“Apakah orangtuamu pernah bangga padamu?”
Seseorang pernah bertanya hal seperti itu pada saya.
Saat itu saya langsung mengerahkan semua ingatan saya dengan sekuat tenaga.
Lebih keras daripada ujian semester. Karena, pada saat itu, saya mencoba
membuka semua laci-laci kecil yang mungkin tidak saya sadari.
“Entahlah. Tapi, kurasa ayahku selalu bangga padaku.
Apapun yang aku lakukan. Tapi, kalau ibu…” Saya mencoba berpikir lebih keras,
tapi pada akhirnya, saya hanya bisa mengatakan, “ibuku bukan orang yang
ekspresif. Tapi, aku yakin ibuku bangga padaku… Dalam situasi apapun.”
Sebenarnya, pernahkah orangtua kita bangga pada kita?
Atau kondisi seperti apakah yang membuat engkau bangga pada anakmu? Hal ini
sangat penting, berkaitan dengan perkembangan dan kehidupan seorang anak di
masa mendatang. Ada begitu banyak tulisan parenting mengenai hal ini. Betapa
pentingnya menanamkan rasa cinta tak terbatas pada anak. Karena bagaimanapun,
kita adalah manusia.
Manusia, makhluk paling rapuh di dunia ini. Hanya
dengan sebuah emosi dan jalinan emosional, semuanya akan menjadi berbeda. Dan
cinta adalah emosi yang membawa jalinan emosional yang bisa mengubah siapapun
menjadi penggerak dunia atau penghancur dunia. Ini adalah hal yang sangat
penting dan harus kalian pikirkan dengan baik!
Akan ada anak yang berambisi mendapatkan nilai tinggi
hanya demi mendapat senyuman seorang ibu. Hingga, lebih jauh, ia akan melakukan
berbagai daya dan upaya licik untuk menyukseskan kehidupan akademik dan
sosialnya demi senyuman ibu. Demi ekspresi yang ia anggap sebagai ekspresi
cinta. Karena dengan itulah ia bahagia. Benarkah? Apakah ia bahagia hanya
dengan senyuman itu? Bisa jadi, bahwa bukan nilai tinggi yang sebenarnya ia
inginkan. Ia hanya menginginkan cinta dari ibu.
Kita seringkali memarahi anak-anak karena ia nakal.
Karena ia mencuri, berkelahi dengan temannya, menyontek, bolos, berbohong, dan
sebagainya. Kita tidak pernah memutuskan untuk bertanya alasannya atau mencari
alasannya. Kita menjadi hakim bagi anak kita sendiri. Padahal, bisa jadi yang
mereka lakukan hanya karena ingin mendapatkan sedikit cinta dari kita sendiri.
“Aku ingin nakal supaya mama memperhatikanku”
Ini bukan hal main-main. Seorang anak pernah
mengatakan hal ini pada saya. Dan ketahuilah betapa sulitnya untuk membuatnya
berubah pikiran. Padahal, ia baru berumur 5 tahun! Karena itulah yang ia
pahami. Ibunya hanya akan memperhatikannya ketika ia nakal. Ibunya akan menoleh
hanya ketika ia memperlihatkan nilai di buku rapport, dan sebagainya.
Tidak bisakah kita mencintai anak seperti kita ingin
dicintai? Tanpa syarat, tanpa batas.
Bukankah kita juga pernah merasakan sakitnya tidak
dicintai? Rasanya harus melakukan sesuatu demi dicintai? Lalu, mengapa kita
harus melakukan hal yang sama pada anak-anak kita? Anak-anak yang kelak akan
menjadi penjaga dunia ini? Dunia macam apa yang kita inginkan, tergantung pada
bagaimana kita memperlakukan anak-anak kita.
Cinta tanpa batas dan tanpa syarat itulah yang menjadi
kekuatan terbesar seorang anak. Karena, meskipun tidak ada satupun manusia di
bumi ini yang mencintainya, jika ia merasakan cinta pertama itu, ia akan kuat
menjalani hidup. Jangan memaksakan anak untuk berkorban demi mendapat cinta
dari kita. Hal itu sama saja dengan menyiapkan racun di perjamuan makan malam.
Jika pun seorang anak melakukan kesalahan, jangan
buru-buru membencinya. Katakan bahwa hal tersebut salah, harus diperbaiki.
Yakinkan bahwa dalam proses perbaikan itu kita ada membersamainya. Karena kita
mencintainya, maka kita akan selalu menemaninya apapun yang terjadi padanya.
Seperti halnya jalinan emosi yang lain, cinta memiliki
tali yang rapuh jika tidak dijaga dengan baik. Jangan mengulurnya terlalu
panjang, atau ia akan lepas dari genggamanmu. Jangan menarik dan memegangnya
terlalu erat, atau ia akan putus. Semua cinta itu akan berubah menjadi
marabahaya. Karena kita yang tidak mau menyampaikan kesalahannya dan tidak mau
menemaninya.
Sulit memang menjadi orangtua, bahkan saya belum
menjadi orangtua, tapi sudah mengetahui betapa sulitnya menjadi orangtua. Tidak
ada orangtua yang sempurna, hanya kitalah yang berjuang untuk memberikan yang
kita bisa pada anak.
“Bagaimana kau
yakin ibumu bangga padamu?”
“Entahlah. Hanya saja aku menyadarinya begitu saja,
dengan semua hal-hal kecil yang ia berikan. Semuanya tampak lucu, maksudnya,
aku sama sekali tidak menyadari bahwa ibuku menyatakan cinta dengan cara yang
unik.” Saya tertawa kecil menjawabnya, karena mengingat masa-masa UN. Ibu saya
membawakan komik Naruto padahal saat itu saya mulai menyerah dengan nilai Try
Out yang rendah, kelelahan belajar, dan detik-detik UN yang menegangkan bagai
menunggu bom meledak. Lebih parah, saya sudah bertekad dalam hati untuk tidak
membaca komik dan menonton anime dalam keadaan apapun selama 3 bulan, tapi
kenyataan macam apa ini? Apakah ibu saya tidak perduli dengan nilai saya? Hanya
ibu dan Allah yang tahu.
Yogyakarta, 31 Oktober 2016
Komentar
Posting Komentar