Tidak Ada Salahnya

Not mine
“Aku tuh ya begini orangnya, mau gimana lagi, ya”
“Goldar A itu orangnya kayak gini...”
“Kamu pasti orangnya mudah sedih, kamu gak cocok jadi temenku”
Dan sebagainya
Apa kalian pernah mendengar kata-kata seperti ini? Saya sering sekali mendengarnya sampai-sampai saya bosan mendengarnya. Kenapa pula semua orang mengotak-kotakkan dirinya menjadi begini dan begitu? Fenomena menjadi psikolog dadakan ini membuat saya mual.
Sebenarnya saya tidak juga bisa menyalahkan orang-orang karena ada begitu banyak buku psikologi populer yang beredar lumayan menarik perhatian. Menjadi lahan baru yang sangat empuk bagi para psikolog untuk menulis. Meskipun menjadi lahan yang bagus bagi orang-orang tak bertanggungjawab membuat tulisan mengenai psikologi tanpa tahu ilmunya dengan benar. Miris. Bagi saya sendiri.
Saya cukup mengapresiasi banyaknya buku psikologi populer yang ditulis oleh orang-orang non psikologi namun bisa dikemas dengan apik dan tetap pada garis ilmiah yang benar (?). maksudnya, mereka menyandarkannya kepada teori dan sumber yang jelas. Bukan asal copot. Bukan pula asal tafsir.
Sebutlah Ust. Felix yang menulis mengenai behaviorisme di buku Habits-nya, atau Ust. Nopriadi yang tertarik pada pembahasan perkembangan manusia di buku The Model, atau Ust. Salim dengan buku berjudul Jalan Cinta Para Pejuang yang berisikan fenomena akan cinta. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Yang membuat saya sedih adalah beberapa buku yang mengatasnamakan ilmu psikologi namun jauh dari ilmunya. Kalaupun mendekati. Sebenarnya tidak juga mendekati. Di kulit saja sih. Setelah itu langsung menuduh seseorang begini dan begitu. Konyolnya, pembaca juga ikut-ikutan mampu menjadi psikolog dan berakhir dnegan meremehkan ilmu psikologi.
Dipikir kuliah psikologi itu mudah apa, hah? (Maafkan mahasiswa yang lelah ini, hehe)
Jangankan pembaca awam, kadang mahasiswa psikologi juga terjebak dengan hal-hal semacam itu. Miris tingkat kuadrat. Kenapa pula kita tidak membaca jurnal-jurnal ilmiah ketimbang membaca buku-buku seperti itu? Ya, seharusnya itu menggores harga diri kita. Sebagai mahasiswa psikologi, bagaimana mungkin kita kalah dengan orang-orang yang tidak pernah belajar tentang psikologi namun mampu membuat banyak orang percaya dengan kata-kata mereka?
Kembali kepada para pembaca.
Pernah ada sebuah buku yang membahas mengenai golongan darah. Salah satu penulisnya menyampaikan bahwa buku ini hanya untuk candaan, tidak perlu dibawa serius. Hanya sebuah kepercayaan umum di masyarakat tempat ia tinggal. Karena, pernah suatu ketika “pacar” dari si penulis ini berubah hanya karena mengetahui golongan darahnya.
Perempuan itu meyakini ia bergolongan darah B, maka ia bersikap dan berperilaku seperti golongan darah B yang beredar di masyarakat. Ceria, blak-blakkan, easy going, dan sebagainya. Suatu ketika, ia berubah menjadi pendiam, mudah marah dan sensitif. Perubahan 180 derajat itu membuat si penulis heran. Ia bertanya pada pacarnya, kenapa ia bisa berubah?
“Aku baru saja tes ulang golongan darahku, ternyata golongan darahku A. Makanya aku harusnya bersikap seperti golongan darah A”
Bayangkan betapa “gubrak”nya situasi itu. Karena itu, tidak perlu menjadi sesuatu yang memang tidak perlu. Bukankah kita seringkali sama seperti perempuan itu? Kebiasaan membaca kabar zodiak dan sebagainya. Ada miliaran manusia di muka bumi ini, haruskah nasibnya sama seperti zodiak yang hanya 12 (dan konon sekarang ada 13) itu? Betapa lucunya.
Sama seperi kepribadian berdasarkan darah, postur tubuh, gurat tangan, gurat wajah, dan sebagainya. Setiap orang memang memiliki pola yang sama, tapi setiap orang berbeda!
Jangan menjadi labeling person, menjadi orang yang melabeli. Hanya karena kita memiliki sifat yang pemalu, bukan berarti kita tidak bisa berteman. Hanya karena kita memiliki sifat yang ceria, bukan berarti kita tidak bisa bersedih. Dan sebagainya.
Sebagai contoh, saya punya teman dengan kepribadian introvert, dia jarang sekali punya teman. Tapi, dia tetap berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain. Ia mencoba menyapa orang-orang dan memberanikan diri untuk mengobrol dengan orang lain terlebih dahulu. Meskipun usahanya tidak bisa mengalahkan teman-temannya dengan kepribadian ekstrovert, tapi ia mempunyai teman-teman dengan kualitas hubungan yang baik.
Berbeda dengan teman yang lain, yang juga punya kepribadian introvert. Semenjak ia mengetahui kepribadian itu, ia mulai sering mengurung diri lebih daripada sebelumnya, dan meminta orang lain untuk memaklumi keadaannya. Akhirnya ia tidak punya teman dan lebih sering menyendiri. Kadang-kadang saya takut jika sewaktu-waktu muncul kabar bahwa ia .... ah sudahlah, jangan diteruskan. Lebih parah jika ia menyampaikan bahwa ia adalah anti-sosial.
Aigoo... kau mau menjadi psikopat?
Abaikanlah.
Setiap orang dianugerahi memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Tidak salah dan tidak berdosa dengan semua itu. Itulah ketetapan yang diberikan oleh Allah. Harusnya kita bisa menghadapinya dengan bijak. Bukan langsung berpikir dunia akan kiamat jika kita melakukan hal yang sebaliknya. Tidak ada yang salah dengan menyapa terlebih dahulu bagi seorang introvert, tidak ada salahnya dengan ingin sendiri bagi seorang ekstrovert. Tidak ada salahnya untuk bersantai bagi seorang yang senang akan keteraturan, tidak ada salahnya untuk menjadi rapi bagi seorang yang senang bermalas-malasan. Tidak ada salahnya.
Salahnya adalah kita tidak mau berubah, menyusahkan orang lain, dan meminta orang lain untuk memaklumi keadaan kita. Bagaimanapun kita adalah manusia yang kodratnya untuk berkoloni, bersosialisasi. Kita hidup bersama orang lain. Di antara hidup kita, ada pula kehidupan orang lain.
Lebih jauh lagi, Islam tidak memperdulikan seperti apa kepribadianmu, yang penting tetap dengan kepribadian Islam. Rasulullah tidak membenci Umar yang keras, karena Islam. Karena Umar marah karena Islam dan menangis juga karena Islam. Rasulullah tidak membenci Utsman yang pemalu. Karena Utsman pemalu karena Islam dan percaya diri juga karena Islam.
Tidak ada salahnya.
Bahkan jika kita adalah pengemban dakwah, kita mau tidak mau harus mengubah kebiasaan buruk kita menjadi kebiasaan yang sesuai dengan Islam tanpa perlu memaksakan diri menjadi orang lain ataupun mengubah yang sudah ada dalam diri kita yang baik.

Menjadi diri sendiri itu penting, tapi menjadi diri sendiri itu tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi diri sendiri. Biarlah kehidupan itu berjalan sebagaimana mestinya. Tak perlu dipaksakan. Sesuaikan dengan Islam dan karena Allah. Semuanya Insya Allah akan menjadi lebih baik. Don’t be a Labelling Person.

Komentar