Pada siang yang terik, saya dan dua orang teman
baru saja pergi dari Islamic Center setelah melaksanakan tugas negara, yakni
belajar tahsinul Qur’an. Mengapa ini disebut sebagai tugas negara? Karena
negara bertugas (seharusnya) untuk mendorong rakyatnya bertakwa kepada Allah
subhanallahu ta’ala. Nah, salah satunya adalah dengan belajar membaca Qur’an,
agar kelak kita bisa membaca, menghapal, mengajari dan mengamalkan Qur’an.
Masya Allah.
Baiklah, setelah menyelesaikan tugas negara, kami
melanjutkan untuk mengisi energi yang sebenarnya tidak perlu diungkapkan dalam
kisah ini karena sama sekali tidak ada hubungannya dengan paragraf selanjutnya.
Bagaikan adegan tidak penting yang ada di anime-anime, maka bagian ini
diabaikan saja dan langsung berpindah ke setting kios-kios buku di pinggir
jalan, tepat di samping sebuah universitas swasta di Yogyakarta.
Kenapa saya sampai berada di sana? Semua hanyalah
kebetulan. Awalnya, setelah melaksanakan tugas negara itu, saya ingin langsung
pulang dan menunaikan tugas orangtua, yaitu mencuci pakaian. Tapi, karena teman
saya mengatakan bahwa mereka akan pergi membeli buku untuk kuliah, maka saya
berminat untuk ikut. Lumayan, saya bisa tahu buku-buku apa saja yang akan
mereka beli. Siapa tahu saya dibelikan? Eh, bisa nebeng untuk belajar juga,
kan, lumayan!
Saya hampir terserang serangan jantung setelah
mendengar suara klakson yang dibunyikan oleh seseorang dari belakang saya.
Sebenarnya saya tidak salah (bukan maksud membela diri), tapi karena teman yang
ada di depan saya itu menyalakan lampu ke arah kiri sementara ia berbelok ke
kanan. Apalah saya ini yang hanya orang biasa, yang tak sempurna dan kadang
salah.
Setelah membatin beberapa detik, saya segera
memarkir motor dengan baik dan benar sesuai aturan yang berlaku. Seketika saya mencium
bau anyir. Bukan, bukan berasal dari kiosnya, tapi berasal dari genangan air
yang entah berasal dari mana dan mengalir menuruni jalan raya. Kios tampak
begitu ramai dengan kehadiran mahasiswa-mahasiswa yang datang membeli buku, meski
ada juga yang hanya melihat dan berniat membeli suatu saat nanti (itu saya).
Dua orang teman saya sudah lebih dulu menuju kios
dan bercakap-cakap dengan penjual buku itu. Entah apa yang dibicarakan, saya
masih memperhatikan banyaknya buku yang ada di kios kecil itu. Masih menjadi
misteri bagi saya, betapa kerennya pekerjaan ini. Penjual buku seperti ini
cukup hapal dengan buku-buku yang ia jual. Bahkan dengan tahun terbitan yang
cukup lama dan susunan buku yang tidak teratur. Inilah yang namanya profesionalitas.
Saya selalu suka tiap kali ke toko buku, serasa milik sendiri.
Sampai pada suatu percakapan, ketika penjual
menyampuli buku-buku dengan sampul plastik, seorang teman bertanya, “Mas, buku
yang itu, harganya berapa?”
“500.000, mbak.” Jawab Mas Penjual sambil terus
menyampul buku.
“Hah? Itu, kalau 3 jadinya 1.500.000?” Saya
menyeletuk. Buku itu punya tiga jilid, yang nampaknya harus dibeli semua. Harga
yang lumayan ekstrim untuk sebuah buku.
“Iya.”
“Kalau yang itu?” Teman saya menunjuk sebuah buku
lagi. Sebagai pengetahuan, teman saya ini hanya bertanya, tidak ada niatan
untuk membeli.
“Ehm, yang itu 200.000 kalau yang ori, yang KW sih
100.000. Itu udah paling bagus banget. Kalau yang lebih murah lagi sih ada yang
50.000” Jawab Mas Penjual kali ini sambil melihat kami. Kami hanya
mengangguk-angguk saja. Lagian, hari itu, teman saya sudah merelakan uangnya
untuk membeli buku. Total, 2.400.000 untuk 40 buku dari 10 orang. Tajir
mendadak kan si Masnya? Meskipun Mas Penjual hanya mendapat sedikit keuntungan,
tapi lumayan juga. Jadi, ini adalah sesi curhat dan tanya jawab.
“Wih, untung aku gak lulus di fakultas kedokteran.
Kalau gak, tekor kali.” Ujar salah satu teman. Saya dan teman lainnya hanya
mengangguk.
“Udah mahal kuliahnya, mahal bukunya, praktikumnya...
Lama lulusnya (T.T)” Saya menambahkan. Hei, ini bukan berarti saya menghakimi
fakultas kedokteran. Hanya saja, untuk saya, kedokteran itu cukup horor. Kuliah
di psikologi saja sudah membuat saya pusing, apalagi kedokteran. Perilaku
generalisir dan prasangka yang tidak boleh ditiru.
Teman saya yang lainnya hanya mengangguk-anggukkan
kepala. Ketika itu, saya melihat ke semua buku-buku yang ada di kios kecil itu.
Aih, betapa ilmu itu begitu mahal. Sangat mahal, terlebih ketika dijadikan
sebagai bahan komersial. Harga pendidikan begitu mahal. Mungkin, bisa jadi,
harga kursi di sekolah atau perguruan tinggi bisa semahal harga kursi di dewan
perwakilan rakyat. Saking mahalnya.
Perjuangan begitu keras, pengeluaran uang begitu
banyak. Untuk membayar uang kuliah per semester, seragam jika ada, praktikum
jika ada, buku-buku wajib dan pegangan, magang jika ada, kuliah kerja nyata,
dan sebagainya. Bersyukurlah karena Allah ta’ala benar-benar mengatur rezeki
yang baik untuk kita melalui orang tua. Tapi, bukan itu permasalahannya. Karena
jika kita melihat dari teori rezeki, sudah pada dasarnya rezeki itu diatur oleh
Allah. Mau bagaimana lagi? Tidak bisa diutak-atik.
Manusia bukan ranahnya mengatur apakah ia mendapat
rezeki dari Allah hari ini atau tidak, dalam bentuk materil atau tidak,
disadarai atau tidak, dan sebagainya. Bukan itu. Manusia hanya ditugaskan untuk
berusaha dan bertawakal. Berusaha untuk menjemput rezeki dengan cara yang baik,
dan bertawakal akan pemberian dari Allah.
Permasalahan muncul ketika ada manusia-manusia
yang suka sekali menyusahkan manusia dengan mengomersilkan kebutuhan-kebutuhan
pokok manusia dengan tidak manusiawi. Sudah mengomersilkan, tidak manusiawi
pula. Pendidikan, kesehatan dan layanan publik menjadi sesuatu yang privasi. Maknanya,
menjadi miliki perorangan, bukan lagi miliki orang banyak. Betapa banyaknya
orang kesulitan untuk mendapatkan jasa pendidikan, kesehatan dan layanan
publik. Sementara sekian persen penduduk dunia mendapatkan yang semua jasa
terbaik dari belahan bumi ini.
Padahal sekian persen dari mereka, tidak pernah
dijanjikan sebagai pemilik bumi. Mereka bukan pula alasan dibentuknya bumi ini.
Bukan. Mereka hanyalah manusia yang diciptakan oleh Allah dengan tujuan yang
sama seperti manusia lainnya. Lalu mengapa kehidupan mereka menjadi lebih baik
ketimbang yang lainnya? Siapakah yang salah?
Pendidikan yang mahal ini adalah hasil dari sistem
yang mengerikan, kapitalisme. Diterima atau tidak, itulah yang sebenarnya. Coba
kita pikirkan, banyak orang tidak belajar, karena tidak punya uang. Mereka
tidak punya uang, karena tidak bekerja. Sementara, pekerjaan saat ini
membutuhkan ijazah. Setidaknya untuk pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan
pundi-pundi uang yang menggiurkan. Kalaupun tidak dengan ijazah, dengan ilmu
yang mereka miliki. Tapi apalah, jangankan ilmu, atau ijazah, uang untuk
sekolah saja tidak punya. Karena apa? Karena... ah, karena itulah.
Sistem kejam yang dipaksakan untuk manusia ini
berasal dari manusia jenis lain yang tamaknya luar biasa dan merasa matahari
mengelilingi mereka. Sekian persen manusia yang mendukung, hanya mereka-mereka
yang merasa diuntungkan. Tidak perduli dengan orang lain, dengan penderitaan
orang lain. Menjijikan dan sama sekali tidak tahu diri, sakit jiwa nomor
sekian. Mereka sudah menjual jiwa mereka kepada iblis-iblis dengan berbagai
perjanjian yang mengerikan. Mempertaruhkan nyawa, jiwa dan akal sehat.
Pendidikan bukan sekedar pendidikan. Dalam Islam,
pendidikan bernilai tinggi. Bukan sembarang hal. Pendidikan mampu mengubah
manusia dari peradaban yang merosot, menuju peradaban yang gemilang. Allah
telah mewajibkan setiap muslim dan muslimah untuk menempuh pendidikan, menimba
ilmu dan berkarya dengan ilmu. Akhirnya, negara, sebagai fasilitas utama,
berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Bukan menjualnya!
Pendidikan adalah harga diri sebuah negara.
Bayangkan! Sebuah negara dengan sistem pendidikan terbaik. Para cendikiawan
bertebaran di penjuru negeri. Angka kelulusan dengan nilai terbaik tinggi.
Angka melek huruf tinggi. Titel sebagai negara dengan pendidikan terbaik
diusahakan. Betapa banyaknya negeri yang berusaha meraih titel itu. Mereka
berusaha dengan keras “memaksa” pelajar untuk meraih titel itu demi negara!
Hasilnya? Banyak negara mendapat predikat itu,
sebutlah Finlandia dan Korea Selatan. Tapi, tumbal pun bertebaran. Stress
karena belajar, bunuh diri, amoral, kriminalitas menjadi hal yang biasa di
negeri tersebut. Tidak heran. Pemaksaan tetap bukanlah hal yang baik. Menjadi
pahlawan negara tentunya membutuhkan pengorbanan. Termasuk, mungkin, akal
sehat.
Sampai kapan pendidikan menjadi sekedar titel?
Mungkin kita akan membahas lebih jauh lain kali.
Mahalnya harga pendidikan membuat semua orang
tercekik. Siapa saja. Orangtua sakit kepala, pengajar sakit kepala, pelajar
ikut sakit kepala. Tidak ada yang berbahagia, hanya bisa menelan pil pahit
kesabaran. Kesabaran yang dipaksakan.
Orang-orang yang berkewajiban (baca : pemerintah)
tidak menyadari bahwa pendidikan adalah hal yang penting dan hak semua warga
negara. Menjadikan pendidikan sebagai bahan komersil bukanlah jawaban dari
semua masalah. Seperti menjual udara pada manusia. Apa yang terjadi ketika kita
tidak mempunyai uang? Tidak usah bernapas, karena tidak ada uang untuk membeli
udara. Mati.
Sistem kapitalis telah sukses merancang
orang-orang yang berkewajiban menjadi bussinessman. Bukan lagi sebagai pelayan
masyarakat, tapi penjual. Lupa diri. Inilah sulitnya karena uang menjadi
patokannya. Kalaupun bukan uang, tentunya kemanfaatan dan kenikmatan yang ada
di dunia. Tidak perlu dipungkiri, karena itu benar adanya.
Memikirkan banyak hal, pada akhirnya membuat saya
tersadar untuk pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 16.00. Saya dan
teman-teman pun meninggalkan kios buku dengan perasaan yang beragam. Saya
sendiri merasa tidak tahu harus merasakan apa. Karena, dunia semakin tua.
Orang-orang rakus semakin tidak sadar diri dan tidak tahu kapan harus berhenti.
Orang-orang lemah semakin lelah dan tidak tahu harus melakukan apa.
Saat itu, saya memikirkan, seperti apa tanggapan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi salam mengenai kondisi umat saat ini. Mungkin
menangis.
Yogyakarta, 8 Maret 2017
Komentar
Posting Komentar