Tak Jatuh Maka Tak Keren



Apakah anda pernah mendengar orang-orang mengatakan, “jika belum jatuh, berarti kamu belum mahir naik sepeda”? Saya sering mendengarnya. Terutama ketika mulai menceritakan pengalaman pertama mengendarai sepeda. Nampaknya bisa mengendarai sepeda adalah salah satu indikator keberhasilan manusia. Bagaimana tidak, hampir di setiap seminar atau pelatihan motivasi pantang menyerah, selalu saja contoh yang digunakan adalah “belajar naik sepeda”. Sampai-sampai saya bosan. Tidak ada contoh lain?
Tapi begitulah yang seingkali kita alami. Lebih mudahnya sih seperti itu. Karena mayoritas penduduk dunia bisa mengendarai sepeda, maka dijadikanlah sepeda itu sebagai contoh dari perilaku pantang menyerah. Jangan berhenti meskipun jatuh. Jangan menyerah meskipun gagal. Bahkan banyak orang-orang besar yang bisa hidup dengan penuh kejayaan dan ketenaran karena kegagalan.
Satu kegagalan berarti satu langkah menuju keberhasilan. Seringkali itu yang dikatakan oleh orang-orang. Meskipun seringkali saya sebal dengan pernyataan itu, tapi mau tidak mau, seringkali pernyataan itu benar. Akhirnya saya menerimanya dengan lapang dada.
Ketika awal belajar mengendarai sepeda maupun sepeda motor, saya sering kali terjatuh. Bukannya menangis, tapi saya malah tertawa. Silahkan jika mengatakan saya gila. Tapi, saya memang gila sih. Hehe. Teman-teman saya yang awalnya ingin membantu dan mengkasihani saya, akhirnya malah memarahi saya. Mereka berfikir bahwa saya melakukan itu dengan sengaja, atau teledor, atau lain sebagainya. Ehm, sebenarnya tidak juga. Tapi seringkali ketika hampir terjatuh, saya mendapatkan banyak “ide” untuk melakukan beberapa eksperimen agar saya berhasil mengendarai sepeda atau sepeda motor tersebut.
Misalnya, ketika saya belajar mengendarai sepeda. Ketika itu saya berada di kelas 3 SD. Mungkin anda berfikir bahwa itu adalah umur terlambat belajar. Tapi ingatlah, “tidak ada kata terlambat untuk belajar”. Dari pribahasa itu dan hasil dari cemburu dengan adik sepupu yang lebih dulu bisa mengendarai sepeda, maka saya pun belajar pula. Beberapa kali saya didampingi oleh orang yang ahli (baca : paman), sampai yang baru saja bisa (baca : adik sepupu).
Jatuh pertama, jatuh kedua, jatuh ketiga, dan jatuh kesekian kalinya. Dari semuanya saya mempelajari banyak hal yang baru. Misalnya, jika hampir jatuh ke kiri, maka berbelok ke kanan, dan sebaliknya. Sampai akhirnya saya bisa mengendarai sepeda dengan baik, dibelikan sepeda baru, sampai merusak sepeda tersebut. Alhamdulilah sudah saya laksanakan dengan baik.
Begitu pula mengendarai sepeda motor. Sebagai warga negara yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung, saya tidak mengendarai motor sampai umur 17 tahun. Ingatlah, tidak ada kata terlambat untuk belajar. Maka tibalah waktunya, setelah UN SMA, saya bersama dua orang teman (yang disamarkan namanya demi kedamaian dunia) belajar mengendarai motor. Satu hal yang mereka katakan pada saya, “rasanya seperti naik sepeda, anggaplah itu sepeda!”
Dengan semangat menggebu-gebu, maka tibalah saatnya saya belajar. Pelajaran pertama, lumayan. Pelajaran kedua, yah lumayan juga. Pelajaran ketiga, masih lumayan. Pelajaran keempat, saya terjatuh. Situasi saat itu sangat menegangkan bagi teman saya yang saya bonceng. Jantungnya hampir lepas dan nyawanya hampir melayang, karena saya hampir saya membawanya terjun bebas ke parit besar bersemak-semak dan penuh lumpur. Bukannya takut, saya malah tertawa nyaring. Bisa dipastikan sepanjang hari ia memarahi saya.
Itu jatuh yang pertama, ada banyak sekali jatuh-jatuh yang saya alami dan lebih konyol lagi. Tapi, sekali lagi, dari semua jatuh itu, saya bisa mempelajari banyak hal. Mulai dari yang disadari maupun yang tidak disadari. Beberapa di antaranya adalah (1) teruslah mengendarai dengan cepat agar sepeda motor terus berjalan stabil, (2) ketika akan berbelok, turunkan kecepatan, (3) ketika menemui tanjakan, naikkan kecepatan, (4) selalu melatih refleks rem, karena kita tidak pernah tahu halangan apa yang akan ada di depan, dan (5) sesempit apapun atau sesulit apapun ruang yang akan kau lewati, tetaplah yakin kau bisa melewatinya.
Tak disangka, dari belajar mengendarai sepeda motor, saya mendapatkan pelajaran berharga. Saya pikir inilah yang terpenting dalam kehidupan ini. Ketimbang hanya bisa mengendarai saja tanpa merasakan jatuh. Lagipula, orang-orang akan meremehkan dirimu jika tidak pernah jatuh ketika belajar mengendarai sepeda motor. Luar biasa aneh bukan?
Sebenarnya ini bukan masalah pandangan orang lain, tapi makna dari jatuh ini adalah “kegagalan dan keberhasilan terjadi karena mencoba”. Jika kita tidak pernah mencoba, kita tidak akan gagal, pun berhasil. Karena keberhasilan berbarengan dengan kegagalan. Gagal pertama, menang seterusnya. Menang sekarang, akan gagal nanti. Lalu menang lagi, lalu gagal sekali. Begitulah kehidupan. Tidak ada yang abadi. Hanya satu yang kita ketahui, semuanya untuk menempa diri kita menjadi manusia yang tahan banting dan tidak mudah menyerah.
Matahari saja tidak pernah menyerah menyinari bumi meskipun seringkali dihalangi awan. Panas hari ini, hujan esok hari. Hujan esok hari, panas lusanya. Bahkan matahari sekalipun menyiapkan munculnya hujan dengan sistem penguapan. Ketahuilah, bahwa para ulama sekalipun, mengharapkan kegagalan besar, karena mereka yakin bahwa kegagalan akan bersama dengan keberhasilan. Bukankah semua itu adalah janji Allah?
Jadi, jangan takut jatuh. Jatuh itu biasa, artinya hampir bisa. Jangan takut gagal. Pengalamanlah yang terpenting dari semuanya. Apakah kita mampu mengambil pelajaran dari semua itu dan tidak mengulangi kegagalan yang sama. Kegagalan boleh lebih dari 100 kali, tapi 100 kali kesalahan adalah kesalahan yang berbeda. Kalau kesalahannya sama, itu adalah kegagalan yang sebenarnya. Keledai saja tidak jatuh di lubang yang sama. Kucing saja tidak tertipu dengan jebakan yang sama. Karena kita manusia, gengsi dong kalau mengalami kesalahan yang sama.
Jatuh, siapa takut?
Yogyakarta, 20 Oktober 2016

Komentar