Saya
membuat tulisan tentangnya lagi.
Saya
tidak tahu kenapa tapi saya hanya ingin menuliskannya lagi. Mungkin untuk
sekedar melepaskan sesuatu yang-tidak-saya-tahu-apa-itu tapi membebani saya.
Untuk
bertahun-tahun, semenjak ia meninggalkan saya. Kehidupan saya tetap berjalan
sebagaimana mestinya. Bukankah kehidupan memang seperti itu? Ditinggalkan,
tentu rasanya sangat berat sekali untuk awalnya. Tapi pada akhirnya, kita akan
melepaskan rasa keberatan itu, secara rela maupun terpaksa. Karena apapun yang
ingin kita lakukan, semua sudah terjadi. Mau melakukan apalagi?
Saya
bukan orang yang mudah merelakan kepergian, terlebih untuk orang-orang yang
sangat dekat dengan saya. Entah apakah saya menyayanginya, atau sekedar
mengenalnya. Segala sesuatunya menjadi sulit. Terlebih ketika kita sudah
membuat angan-angan tentang masa depan, dan ia adalah salah satu pemeran dalam
kisah masa depan itu. Lalu, ia pergi, musnahlah semuanya. Meskipun, masa depan
tetap harus dihadapi. Ada maupun tidak ada dirinya.
Padahal,
apalah yang saya lakukan dengannya? Apalah interaksi antara kami berdua? Tidak
ada ingatan yang tepat untuk menggambarkannya kecuali hanya kepingan-kepingan
kecil yang mulai terkikis oleh waktu. Mulai terlupakan. Karena waktu bersamanya
sangat sedikit. Begitupun waktu untuk mengingat dirinya dan kebersamaan itu.
Semua ini menjadi sulit.
Apalah
semua hal itu. Bukankah keadaan akan sama saja tanpa dirinya. Memangnya jika ia
pergi dunia akan berakhir? Jika ia pergi mungkin duniamu akan berakhir, tapi
dunia tetap berjalan dan meninggalkanmu sendiri. Kau terpaksa harus membangun
duniamu sendiri, tanpanya.
Saya
mencoba untuk mengabaikan waktu-waktu ia pergi, tapi beberapa kejadian, baik
yang menimpa diri saya sendiri maupun orang lain, mampu mengembalikan saya akan
penyesalan yang tiada henti dan yang tidak-saya-tahu-apa-itu. Mungkin inilah
saatnya saya untuk menyampaikannya.
...
Ia muncul
di mimpi-mimpi saya, menghibur ketika rindu. Namun malah kehadirannya membuat
saya bertambah rindu. Pada saat itu, saya sadar pertemuan dengan orang yang
pergi bukan berarti menghapus kerinduan, tapi menambah kerinduan. Karena kita
yakin ia telah pergi, akan pergi dan tidak akan pernah kembali. Tidak pernah
‘benar-benar’ kembali.
Saya
tidak pernah menangis dalam mimpi itu. Saya tidak tahu mengapa. Tapi saya tidak
pernah bersemangat ketika bangun. Hanya saja, ketika bangun, hati ini rasanya
aneh untuk hal-hal yang tidak saya mengerti. Saya merasa sedih, tapi tidak tahu
karena apa.
Mungkin
sangat naif jika menjadikan mimpi sebagai sandaran, tapi izinkan saya
meyakininya. Lagipula Freud menjadikan mimpi sebagai bagian dari manifestasi
keinginan manusia. Mungkinkah sebesar itu saya menginginkan keberadaannya? Saya
tidak tahu.
...
Ia adalah
seseorang yang tidak pernah tergantikan dalam kehidupan saya dan kehidupan
orang-orang di sekitarnya. Ia adalah orang yang baik dan saya berharap ia akan
baik-baik saja di sana. Suatu tempat yang saya harapkan bisa melindunginya dari
apapun yang mengancamnya. Tapi saya yakin semua kebaikkannya telah mengundang
do’a-do’a dari banyak orang.
Dari
tawanya, akan terlihat ketulusan. Dari tangisnya, akan terlihat kebaikkan. Dari
kemarahannya, akan terlihat ketegasan. Dari suaranya, akan terlihat kecerdasan.
Dari matanya, akan terlihat ide-ide besar. Dari semuanya, akan terlihat seorang
lelaki yang menyenangkan.
Mungkin
agak berlebihan, tapi inilah gambaran subyektif seseorang yang ditinggalkan
olehnya dengan kenangan yang hanya sepotong-sepotong saja. Tanpa mengurangi
semuanya, saya berharap ia bahagia saat ini. Tanpa merasakan kesakitan lagi.
...
Saat itu,
semua keluarga berkumpul. Tampaknya adalah hari peringatan kepergiannya. Entah
yang keberapa tahun. Yang pasti, semuanya berkumpul saat itu. Semua dalam
keadaan baik-baik saja. Seperti hari biasanya. Seperti hari Jum’at. Ada apa
dengan hari Jum’at? Karena saya menyukai hari Jum’at. Hari yang menyenangkan.
Saya mempunyai kenangan tersendiri dengan hari Jum’at. Maka setiap hari yang
menyenangkan, itulah hari Jum’at.
Langit
cerah, tampak dengan jelas berwarna biru dan sedikit awan putih. Tapi, tidak
panas dan tidak dingin. Rasanya menyenangkan. Anginnya sejuk, aroma wewangian
yang dibakar oleh nenek diterbangkan olehnya di seluruh ruangan. Semua orang
yang datang telah pergi, hanya tersisa kami, keluarga-keluarga yang
ditinggalkan.
Adik-adik
sepupu saya yang masih sangat muda berlarian tanpa menghiraukan orang-orang
yang mengangkat piring-piring sisa makanan. Teriak sana, teriak sini. Jatuh di
sana, jatuh di sini. Menangis di sana, menangis di sini. Dimarahi di sana,
dimarahi di sini. Dipeluk di sana, di peluk di sini. Semua kehebohan ini
membuat paman saya bergumam, “Andai masih di sini, ia pasti menyukai keadaan
ini.”
Saat itu
saya mulai menyukai keributan anak-anak kecil. Mungkin inilah yang disebut,
jika orang yang kau cintai mencintai sesuatu, maka kaupun mencintainya. Lalu,
entah bagaimana ceritanya, dengan mengerahkan semua pikiran, saya masih belum
memahaminya, ia keluar dari kamarnya!
Semua
dari kami terkejut, dalam sisi yang menyenangkan. Dia tampak seperti bangun
tidur dan duduk di kursi yang ada di depan TV. Menonton. Tapi anehnya, untuk
hal yang baik, semua dari keluarga menyambutnya seperti tidak terjadi apa-apa
selama beberapa tahun terakhir. Seperti, seperti, seperti ia adalah seorang
putri tidur yang tertidur ratusan tahun dan pasti akan bangun. Bukankah
kepergiannya bukanlah sesuatu yang akan membuat ia kembali? Tapi dunia ini,
dunia yang saat ini saya tinggali bukanlah dunia yang melibatkan akal sehat.
Semua
orang berebut untuk berbicara dengannya. Semuanya. Hanya meninggalkan saya yang
mencoba berfikir jernih. Mungkin hanya saya yang punya akal sehat di sini.
Mungkin karena dunia ini adalah ‘ciptaan’ saya sendiri. Kehadirannya membuat
saya melihat sosok orang yang dirindukan orang banyak. Baik bagi yang
mencintainya, ataupun yang sekedar mengenalnya. Atau mungkin untuk orang-orang
yang ‘ikut-ikutan’ mengenalnya.
Semua
orang menyalaminya, dan semua orang memeluknya. Tidak ada yang menangis, dan tidak
ada yang merasa heran. Entahlah, dunia makin aneh. Saya melihat banyaknya
orang-orang yang ‘hanya mengenalnya’ menarik ia keluar rumah. Ia menghabiskan
waktu cukup lama dengan mereka. Ini tidak bisa dibiarkan. Saya harus menariknya
kembali!
Saya
segera menariknya, memohon maaf pada orang-orang yang ‘mengenalnya’ dan
membawanya pulang ke rumah. Saya pinta ia untuk bertemu anak-anak kecil yang
belum sempat melihat wajahnya dan belum sempat mengenalnya. Belum sempat
mencintainya. Saya ingin ia dalam waktu yang sebaik-baiknya untuk melihat,
berbicara, mencium, memeluk dan menggendong anak-anak itu.
Lihatlah
ia tertawa sambil menggendong salah seorang anak itu, si mochi yang pipinya
tembam itu. Anak-anak kecil mengelilinginya berebutan untuk digendong juga. Mencoba
menyentuh pipinya yang ditumbuhi janggut putih. Saya mengamati semuanya dengan
baik.
Dalam
keadaan ini, semua baik-baik saja.
Namun,
semua tidak berlangsung lama. Saya mengutuk inkonsistensi waktu dalam dunia
ini. Mengapa hal-hal yang menyenangkan tidak bisa bertahan lebih lama? Seketika
itu ia berkata.
“Sudah
saatnya Uwa pergi. Ini adalah terakhir kalinya Uwa bertemu denganmu. Setelah
ini, Uwa tidak akan datang lagi. Terima kasih...”
Dan Uwa
berubah menjadi ‘batu’, ia tidak mengatakan apa-apa lagi, pun tidak bergerak.
Saya sibuk menggoyang-goyang tubuhnya dan sangat tidak percaya kejadian ini.
Semuanya begitu sulit untuk saya terima. Lebih sulit daripada ketika ia datang.
Kenapa? Bukankah ini adalah hal yang normal? Saya tidak tahu. Saya bingung karena
tidak tahu harus memikirkan apa. Semuanya begitu sulit untuk masuk dalam akal
sehat saya.
Ia
menghilang.
Semua
orang terlihat sedih dan menyedihkan. Keadaan kembali memilukan seperti hari
Minggu. Saya tidak begitu suka hari Minggu, saya punya kenangan tersendiri.
Jadi, semua hari yang tidak menyenangkan, itulah hari Minggu. Langit diselimuti
awan gelap seketika. Berkumpul-kumpul begitu banyak seperti iklan cat yang ada
di TV.
Seketika
itu pula.
Saya
ditarik untuk bangun.
...
Saya
merasa bingung. Saya merasa kosong.
Setelah
itu.
Ia belum
pernah datang lagi.
...
Yogyakarta,
24/02/2017
23.17
Bukankah
segalanya memang begitu sulit? Terutama ketika kita memaksakan diri untuk
melupakan? Padahal kita tidak pernah diajarkan untuk melupakan, kita hanya
diajarkan untuk mengingat. Melupakan itu begitu sulit. Terutama, untuk kita
yang terbiasa mengingat. Terbiasa bersama dengannya, lebih sulit lagi.
Akhir-akhir
ini saya menjadi sedikit melankolis, entah karena terlalu banyak membaca novel
atau karena belum masuk perkuliahan. Lebih horornya lagi, saya sering membaca
novel dan komik tentang kematian. Kenapa semuanya menjadi semakin sulit seperti
ini.
Saya
semakin sulit untuk melupakan.
Tapi,
satu hal yang membuat saya pada akhirnya sadar adalah bukan melupakan tapi melepaskan
dan memaafkan.
Saya
merasa sangat bersalah karena tidak bisa menghabiskan waktu dengannya dan
terlambat menyadari bahwa waktu adalah hal yang berharga. Saya sangat bodoh
sampai-sampai menyalahkan diri saya sendiri dalam waktu yang lama. Saya tidak
tahu harus mengatakan apa karena tidak ada yang bisa saya katakan untuk
menjelaskan apa yang saya rasakan saat itu.
Tapi
dengan semua kejadian saat ini, dengan semua buku yang saya baca saat ini, saya
menyadari semuanya. Hal yang sudah berubah, tidak akan kembali. Yang pergi akan
pergi. Tidak akan kembali untuk waktu yang cukup lama. Sangat lama, mungkin.
Maka, jalani hidup dengan segala hal yang ada. Jinbei juga mengatakan, daripada
mengingat yang pergi, ingatlah yang masih ada bersamamu.
Masih
banyak.
Hiduplah
dengan orang-orang yang masih ada di sekelilingmu. Bukankah itu juga yang ia
harapkan? Hiduplah dengan baik. Manfaatkanlah semua nafasmu. Semua kehidupanmu.
Ketimbang
melupakan, mari melepaskan dan memaafkan. Melepaskan ia pergi untuk
kebaikkannya sendiri. Melepaskan perasaan sedih dan tidak rela. Melepaskan
kebencian dan rasa dendam. Melepaskan semua hal-hal yang tidak perlu kau bawa
sampai mati.
Memaafkannya,
memaafkan orang-orang di sekitarmu. Untuk semua hal yang menyedihkan. Untuk
semua hal yang menyenangkan. Untuk semua hal yang pernah terjadi. Untuk semua
hal yang belum pernah terjadi. Untuk semuanya.
Yang
terpenting.
Lepaskan
dirimu dan maafkan dirimu. Untuk semua hal yang sudah terjadi. Untuk semua hal
yang belum terjadi. Untuk hal yang buruk. Untuk hal yang baik. Untuk semuanya.
Dan
semoga Allah selalu bersama kita, menolong kita dan menjaga hati kita untuk
terus mengikhlaskan apa yang telah pergi. Karena hanya kepada Allah-lah
segala sesuatu kembali.
Dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah berfirman, “Seorang hamba yang Aku ambil kekasihnya dari penghuni dunia kemudian ia bersabar, maka tidak ada balasan apapun baginya kecuali surga. (HR. Al Bukhari)
Komentar
Posting Komentar