Home Sweet Bitter Home (1)


Saya sangat suka membaca buku arsitektur ketika kecil. Bukan karena saya bercita-cita sebagai arsitek atau karena abah saya adalah seorang arsitek. Tak satupun dari keluarga saya yang berprofesi sebagai arsitek. Hanya sepupu saya saja yang pernah satu tahun berkuliah di jurusan arsitek, hehe. Abah saya sangat ingin punya rumah sendiri. Yang cukup untuk kami berlima, ketika itu Tika belum lahir. Mungkin jauh sebelum itu, abah saya sangat ingin punya rumah. Bukankah itu adalah keinginan semua orang di dunia ini? Punya rumah yang teduh dan menenangkan. Cukup untuk keluarga kecil.

Ada begitu banyak buku tentang arsitektur rumah, sebanyak yang dapat saya ingat, tentang desain rumah, desain kamar, desain taman, desain dapur, desain kamar mandi, hingga mengenai pagar, meubel, cat, dan sebagainya. Semuanya membekas dengan baik diingatan saya sampai sekarang. Bahkan kenangan itu akan kembali muncul tiap kali membaca judul buku arsitektur di toko buku, melewati toko meubel, atau cat. Rasanya menyenangkan.

Hingga akhirnya, abah saya berhasil membuat rumah, kami tidak kunjung pindah. Abah dan mama saya lebih memilih tetap di rumah induk sambil menjaga nenek agar nenek tidak kesepian. Agak sulit untuk diterima memang, tapi akhirnya saya menyerah. Sampai sekarang kami masih di rumah nenek dan rumah baru itu disewakan.

Saya bukan sekedar membahas tentang kenangan itu, tapi juga mengenai orang-orang di sekitar saya. seperti yang beberapa dari anda ketahui, saya tinggal di Asrama Mahasiswa Kalimantan Timur, meskipun saya dari Kalimantan Utara. Ah, abaikan saja bagian ini. Ehm, pokoknya, saya sudah tinggal di tempat ini selama dua tahun. Setelah terlalu lama hidup nomaden, berpindah dari kost satu ke kost lainnya, saya menemukan asrama yang rada angker ini. Abaikan juga bagian ini.

Asrama yang tidak sempurna tapi menarik. Saya selalu menemukan hal yang unik dan menarik darinya. Termasuk banyaknya kerusakan di sana sini, haha. Sudah bertahun-tahun tidak direnovasi. Padahal tetangga-tetangga sudah merenovasi rumah mereka satu persatu. Bersaing-saing memperbaiki rumah. Membuat saya iri, kapan gitu ya asrama diperbaiki juga? Hehe.

Akhirnya keajaiban itu sampai juga. Asrama pada akhirnya diperbaiki. Karena itu, sebelum pulkam, saya diwanti-wanti untuk mengemas barang-barang. Memasukkannya ke dalam kardus atau ke dalam lemari. Ah, apapula saya harus melakukannya? Memangnya ada seberapa banyak barang pribadi yang saya punya? Saya kan hanya menumpang, biasanya penumpang suka ‘nebeng’. Maka, saya sering ‘nebeng’ alias ‘numpang’ barang milik asrama. Sejenis ember, sapu, sikat, rak, lemari, meja, dan sebagainya. Mungkin yang menjadi masalah adalah buku-buku saya yang banyak. Serasa mau buka perpustakaan.

Begitulah. Saya dengan suka cita mengepak barang-barang (baca: buku) ke dalam kardus-kardus. Karena tak lama lagi asrama akan direnovasi. Bagai impian yang jauh sekali, akhirnya terwujud. Sebenarnya kamar saya tidak begitu bermasalah. Hanya kamar atas, kamar di depan saya, kamar di samping kamar depan saya, kamar di depan kamar atas kamar saya, kamar di samping kamar depan kamar atas saya, dan... ehm, saya agak bingung terlalu banyak kamar yang rusak, hehe.

Pokoknya, kami semua mulai membereskan semua barang. Tetiba pada hari H, pak Tukang memploklamirkan bahwa semua kamar akan direnovasi! Apa? Kepanikkan dengan segera melanda penghuni asrama yang hanya sedikit (karena yang lain masih di kampung). Kami (dibantu pak Tukang dan penghuni asrama Putra) mengangkat semua barang ke lantai dua. Keadaan sangat rieuweh dan tidak terkondisikan. Perumpamaannya lantai bawah bagaikan kondisi gedung setelah gempa, dan lantai atas bagaikan tempat pengungsian. Sedih sekali. Cukup miris. Tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Ketika kami dulu hidup dikelilingi oleh para Tukang, sekarang kami hidup bersama tukang. Hem. Sedih sekali. Cukup miris. Tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Tapi tenang, saudara-saudara. Para Tukang tidak tidur bersama kami. Sesungguhnya, ketika ada segerombolan laki-laki tidur seatap dengan segerombolan perempuan itu lebih menakutkan daripada tidur dengan segerombolan hantu! Percayalah! Karenanya, pak Tukang hanya datang pagi, sekitar pukul delapan, dan pulang sore, sekitar pukul lima.

Asrama yang sepi, semakin sepi dengan tidak adanya lampu di lantai satu. Saya pernah pulang malam ketika itu melihat asrama dari kejauhan tampak seperti kastil Rapunzel yang tidak terurus bertahun-tahun. Angkernya maksimal, meningkat lima puluh kali lipat dari sebelumnya. Lebih angker lagi ketika saya menyadari bahwa pintu pagar dan pintu masuk tidak dikunci. Angker sekali. Cukup mengerikan. Tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Apa yang terjadi kalau ada maling dengan mental baja anti horor masuk ke asrama dan melakukan hal yang seharusnya dilakukan maling? Entahlah. Terkadang saya berinisiatif untuk menyewa lantai bawah untuk dijadikan arena rumah hantu. Kelihatannya menarik dan menguntungkan. Karena orang-orang lebih rela membayar masuk ke rumah hantu daripada masuk ke rumah Allah. Hem.

Well, beberapa yang ingin saya sampaikan adalah orang-orang saat ini berlomba-lomba memperbaiki rumah dan menghias rumah. Padahal jauh daripada itu, kita seringkali lupa untuk memperbaiki atau menghias rumah di akhirat. Atau jangan-jangan, kita bahkan tidak membangun pondasinya sama sekali?

Padahal, bukankah membangun rumah di akhirat jauh lebih penting? Karena sesungguhnya akhirat itu kekal dan dunia hanya sementara. Kita tinggal di dunia ini bagaikan tinggal di perantauan. Bagi saya sendiri, tidak masalah tinggal di kost atau asrama yang tidak mewah. Karena dengan begitu kita akan merindukan rumah. Tempat perantauan yang terlalu nyaman, membuat kita malas untuk kembali pulang. Membuat kita malas untuk berjuang. Bagi saya sendiri.

Bukankah bagaimanapun juga kita harus pulang? Membangun rumah yang ada di kampung karena kita berasal dari sana dan kita akan kembali. Logikanya sama seperti akhirat, bahkan lebih dalam lagi. Selamanya. Arti dari kata selamanya ini berarti sangat lama. Lama sekali. Selamanya. Sudahkah anda membangun rumah di akhirat?

Membangun rumah tidak bisa sendiri, kita membutuhkan orang lain. Terutama keluarga. Maka, bangunlah rumah dimulai dari keluarga sendiri, lalu ajak orang lain di sekitar kita untuk membangun rumah pula. Sehingga, kita tidak hanya bertetangga di dunia, tapi juga di akhirat. So sweet sekali, bukan?


To be continue

Komentar