Belajar Hidup Damai



Waktu itu, saya lupa tepatnya pada pukul berapa, tapi waktu itu, saya mendapat pemberitahuan dari facebook agar saya mengonfirmasi keberadaan dan keselamatan saya. “Terjadi ledakan di Samarinda, konfirmasi keselamatan Anda” ujar facebook. Saya mulai membuka beranda dan laman pemberitahuan tersebut. Alih-alih mendapatkan informasi yang tepat, saya malah tidak mendapatkan apapun. Ledakan? Kompor gas? Ada-ada saja. Gunung berapi? Tidak ada, sejak kapan di Kalimantan ada gunung berapi. Ponsel yang terlalu panas? Tampaknya tidak. Lalu apa? Saya mengabaikan berita itu.
Esoknya, saya baru mengetahui baru saja terjadi pengeboman oleh orang tak dikenal di salah satu Gereja di Samarinda. Menewaskan seorang anak kecil dan melukai banyak anak kecil lainnya. Setelah diselidik, tersangka adalah seorang yang tidak saya kenal. Tapi beberapa media mengatakan bahwa ia adalah seorang muslim, dari ktpnya. Sebenarnya itu tidak terlalu penting. Apa hubungannya agama dengan pembunuhan? Siapapun tersangkanya, pembunuhan tetaplah pembunuhan. Harus dihukum keras. Sekeras mungkin.
Mengapa harus agamanya yang dipermasalahkan? Begitulah pikir saya saat itu. Lebih anehnya, mengapa terjadi beberapa hari setelah penyelidikan penistaan agama? Apa-apaan ini? Mengapa selalu saja ada orang yang mau merusak kerukunan umat beragama di Indonesia? Terlebih lagi, dengan mengorbankan rakyat sendiri? Anak-anak kecil yang tidak berdosa?
Kita seringkali ingin beristirahat dengan tenang, tapi mengapa kita tidak hidup dengan tenang?
Dunia ini sudah sangat tua. Ketika beberapa kali saya merenung, saya mulai khawatir dengan dunia ini. Aih, dunia yang indahnya tidak seberapa dengan akhirat, mengapakah engkau begitu menyulitkan? Mengapa dunia semakin hari semakin sulit untuk ditinggali? Manusia dan kehidupannya, sepanjang zaman, dimana saja, tetap begitu-begitu saja, persoalannya tidak pernah berubah. Hanya diperbaharui saja. Tidakkah manusia belajar?
Tidakkah manusia berpikir untuk mengubah dunia ini menjadi lebih baik? Tanpa harus menyakiti siapapun?
Rasanya kepala ini cukup sedih. Mengapakah selalu ada orang yang tega menjadikan orang-orang yang tidak bersalah sebagai korban? Anak-anak dan perempuan. Apakah mereka pikir dengan melakukan hal demikian akan membuat mereka semakin terhormat? Perkasa? Bijaksana? Tidak sama sekali. Malah membuat mereka tampak menjijikkan dan terhina.
Tetap saja, pembunuhan tidak benar. Bagaimana pun juga. Tapi mengapa ini dijadikan sebagai alat permainan pihak tertentu? Semudah itukah nyawa manusia? Sudahlah. Mengapa pula kita bertengkar untuk hal yang tidak penting. Tidak ada pun dari hati kami, umat muslim, selain hidup dengan damai di bumi Allah. Tidak satupun selain itu. Biarkanlah kita hidup dengan damai, bersama dengan teman-teman kami yang lain, yang percaya pada Tuhan mereka.
Saya percaya pada pandangan anak-anak yang polos. Mereka sangat bersih dari pemikiran kotor. Hanya orang dewasalah yang membuat mereka berubah. Segalanya menimbulkan masalah. Anak-anak kecil itu, jika tidak mati, mereka akan hidup dengan menyedihkan. Sulit sekali menjadi anak-anak. Korban dari keegoisan orang dewasa yang tidak tahu cara hidup damai.
Rather than rest in peace, why we can’t live in peace?

Yogyakarta, 18 November 2016

Komentar