Saya
sangat suka membaca buku arsitektur ketika kecil. Bukan karena saya
bercita-cita sebagai arsitek atau karena abah saya adalah seorang arsitek. Tak
satupun dari keluarga saya yang berprofesi sebagai arsitek. Hanya sepupu saya
saja yang pernah satu tahun berkuliah di jurusan arsitek, hehe. Abah saya
sangat ingin punya rumah sendiri. Yang cukup untuk kami berlima, ketika itu
Tika belum lahir. Mungkin jauh sebelum itu, abah saya sangat ingin punya rumah.
Bukankah itu adalah keinginan semua orang di dunia ini? Punya rumah yang teduh
dan menenangkan. Cukup untuk keluarga kecil.
Ada
begitu banyak buku tentang arsitektur rumah, sebanyak yang dapat saya ingat,
tentang desain rumah, desain kamar, desain taman, desain dapur, desain kamar
mandi, hingga mengenai pagar, meubel, cat, dan sebagainya. Semuanya membekas
dengan baik diingatan saya sampai sekarang. Bahkan kenangan itu akan kembali
muncul tiap kali membaca judul buku arsitektur di toko buku, melewati toko
meubel, atau cat. Rasanya menyenangkan.
Hingga
akhirnya, abah saya berhasil membuat rumah, kami tidak kunjung pindah. Abah dan
mama saya lebih memilih tetap di rumah induk sambil menjaga nenek agar nenek
tidak kesepian. Agak sulit untuk diterima memang, tapi akhirnya saya menyerah.
Sampai sekarang kami masih di rumah nenek dan rumah baru itu disewakan.
Saya
bukan sekedar membahas tentang kenangan itu, tapi juga mengenai orang-orang di
sekitar saya. seperti yang beberapa dari anda ketahui, saya tinggal di Asrama
Mahasiswa Kalimantan Timur, meskipun saya dari Kalimantan Utara. Ah, abaikan
saja bagian ini. Ehm, pokoknya, saya sudah tinggal di tempat ini selama dua
tahun. Setelah terlalu lama hidup nomaden, berpindah dari kost satu ke kost
lainnya, saya menemukan asrama yang rada angker ini. Abaikan juga bagian ini.
Asrama
yang tidak sempurna tapi menarik. Saya selalu menemukan hal yang unik dan
menarik darinya. Termasuk banyaknya kerusakan di sana sini, haha. Sudah
bertahun-tahun tidak direnovasi. Padahal tetangga-tetangga sudah merenovasi
rumah mereka satu persatu. Bersaing-saing memperbaiki rumah. Membuat saya iri,
kapan gitu ya asrama diperbaiki juga? Hehe.
Akhirnya
keajaiban itu sampai juga. Asrama pada akhirnya diperbaiki. Karena itu, sebelum
pulkam, saya diwanti-wanti untuk mengemas barang-barang. Memasukkannya ke dalam
kardus atau ke dalam lemari. Ah, apapula saya harus melakukannya? Memangnya ada
seberapa banyak barang pribadi yang saya punya? Saya kan hanya menumpang,
biasanya penumpang suka ‘nebeng’. Maka, saya sering ‘nebeng’ alias ‘numpang’
barang milik asrama. Sejenis ember, sapu, sikat, rak, lemari, meja, dan
sebagainya. Mungkin yang menjadi masalah adalah buku-buku saya yang banyak. Serasa
mau buka perpustakaan.
Begitulah.
Saya dengan suka cita mengepak barang-barang (baca: buku) ke dalam
kardus-kardus. Karena tak lama lagi asrama akan direnovasi. Bagai impian yang
jauh sekali, akhirnya terwujud. Sebenarnya kamar saya tidak begitu bermasalah. Hanya
kamar atas, kamar di depan saya, kamar di samping kamar depan saya, kamar di
depan kamar atas kamar saya, kamar di samping kamar depan kamar atas saya,
dan... ehm, saya agak bingung terlalu banyak kamar yang rusak, hehe.
Pokoknya,
kami semua mulai membereskan semua barang. Tetiba pada hari H, pak Tukang
memploklamirkan bahwa semua kamar akan direnovasi! Apa? Kepanikkan dengan
segera melanda penghuni asrama yang hanya sedikit (karena yang lain masih di
kampung). Kami (dibantu pak Tukang dan penghuni asrama Putra) mengangkat semua barang
ke lantai dua. Keadaan sangat rieuweh dan tidak terkondisikan. Perumpamaannya lantai
bawah bagaikan kondisi gedung setelah gempa, dan lantai atas bagaikan tempat
pengungsian. Sedih sekali. Cukup miris. Tidak dapat diungkapkan dengan
kata-kata. Ketika kami dulu hidup dikelilingi oleh para Tukang, sekarang kami
hidup bersama tukang. Hem. Sedih sekali. Cukup miris. Tidak dapat diungkapkan
dengan kata-kata.
Tapi
tenang, saudara-saudara. Para Tukang tidak tidur bersama kami. Sesungguhnya,
ketika ada segerombolan laki-laki tidur seatap dengan segerombolan perempuan
itu lebih menakutkan daripada tidur dengan segerombolan hantu! Percayalah! Karenanya,
pak Tukang hanya datang pagi, sekitar pukul delapan, dan pulang sore, sekitar
pukul lima.
Asrama
yang sepi, semakin sepi dengan tidak adanya lampu di lantai satu. Saya pernah
pulang malam ketika itu melihat asrama dari kejauhan tampak seperti kastil
Rapunzel yang tidak terurus bertahun-tahun. Angkernya maksimal, meningkat lima
puluh kali lipat dari sebelumnya. Lebih angker lagi ketika saya menyadari bahwa
pintu pagar dan pintu masuk tidak dikunci. Angker sekali. Cukup mengerikan. Tidak
dapat diungkapkan dengan kata-kata. Apa yang terjadi kalau ada maling dengan
mental baja anti horor masuk ke asrama dan melakukan hal yang seharusnya
dilakukan maling? Entahlah. Terkadang saya berinisiatif untuk menyewa lantai
bawah untuk dijadikan arena rumah hantu. Kelihatannya menarik dan
menguntungkan. Karena orang-orang lebih rela membayar masuk ke rumah hantu
daripada masuk ke rumah Allah. Hem.
Well,
beberapa yang ingin saya sampaikan adalah orang-orang saat ini berlomba-lomba memperbaiki
rumah dan menghias rumah. Padahal jauh daripada itu, kita seringkali lupa untuk
memperbaiki atau menghias rumah di akhirat. Atau jangan-jangan, kita bahkan
tidak membangun pondasinya sama sekali?
Padahal,
bukankah membangun rumah di akhirat jauh lebih penting? Karena sesungguhnya
akhirat itu kekal dan dunia hanya sementara. Kita tinggal di dunia ini bagaikan
tinggal di perantauan. Bagi saya sendiri, tidak masalah tinggal di kost atau
asrama yang tidak mewah. Karena dengan begitu kita akan merindukan rumah. Tempat
perantauan yang terlalu nyaman, membuat kita malas untuk kembali pulang. Membuat
kita malas untuk berjuang. Bagi saya sendiri.
Bukankah
bagaimanapun juga kita harus pulang? Membangun rumah yang ada di kampung karena
kita berasal dari sana dan kita akan kembali. Logikanya sama seperti akhirat,
bahkan lebih dalam lagi. Selamanya. Arti dari kata selamanya ini berarti sangat
lama. Lama sekali. Selamanya. Sudahkah anda membangun rumah di akhirat?
Membangun
rumah tidak bisa sendiri, kita membutuhkan orang lain. Terutama keluarga. Maka,
bangunlah rumah dimulai dari keluarga sendiri, lalu ajak orang lain di sekitar
kita untuk membangun rumah pula. Sehingga, kita tidak hanya bertetangga di
dunia, tapi juga di akhirat. So sweet sekali, bukan?
To
be continue
Komentar
Posting Komentar