Home Sweet Bitter Home : Last!

Untuk kisah selanjutnya, saya pikir mungkin ini akan menjadi kisah terakhir dari Home Sweet Bitter Home. Kenapa? Karena kalau saya lanjutkan, maka serial ini tidak akan berakhir, seperti sinetron yang tayang saat ini. Jadi, demi kebaikan dunia, sambutlah kisah terakhir dari Home Sweet Bitter Home ini.

Dulu, saya pernah menulis tentang ibu saya, silahkan saja dibaca di Bukan Mama Doraemon.
Sekarang, saya ingin menulis tentang ayah saya. Saya memanggilnya abah. Diduga abah adalah panggilan ayah di suku Banjar. Kebenarannya, silahkan cek sendiri di wikipedia. Sebenarnya, saya tidak begitu tahu harus menulis apa tentang abah saya. Saya sudah pernah menulis tentang abah saya pada tahun 2015, hehe. Tapi saya merasa malu untuk mempublikasikannya. Ehm, terlalu mendramatisir, akhirnya saya menulis ulang. Agar suatu saat nanti saya tidak malu membacanya.
Abah saya adalah orang yang supel, mudah akrab dengan orang lain. Berbanding terbalik dengan saya dan ibu saya. Ralat, berbanding terbalik dengan saya, karena saat ini ibu saya juga mudah akrab dengan orang lain. Hanya saya yang belum berubah. Karena sifat itu, abah saya jadi terkenal di kalangan banyak orang. Siapa saja. Kadang saya malu sendiri, bukan apa-apa. Kadang abah saya juga suka mengusili orang lain. Iya, saya juga sih, tapi orang yang diusili abah saya itu orang yang tidak saya kenal. Jadinya kan saya malu. Saya langsung menunduk minta maaf. Maaf ya maaf.
Sejak kecil, abah sudah sangat baik dengan saya. Namanya juga abah sendiri. Abah tidak pernah marah dengan saya, ngomel iya, namanya juga anak kecil, pasti pernah diomelin. Dulu saya pernah dapat resep membuat dorayaki. Resep itu saya dapatkan dari bonus majalah langganan saya ketika kecil. Saya sangat ingin membuatnya. Terus, abah saya yang jago masak, bersedia untuk membantu. Mama? Jangan ajak mama masak, kecuali mau kompor meledak, eh gak ding, bercanda, tapi mama saya memang tidak pandai memasak. Kalau memasak, omelannya juga jalan. Jadi, lebih baik tidak usah diajak (ciri-ciri anak kurang ajar :D). Maafkan anakmu ini ma.
Semua bahan sudah dibeli, yang kurang itu adalah cetakan dorayakinya. Saya yakin, haqqul yakin, seratus persen yakin, kalau cetakannya itu ada di dapur. Tapi mengapa saya tidak menemukannya? Saya sangat kesal, sangat marah, ngambek, dan tidak mau lanjut masak. Tapi, abah membujuk saya untuk terus melanjutkan. Ya kali, bahan sudah jadi, tinggal dimasak, terus saya berhenti. Dibujuk-bujuk, tetap ngambek. Dirayu-rayu, gak mempan. Sampai akhirnya abah memperlihatkan cetakan apa adanya kepada saya, sambil bilang...
“Bisa kok, pakai ini aja, ya”
Saya pikir-pikir, akhirnya saya mau melanjutkan. Dengan muka kusut butuh disetrika, dan mata bengkak karena menangis terlalu lama. Setelah beberapa lama memasak, akhirnya jadilah dorayaki yang lebih pantas disebut kue pukis, karena bentuknya yang apa adanya. Meskipun dorayaki sudah jadi, tapi mood saya masih belum baik. Jadi, sambil membawa dorayaki ke ruang tamu (dimana ada banyak anggota keluarga yang menunggu), saya masih memasang wajah suram, persis seperti cinderella yang sepatunya dicuri kucing garong.
“Om... coba ini... buatan Oka, enak loh.”
Kata-kata itu membuat saya terkejut, karena memang bukan berasal dari mulut saya. Kata-kata itu berasal dari abah saya. Tidak tahu mengapa, hati kecil saya merasa bangga. Padahal pada prosesnya, saya sama sekali tidak bisa membuatnya sendirian. Saya tidak tahu mengapa abah saya masih bangga pada saya. Padahal saya samasekali tidak mau melanjutkan masak. Mungkin kalau seandainya saya yang jadi abah saya, mungkin saya akan tinggalkan anak saya. Kalau tidak mau, ya tidak usah. Tapi, abah saya mau menunggu dan membujuk saya untuk melanjutkan apa yang saya mulai.
Satu hal itu, selalu saya ingat. Selain karena kebodohan saya di waktu kecil, juga bukti bahwa abah saya akan selalu menyemangati saya.
Melompat ke waktu yang cukup jauh. Seperti yang beberapa dari kalian ketahui, pergi ke Jogja adalah keputusan yang alot. Harus ada perang dunia dulu sampai pada akhirnya saya dibolehkan pergi ke Jogja. Siapa yang perang? Batwoman dan Superwoman, saya dan mama. Mama tidak mau saya kuliah jurusan Psikologi di Jogja. Terlalu jauh, terlalu sulit cari kerja, apalagi cari jodoh (?). Tapi, semua berakhir bahagia ketika saya mulai bisa membujuk mama dengan bantuan abah. Beberapa teman sampai heran, mengapa orang tua saya merelakan anaknya kuliah di pulau yang berbeda seorang diri tanpa seorang keluarga pun yang ada di sana.
“Sebenarnya mama gak mau...”
“Ya, mau gimana ya, namanya juga anak mau sekolah.”
Begitu kata abah saya. Abah saya sama sekali tidak memikirkan jarak, biaya dan sebagainya. Yang penting ada kemauan. Disinyalir abah saya penganut paham “dimana ada kemauan, disitu ada jalan.” Karena itu abah saya selalu memberikan jalan jika saya punya kemauan dan usaha lebih.
Mungkin beberapa dari kalian juga tahu betapa stressnya saya ketika jauh dari keluarga dan beberapa kali ditolak oleh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Saya stress. Seringkali menangis tak karuan. Seringkali tidur tidak tahu waktu. Sadar maupun tidak sadar, saya seperti mengalami mimpi buruk di siang bolong.
“Kenapa pusing, tidak usah pikirkan. Kau kan masih muda, masih bisa tahun depan.”
Saya tidak tahu, apakah mama dan abah tahu kalau saya mudah stress. Golongan darah A yang merepotkan (meskipun tidak ada hubungannya). Tapi, abah selalu menyemangati saya. Bahkan sering datang menjenguk anaknya yang menyusahkan ini. Setiap kali mendengar suara abah saya, sedikit demi sedikit hati saya terobati.
“Kenapa abah datang lagi?”
“Ya gak papa, namanya juga mau ketemu anak.”
Ini adalah bukti kedua, bahwa abah akan selalu mendukung saya.
Kalau dipikir-pikir, menceritakan tentang abah itu terlalu banyak. Saya lebih suka memandang abah sebagai abah saja. Bukan sebagai pegawai, kepala biro, dosen, atau apapun orang memanggilnya. Bagi saya, abah adalah abah saya.
Apakah kalian percaya dengan ikatan batin? Seringkali saya tidak mempercayainya. Tapi, seringkali saya mencoba untuk mempercayainya. Karena, sekali lagi, seringkali saya merasakannya. Setiap kali saya merindukan abah saya, saat itu abah muncul di mimpi saya. Atau menelpon saya, atau tiba-tiba datang menjenguk saya. Abah bukan orang yang suka menelpon. Bahkan HP-nya saja dimatikan kalau di rumah. Yang sering menelpon adalah mama, makanya kadang saya sering terkejut kalau abah menelpon. Ikatan batin.
Pernah juga, ketika saya menginginkan sesuatu, abah datang dan memberikannya pada saya. Padahal saya termasuk anak yang tidak banyak permintaan, saya jarang meminta sesuatu. Tapi bagaikan telepati, abah saya sering datang membawa apa yang saya inginkan. Misalnya, saya ingin makan di rumah makan yang tentu saja harga satu porsinya bisa membuat saya puasa dua hari, maka malam itu atau beberapa hari setelahnya, abah saya datang dan mengajak saya untuk makan di sana. Padahal saya tidak memintanya.
Itu bukan sekali dua kali. Tapi seringkali!
“Wah, pas sekali, Oka juga pengen makan di sana. Tapi tidak ada teman.”
“Masa’? Mungkin ini yang disebut ikatan batin orangtua.”
Ini bukti ketiga bahwa abah saya akan selalu menjadi abah saya.
Sampai saya bingung harus menulis apa lagi tentang abah saya, karena sudah begitu banyak kebaikannya. Abah adalah abah yang terbaik bagi saya dan adik-adik saya. Terserah dengan abah-abah orang lain di muka bumi saya, yang pasti, abah saya adalah abah yang paling sempurna yang saya miliki.

Yogyakarta, 10 September 2016

Home Sweet Bitter Home dimulai dengan kenangan bersama abah, dan diakhiri bersama abah. Semoga Allah selalu merahmati dan memberkahi abah dalam setiap kehidupannya.

Komentar