No Rage Child Anymore

Hanya ilustrasi

Apa yang Anda pikirkan mengenai sebutan anak nakal?
Dulu, mungkin saya pernah membuat tulisan mengenai kriminalitas remaja, kurang lebih saya mengatakan :
“Saat ini, ulah yang dilakukan oleh remaja bukan lagi sekedar kenakalan, tapi juga kriminalitas.”
 Sudah semestinya hal ini diperhatikan dengan seksama oleh berbagai pihak. Ada aksi dan ada reaksi. Perilaku yang mereka lakukan bukan tanpa sebab. Setiap elemen tentu memiliki perannya masing-masing sebagai penyebabnya. Daripada itu, mereka juga mempunyai andil untuk mencegah dan mengatasi hal-hal yang demikian.
Saya semakin sering melihat banyaknya kriminalitas yang dilakukan oleh remaja. Label criminal mungkin tampak kejam, tapi ini pantas untuk menjadikan perhatian untuk semua pihak bahwa yang mereka lakukan bukan main-main. Label ini bukan sekedar memberikan tekanan psikologis bagi para remaja tapi juga tekanan bagi berbagai pihak yang telah abai dalam perkembangan remaja.
Remaja adalah masa transisi yang rumit. Setiap orang dewasa, pasti pernah mengalaminya. Masa remaja adalah masa dimana mereka mencari jati dirinya, dan mengupayakan untuk bisa mengenal diri mereka yang sebenarnya. Mencari harga diri dan kepercayaan dari orang-orang di sekitarnya. Menyepelekan bagian ini, akan menjadi hal yang fatal di masa depan.
Mungkin pembahasan ini akan menjadi terlalu rumit dan luas, karena itu saya akan mencoba menjelaskannya dengan bahasa yang lebih ringan, bagi orang lain dan diri saya sendiri, hehe.
Salah satu mata kuliah yang saya ambil adalah Anak dan Remaja Berkebutuhan Khusus. Sebenarnya, saya agak tidak tertarik dengan pembahasan ini, karena saya tidak begitu menyukai anak-anak, hehe. Tapi, karena ini wajib, ya sudahlah. Lagipula namanya juga ilmu, ya, tidak boleh disia-siakan. Karena itu saya tetap belajar dengan ‘tekun’.
Untuk tugas akhirnya, saya ditugaskan untuk mewawancarai dan mengobservasi salah satu anak atau remaja yang memiliki gangguan. Untuk ‘jenis gangguannya’ itu akan dipilih oleh dosen. Tak diduga, diri ini mendapatkan tema ODD dan CD! Mak, itu gangguan apa? Mampus, daku tidak memperhatikan itu gangguan apa! Sesegera mungkin saya mencaritahu makna dari ODD dan CD.
Salah satu sumber menyatakan bahwa ODD dan CD adalah sebagai berikut :
“Oppositional Defiant Disorder (ODD) dan Conduct Disorder (CD) termasuk dalam disruptive behavior disorder, atau bentuk dari perilaku antisosial. Dimana ODD dan CD, terpisah dengan ADHD. Singkatnya, perilaku ODD tidak begitu parah dibandingkan dengan CD yang melakukan agresivitas pada orang atau hewan, merusak barang, mencuri atau menipu.”
Kurang lebih begitu, kalian bisa membaca lebih jauh dari berbagai literatur. Intinya, anak-anak dengan gangguan seperti ini benar-benar ada di dunia ini. Mereka membutuhkan bantuan kita agar mereka terlepas dari gangguan itu.
Begitu panjang perjalanan hingga akhirnya saya menemukan anak dengan gangguan ODD yang berada di salah satu SLB di Yogyakarta. Identitas disamarkan. Anak ini berumur sekitar 14 tahun, tidak suka akan kontak mata dengan orang lain dan menghindari untuk berhubungan dengan siapapun. Ia hanya mau mendengarkan gurunya, itupun ogah-ogahan. Menurut gurunya, anak ini ditinggal oleh orangtuanya. Maksudnya, kedua orangtuanya sibuk bekerja, akhirnya anak ini tidak diasuh dan dididik dengan baik. Ia berteman dengan anak-anak ‘nakal’ lainnya di sekitar rumah. Pengaruh lingkungan ini benar-benar membentuk dirinya kala itu yang masih sangat muda (di bawah 7 tahun).
Salah satu teman saya yang mengobservasi anak dengan perilaku CD lebih parah lagi. Saya tidak terlalu memahami penyebabnya, tapi anak tersebut sangat ‘tidak terkendali’. Bahkan ia merokok, suka memukul dan mencuri. Tidak jarang ia juga melecehkan anak-anak perempuan di sekitarnya. Padahal umurnya masih kecil, di bawah 10 tahun. Kedua orangtuanya tidak tahu bagaimana cara menanganinya, karena orangtuanya sendiri juga berekonomi rendah.
Akhir dari kelas ARBK itu, dosen saya mengajak kami untuk membantunya melakukan penelitian terhadap para remaja yang berada di Lapas Remaja. Saya menelan ludah pahit, ini rumit sekali. Saya ingin membantu, tapi sekaligus tidak berani (tertawa perih). Menemukan anak kecil dengan ‘kenakalan’ seperti itu saja sudah membuat saya kebingungan untuk membuat laporannya, karena mereka menolak untuk menjawab. Apalagi dengan para remaja yang kiprahnya sudah begitu jauh, jawaban mereka belum tentu benar. Keselamatan kita pun terancam. Aih, dilemma.
Lanjut.
Bukankah ini sangat rumit sekali? Selain karena si anak salah didik, orangtua pun salah asuh. Masyarakat juga tidak berani dan pemerintah acuh tak acuh. Saya cukup menyayangkan hal seperti ini. Selama ini saya berfikir bahwa ‘nakal’ itu biasa, atau jikapun mereka melakukan tindak kriminal, berarti mereka ‘gila’. Tapi, nyatanya, memang fenomena ini benar-benar ada dan ada ‘namanya’. Jika ada ‘namanya’, bukankah berarti ada penanganannya?
ODD dan CD tentu saja tidak bisa diselesaikan begitu saja. Harus butuh perjuangan, seperti pengobatan untuk gangguan psikologisnya. Seperti manajemen anger dan lain sebagainya. Gangguan perilaku ini harus bisa dideteksi lebih awal, karena bila tidak ditangani, akan lebih besar dan meluas. Jangan dianggap enteng, gangguan ini bisa menyebar, seperti penyakit psikologis lainnya.
Saat ini, remaja yang melakukan tindak kriminal semakin meningkat, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Salah siapa? Menyalahkan siapapun tidak berguna jika tidak ada keinginan kuat untuk menyelesaikannya. Pertanyaan awal biasanya adalah dimanakah keluarga yang diharapkan mampu menjaga para remaja? Orangtua sibuk, sibuk mengejar materi yang dipaksakan oleh ‘negara’ mereka untuk memenuhi kehidupan mereka sendiri.
Dunia ini disebut bebas, tapi sebenarnya kita dibelenggu oleh angan-angan materialis yang dibentuk oleh pemerintah kapitalis. Kebebasan itu membuat kita kehilangan anak-anak kita. Tidak ada satupun yang mampu menjamin 100 persen bahwa anak-anak kita akan aman. Membunuh atau dibunuh, atau menindas atau ditindas. Prinsip ini sebenarnya nyata adanya. Bukan hal main-main. Jika bukan anak kita yang menjadi pelaku bullying, maka anak kita yang menjadi korban bullying. Bisa jadi. Tapi siapa yang mau?
‘Bagaimanapun, setiap anak punya hak untuk menjadi lebih baik’
Correct me if I’m wrong

nb :
Jangan tanya yang di atas anak siapa, karena saya pun tak tahu, bukan anak saya pula.
 
To be continued

Komentar