Home Sweet Bitter Home (2)


Apa saya pernah cerita kalau saya suka membaca buku arsitektur? Baiklah. Buku yang sering saya baca ulang adalah buku tentang warna cat. Lebih tepatnya fengshui (?) warna cat. Seperti warna apa yang cocok untuk kamar berukuran kecil, atau warna yang mengambarkan kepribadian, atau warna yang menyehatkan mata, atau lain sebagainya. Saya bahkan mengetahui pembagian warna primer, sekunder dan tersier. Kualitas merk cat yang bagus, beserta tingkatan harga, dan sebagainya. Mungkin suatu hari, jika saya tidak jadi seorang psikolog, saya akan buka toko cat. Buka sampai subuh.

Saya pernah mengikuti kuliah psikologi perusahaan industri dan organisasi. Kebetulan materi yang dibahas berkaitan dengan tata ruang yang nyaman dan sehat untuk karyawan. Kurang lebih seperti itu, saya duduk di bagian belakang, jadi tidak dapat mendengarkan dengan baik (alasan klise). Materi itu membuat saya kembali mengenang masa lalu, nostalgia, begitulah.

Nostalgia tersebut berlanjut ketika kami diminta oleh supervisor untuk memilih warna cat kamar asrama. Supervisor mengatakan bahwa pemprov membebaskan warna dari bagian dalam asrama, termasuk kamar. Kami pun dengan giat membahas warna ini. Rasa-rasanya bagai membahas sesuatu yang akan menentukan masa depan kami ke depannya. Pembahasan sangat alot sampai pada akhirnya kami mendaulat warna pink sebagai warna kamar. Percayalah, saya bukan yang pertama dan satu-satunya yang merekomendasi warna ini.

Meskipun saya menyukai warna pink (pinkaddicted), tapi saya tidak begitu merekomendasikan warna ini untuk kamar dengan ukuran tidak luas (?). Karena saya pernah merasakannya, warna pink memang indah, tapi akan terasa gelap jika spektrum merahnya terlalu banyak. Disarankan warna pink soft. Semua setuju. Semua sepakat. Salah seorang perwakilan pergi ke toko cat untuk mencatat kode warna.

Esoknya, kami dibisiki oleh pak supervisor. Bagaimana kalau kalian menghemat anggaran biaya cat? Kalau cat merk ini terlalu mahal. Dan kalau warna ini kayaknya gak bagus, mendingan warna ini saya. Ehm. Bapak yang aneh. Kenapa tidak bapak saja yang pilih. Hueee... ingin rasanya diri ini menangis. Tidakkah bapak itu tahu betapa panjang proses pemilihan warna cat itu?

Tapi, sudahlah abaikan saja pergulatan kami dengan supervisor yang unik itu. Mari kita bahas yang lain saja.

Sama seperti warna cat rumah, kita juga bebas mewarnai hidup kita. Apapun warna hidup kita, sesungguhnya kita sendirilah yang memilihnya. Bukan orang lain. Tak ada satupun yang berhak untuk mewarnai hidup kita. Mungkin saja mereka berusaha untuk mencampuri warna kita, atau mencoret-coret sesuka mereka. Tapi tetap kita lah yang berhak untuk mewarnainya. Kecuali jika kita rela mereka merusak semuanya.

Dari semua kejadian dalam hidup, kitalah yang memilih apakah mau bahagia atau sedih, membuatnya menjadi bermanfaat atau tidak, membuatnya penuh arti atau tidak. Terserah dari diri kita sendiri. Lagi pula, kita pula yang akan menikmati dan menjalaninya. Pemilihan warna cat rumah itu penting. Karena warna itu akan menjadi ciri khas kita. Seperti rumah tante saya, warna kuning. Akhirnya, tante saya dikenal sebagai ibu yang tinggal di rumah kuning. Hehe. Kita juga akan hidup bertahun-tahun dengan warna itu sampai kita mau mengubahnya. Ya, sama seperti hidup ini. Tentukan warnamu!

Selain menentukan hidupmu, warnamu juga menentukan pengaruhmu terhadap orang lain. Apa kalian tahu bahwa warna merah akan membuat orang yang melihatnya menjadi aggresif? Lebih mudah marah dan lebih mudah lapar. Tidak dianjurkan untuk orang yang mau diet. Dan apakah kalian tahu bahwa warna hijau sangat baik untuk mata? Selain itu, warna hijau juga sangat menenangkan. Sangat dianjurkan untuk kamar anak-anak. Pengaruh warna ini secara psikologis mampu mempengaruhi kita, bahkan secara tidak langsung bisa mempengaruhi fisik kita.

Begitulah kita, apapun keputusan hidup kita, akan mempengaruhi orang lain. Apakah kita membuat diri kita sebagai orang yang dipercaya, atau disegani, atau dikhianati. Karena kitalah yang memupuk jiwa kita menjadi orang yang kita inginkan. Pelaku atau korban, atau hanya sekedar menjadi saksi. Saksi bisu mungkin. Sudah jadi saksi, bisu pula. Hem. Cukup miris. Sangat disayangkan. Tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

To be continue

Komentar