Industri Pendidikan


“Islam adalah agama yang sempurna, maka tentunya Islam memiliki aturan dalam kehidupan kita, termasuk dalam pendidikan.”
Itu adalah kalimat pertama pembukaan saya ketika akan presentasi mengenai tujuan pendidikan dalam perspektif Islam di mata kuliah psikologi pendidikan. Siapa sangka saya punya kesempatan besar dalam menyampaikan sore itu? Dengan jumlah mahasiswa sekitar 50 orang dan perhatian tertuju kepada saya (dikira miss Universe, haha), maka saya menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin.
Pendidikan dalam Islam adalah hal yang sangat penting, bahkan wajib hukumnya untuk menuntut ilmu Islam. Baik bagi laki-laki ataupun perempuan, semuanya berkewajiban untuk belajar. Tanpa memandang usia, strata sosial, budaya, bangsa, dan sebagainya. Semua wajib belajar.
Karena Islam memandang muslim wajib berpendidikan, maka institusi negara haruslah memfasilitasi semua itu. Negara berkewajiban untuk memberikan fasilitas kepada rakyatnya untuk mendapatkan ilmu. Fasilitas yang diberikan haruslah berkualitas tinggi dan mudah diakses oleh siapa saja.
Islam memiliki tujuan untuk menjadikan tiap muslim berkepribadian Islam dan menguasai IPTEK dengan pendidikan. Secara garis besarnya demikian. Pada awalnya, seorang muslim akan dikenalkan dulu pada Tuhannya, yaitu Allah subhanallahu wa ta’ala. Di masa awal pertumbuhannya, ia akan belajar mengenai akidah. Akidah islam yang sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya diharapkan mampu menjadikan seorang muslim itu bertakwa. Sehingga kuatlah semua pemikirannya dalam menjalani hidup. Ia jadi paham dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan akan kemana ia pergi setelah hidup.
Setelah seorang muslim bertakwa, ia akan diajari untuk memiliki kepribadian Islam. Kepribadian ini terdiri dari cara ia berfikir dan bersikap. Bagaimana cara ia memecahkan masalahnya atau memandang suatu masalah, dan bagaimana cara ia memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Kepribadian Islam ini lahir secara alamiah ketika nilai-nilai Islam telah terinternalisasi dalam dirinya. Kepribadian inilah yang akan melahirkan akhlakul karimah.
Selanjutnya, setelah memiliki akhlakul karimah, seorang muslim akan dianggap bahagia dalam kehidupannya di dunia dan di akhirat. Apa yang dimaksud dengan bahagia? Banyak orang menggambarkan kebahagian berdasarkan persepsinya masing-masing. Ada yang mengatakan bahwa bahagia adalah uang, karena ia memiliki pola pikir materialis. Apakah kebahagian sebenarnya seorang muslim?
Seorang muslim yang menjadikan Islam sebagai kepribadiannya memiliki kebahagiaan yang khas. Ia menjadikan ridho Allah sebagai satu-satunya kebahagian tertinggi dalam hidupnya. Bahkan ketika hidup itu terasa menyenangkan. Atau hidup itu terasa menyulitkan. Atau hidup itu terasa biasa-biasa saja. Ia akan mensyukuri semuanya karena ia bahagia. Karena ia hanya mengharapkan ridho Allah. Ia menjalani semua kehidupannya sesuai dengan perintah Allah Subhanallahu wa ta’ala.
Salah satu penelitian payung yang sedang dijalani oleh seorang dosen di kampus saya, sebut saja Pak Diponegoro, adalah materialis. Beliau ingin mengungkap kebahagiaan yang sebenarnya. Karena banyak sekali masyarakat Indonesia yang bahagia meskipun tanpa uang. Dan nyatanya, memberi itu lebih membahagiakan daripada menerima. Masya Allah!
Nah, dari ketiga poin di atas, harusnya mampu membentuk manusia menjadi pribadi yang bertakwa dan menguasai IPTEK di dunia. Sayangnya, pendidikan saat ini, tidak membentuk pribadi yang seperti itu. Dunia kapitalis ini, mana mau repot-repot membuat hal-hal seperti ini. Orang-orang serakah selalu lupa bahwa mereka tidak hidup selamanya. Mereka merusak dunia, dan menumbuhkan generasi perusak, karena hilangnya peran besar sebuah pendidikan.
Seringkali, pendidikan hanya dibatasi sebagai sebuah hal untuk menyiapkan tenaga kerja. Manusia berubah menjadi robot yang diprogram untuk menghasilkan sesuatu bagi orang-orang yang berkuasa. Tidak sepersen pun untuk diri mereka sendiri dan umat. Robot-robot individualis bertarung untuk memuaskan penguasa egois. Dunia yang sangat miris.
Selain itu, seperti salah seorang teman yang memaparkan adanya praktik eksploitasi anak (yang membuat anak harus bekerja, bukan sekolah) adalah masalah yang diakibatkan oleh salahnya pemikiran mengenai pendidikan. Mereka tidak punya uang, maka anak-anak pun diperkerjakan. Andai mereka berkecukupan, hal seperti ini tidak akan terjadi.
Pendidikan yang mahal, fasilitas seadanya, itupun sulit untuk diakses, menyukseskan agenda kapitalis untuk mencekik kita. Pendidikan saat ini sangat bagus sebagai bahan komersil. Semuanya dijual, semuanya berbayar. Keikhlasan untuk menuntut ilmu pun buyar. Menuntut pelajar untuk tidak mengejar “angka” adalah percuma. Nihil. Mereka sudah terlatih dengan baik untuk mencintai “angka”.
Sudah saatnya Islam kembali di tengah-tengah masyarakat. Membentuk peradaban yang cemerlang. Mentransformasi potensial umat Islam menjadi aktualisasi yang mencerahkan. Karena Islam pernah diterapkan dalam kehidupan dunia dan terbukti menyehatkan. Kehidupan itu pun akan kembali.
Berjuang! Karena diammu bukan solusi. 
Berjuang! Karena hidup hanya sekali. 
Berjuang! Karena hanya itulah pilihan dalam hidup ini. 
Lillah bukan lighirah!

Yogyakarta, 24 Maret 2017

21.43 WIB

Komentar