dikembalikan kepada hukum syara’. Kenapa? Karena kita seorang
muslim. Kenapa? Karena kita yakin bahwa kita akan mati. Kenapa? Karena kita
yakin bahwa kita harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita kepada
Allah. Ada malaikat yang mencatat semua perbuatan kita. Dan dari semua itu,
itulah yang disebut sebagai konsekuensi hidup seorang muslim.
Itulah
beberapa pertanyaan yang saya ingat dan beberapa hal yang menarik untuk
ditulis. Bagi saya, pertanyaan itu cukup menohok dan membutuhkan konsekuensi
dalam menjawabnya. Yaitu, menerapkannya! Berbicara tanpa menerapkan ‘kan adalah
hal yang sia-sia! Jadi, bagaimana cara menghadapi masalah?
Ya, hadapi
saja!
Yogyakarta,
21 April 2017
18.55
Komentar
Posting Komentar