Persepsi Cinta


Mungkin saya pernah membuat tulisan tentang cinta dan benci karena Allah. Ya, sepertinya pernah, dan sepertinya kalian bisa membacanya di Aku Membencimu Karena Allah. Lalu, apakah itu berarti tulisan ini tidak usah dibaca? Ehm, sepertinya tetap harus dibaca, karena ini adalah upgrade version dari tulisan sebelumnya.
Saya pernah mengatakan, di tulisan sebelumnya, “cintai karena Allah dan benci karena Allah”. Mungkin beberapa dari kalian akan mengatakan, “ah, mudah dikatakan, tapi sulit untuk dilakukan” atau “lakukan aja sendiri, baru ngajarin orang!” atau sebagainya yang serupa dengan komentar di atas. Cih, kalian pikir saya tidak melakukannya? Apa kalian meremehkan saya? Enak saja. Apa yang saya tuliskan selama ini ya saya lakukan, ya hampir semua sih. Yang penting saya berusaha untuk merealisasikan apa yang saya tulis. Karena hal tersebut termasuk tanggungjawab seorang penulis yang baik hati, tidak sombong dan berusaha untuk rajin menabung.
Memang sulit, tidak ada yang bilang kalau cinta karena Allah itu mudah. Semua perlu usaha.
Manusia bisa mengatakan bahwa sebuah perbuatan itu baik atau buruk, semua itu tergantung dari manfaat atau tidak manfaat. Ia bisa mengatakan bahwa perbuatan yang ia lakukan atau yang ia alami itu baik ketika ia berfikir bahwa perbuatan itu bermanfaat baginya. Begitu pula sebaliknya. Bukankah itu berarti bahwa manusia pada dasarnya memiliki sifat judgment? Manusia suka sekali menilai, meskipun seringkali penilaian yang ia berikan ambigu maupun tidak sesuai dengan kebenaran. Karena pandangan manusia dalam penilaian tergantung pada kebiasaan atau lingkungan ia dibesarkan. Makanya, tiap kali manusia membuat aturan, seringkali terjadi kesalahpahaman, perbedaan dan pertikaian. Pembahasan yang cukup sulit memang, tapi begitulah kenyataannya. Seperti saya dan teman-teman dari AMKU akan punya pandangan yang berbeda dengan pengelola yang asli Jogja. Haha. Dan itu sukses membuat kesalahpahaman, sampai akhirnya kami membuat persetujuan dengan musyawarah perwakilan (?). Hal-hal seperti asrama saja punya masalah, apalagi masalah kenegaraan?
Kembali ke pembahasan bahwa manusia suka sekali menilai segala sesuatu, hingga akhirnya mereka mempunyai persepsi cinta dan benci. Cinta dan benci itu bukan hal main-main. Kira-kira mengapa terjadi perang? Ya karena cinta dan benci itu. Makanya ini bukan hal main-main. Baca dengan serius (maksa). Saya tentu saja pernah mengalami hal ini. Maksudnya mengubah rasa benci tidak berdasar menjadi rasa benci yang benar. Dan sebaliknya.
Mungkin setelah ini bisa dimasukkan dalam series Home Sweet Bitter Home. Saya sangat sering bertengkar dengan laki-laki, meskipun dengan perempuan juga. Tapi meski bertengkar dengar perempuan, saya lebih sering bertengkar dengan laki-laki. Bagi saya, laki-laki itu pemalas, susah diatur, egois, dan menyebalkan. Meskipun pada akhirnya saya pasti akan menikah dengan laki-laki, pandangan saya tentang laki-laki masih seperti itu. Menyusahkan. Membayangkan akan menikah dengan laki-laki saja membuat saya sakit kepala. Ampun dah, gini banget pikiran saya. Saya butuh alat pencuci otak.
Keluarga saya termasuk dari kalangan laki-laki yang menyebalkan. Mungkin kecuali abah saya dan kedua almarhum kakek saya. Bagi saya mereka semua menyebalkan (?). Kala itu, sebagai ABG atau Anak Baru Galau yang alay, labil, dan baperan, saya mudah sekali marah. Misalnya nih, kalau saya kejeduk tembok, temboknya yang salah. Selain mudah marah, saya juga masih kekanak-kanakkan. Saya sering cekcok dengan paman yang ada di rumah. Saya bahkan pernah tidak berteguran berhari-hari dengan salah satu paman hanya karena hal sepele.
Saya juga tidak menyukai paman saya yang suka jail kepada keponakannya. Paman yang merokok dan juga jail kepada keponakannya. Paman yang suka marah. Paman yang jarang bicara. Paman yang tidak perduli pada sekitar. Intinya, saya tidak suka paman (?). Bermasalah banget deh. Saya bahkan mengutuk mereka (?) semua kecuali istri dan anak-anaknya, haha. Anak kecil banget pokoknya. Memalukan.
Saya menyadari kebegoan itu ketika sudah dewasa, ehm bukan, remaja akhir. Saya sadar bahwa itu salah, dan berusaha untuk memaafkan paman saya. Eh, kenapa saya harus memaafkan mereka, bukankah seharusnya saya yang meminta maaf? Begini saudara-saudara, terkadang kita harus memaafkan orang yang kita benci. Karena seringkali kita membenci seseorang karena kita tidak bisa mentolerasi perbuatan mereka pada kita. Maka untuk menghindarkan rasa benci dan sakit hati, kita harus memaafkan mereka, bersifat lapang dada dan berfikir positif mengenai orang itu. Mungkin mengenai hal ini bisa dibahas di tulisan lainnya.
Seorang musrifah saya mengatakan saya harus mencintai dan membenci karena Allah. Rasanya sebel ya, tidak menyelesaikan masalah. Bagaimana caranya mencintai dan membenci karena Allah? Seperti mudah dilakukan saja! Saya sebal dan tidak terima. Tapi saya mulai mencoba untuk memikirkan hal itu lebih jauh. Mungkin karena saya juga berkuliah di jurusan psikologi, saya mencoba untuk memahami orang lain. Saya mulai memaafkan paman saya dan penjuru laki-laki di muka bumi ini yang menyebalkannya luar biasa. Karena itu, sekarang rasa benci saya menurun cukup drastis. Thanks me later, man!
Hanya sisa satu paman yang menyebalkan dan belum bisa saya maafkan. Saya tidak tahu mengapa. Seingat saya, saya sudah tidak menyukainya sejak kecil. Sampai-sampai saya bertanya pada mama saya. Mama saya bilang, paman saya itu suka mengejek dan mengusili saya. Padahal saya itu adalah anak yang malas dan hidup tanpa ekspresi. Mengejek dan mengusili saya adalah hal yang paling saya tidak suka. Setelah itu, mama juga menceritakan kesedihan-kesedihan kehidupan paman saya yang bagi saya tidak begitu menyedihkan, haha. Tapi, dengan informasi itu, saya berusaha untuk mengubah pemikiran saya.
Setelah beberapa kali berinteraksi dengannya secara langsung maupun tidak langsung, sengaja maupun tidak sengaja, saya akhirnya bisa mengubah pemikiran itu secara perlahan. Saya mulai menerima paman saya dan mengubah persepsi benci menjadi tidak benci. Mengubahnya menjadi cinta itu masih jauh, kawan, menjadi tidak benci sudah cukup. Susah tapi pasti bisa kan? Karena manusia bisa mengendalikan pikiran dan mengubah persepsi sesuka hatinya, tergantung apakah ia mengusahakannya atau tidak. Mau atau tidak itu belakangan, yang penting usaha dulu.
Intinya, ubahlah persepsi cinta dan benci hanya karena Allah. Persepsi yang baik itu akan membawa kehidupan yang baik pula. Kita akan menjadi lebih baik dan mudah bersyukur, berfikir positif, optimis, mudah memaafkan, dan adil. Ini hanya hal kecil, banyak hal besar lainnya yang perlu kita ubah, dan inilah yang sebenar-benarnya “Revolusi Mental”!

Yogyakarta, 23 Agustus 2016

(ditengah-tengah bergadang demi KRS)

Komentar