Face It!




Beberapa hari yang lalu saya diwawancarai oleh seorang teman. Saya menduga itu adalah untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah. Karena saya juga mendapat tugas yang sama, haha. Selain itu, saya juga menduga tema dari wawancara ini adalah “Self Control”. Hei, itu adalah hak seorang narasumber untuk menebak arah wawancara, bukan? Itu hak siapa saja. Meskipun demikian, saya tidak memimpin wawancara dan membiarkan si pewawancara untuk memimpin.
“Apa yang Anda lakukan jika menghadapi masalah?”
Ingin saya tanya balik, ‘emangnya apa yang harusnya dilakukan?’. Tidak ada yang bisa saya pikirkan selain, ‘ya, tentu saja saya akan hadapi masalah tersebut dengan lapang dada (?)’. Bagi saya, masalah adalah sebuah masalah. Membuat sakit kepala dan menyebalkan. Tapi, mau tidak mau harus dihadapi, karena masalah pasti berlalu. Lagipula, ditinggalkan atau dihadapi, tetap saja masalah itu datang.
“Masalah besar seperti apa yang pernah Anda alami?”
Saya perlu memikirkan hal tersebut dengan kepala yang agak pusing. Sudah lama saya belum menghadapi masalah. Bukan, bukan. Maksudnya, untuk ukuran sebuah masalah yang sangat besar, alhamdulilah, sampai saat ini belum ada. Kecuali masalah untuk membuang rasa malas dalam diri. Itu masalah yang cukup besar.
Seperti sebelumnya, setiap orang mempunyai ukurannya masing-masing mengenai masalah yang ia hadapi. Besar ataupun kecil. Begitu pun saya. Tapi, saking seringnya menghadapi masalah (atau membuat masalah?), saya sampai-sampai bingung yang manakah yang dimaksud dengan masalah besar? Karena semua telah berlalu, semua masalah tadi bukanlah menjadi masalah. Melainkan masa lalu.
“Apa tanggapan orang lain jika Anda menyelesaikan masalah?”
Hal ini juga membuat saya mengeryitkan dahi. Apa perduli orang dengan masalah saya? Saya tidak pernah memperhatikan pandangan orang lain mengenai masalah saya, atau bagaimana mereka melihat saya menyelesaikan masalah, atau bagaimana saya memutuskan suatu hal. Bukankah orang-orang tidak akan perduli apa masalahmu, karena mereka pun juga punya masalah mereka sendiri. Sekedar tahu, mungkin itu cukup. Itulah manusia zaman sekarang. Memangnya saya bukan manusia zaman sekarang?
Saya termasuk orang yang tidak suka menceritakan masalah saya kepada siapapun, karena bagi saya, tidak ada satupun yang akan memperdulikannya. Tidak ada siapapun yang bisa menyelesaikan masalah saya kecuali saya sendiri. Menceritakannya hanya akan membuat saya lelah, saya mudah lelah, sih. Selain itu, bukankah mereka juga punya masalah mereka sendiri.
Tapi, tidak juga. Curhat adalah bentuk terapeutik yang bagus untuk mengurangi stress sebagai dampak dari menghadapi masalah. Jika seseorang menghadapi masalah, berceritalah kepada orang yang dipercayai mungkin akan menyimpan semua cerita. Keluarga atau sahabat. Saya tidak begitu bisa bercerita kepada keluarga saya, karena keluarga saya sudah cukup lelah menjalani hidup. Maka, semua “sampah” saya berikan kepada sahabat saya. Dan begitu pula sebaliknya. Bukankah seperti itu sebuah persahabatan? Saling merepotkan? Haha. Selain itu, saya berfikir, bahwa sedekat-dekat apapun sahabatmu, ia tidak akan memikirkan masalahmu sampai-sampai tidak bisa tidur. Berbeda dengan keluarga. Sejauh-jauhnya kalian, keluarga akan memikirkanmu, bahkan hingga sekecil-kecilnya.
Well, untuk pembahasan mengenai keluarga dan sahabat mungkin bisa lain kali. Ha!
“Apa pertimbangan Anda dalam menyelesaikan masalah, mengapa Anda memilih hal itu?”
Hei, pelan-pelan. Bagi seorang muslim, tentu saja yang terpenting dalam menyelesaikan masalah adalah menggunakan pertimbangan hukum syara’. Bagaimana syara’ memandang suatu masalah dan penyelesaiannya, haram atau halal. Baik atau buruk tentunya harus dikembalikan kepada hukum syara’. Kenapa? Karena kita seorang muslim. Kenapa? Karena kita yakin bahwa kita akan mati. Kenapa? Karena kita yakin bahwa kita harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita kepada Allah. Ada malaikat yang mencatat semua perbuatan kita. Dan dari semua itu, itulah yang disebut sebagai konsekuensi hidup seorang muslim.
Itulah beberapa pertanyaan yang saya ingat dan beberapa hal yang menarik untuk ditulis. Bagi saya, pertanyaan itu cukup menohok dan membutuhkan konsekuensi dalam menjawabnya. Yaitu, menerapkannya! Berbicara tanpa menerapkan ‘kan adalah hal yang sia-sia! Jadi, bagaimana cara menghadapi masalah?
Ya, hadapi saja!
Yogyakarta, 21 April 2017
18.55

Komentar