Namanya Juga Jodoh



Seperti yang beberapa orang ketahui tentang saya, bahwa saat ini saya tinggal di Yogyakarta. Untuk sementara, lebih tepatnya. Insya Allah sekitar empat tahun, bisa lebih, bisa kurang, tergantung situasi dan kondisi, tapi pasti pulang. Nah, saya tinggal di asrama KALTIM. Kenapa KALTIM? Kenapa bukan KALTARA? Karena belum ada. Saya adalah salah satu manusia terakhir yang berasal dari KALTARA yang dipersilahkan untuk tinggal di tempat ini. Sekian.
Asrama, berarti sebuah tempat yang dihuni banyak orang. Selama kurang lebih dua puluh jam sehari, tujuh hari seminggu, empat minggu sebulan, dua belas bulan setahun, dan seterusnya, seatap bersama! Kemampuan sosial saya sedikit lebih baik, hehe.
Beberapa masalah yang sering dialami oleh anak-anak adalah banyaknya barang yang tertukar atau hilang. Yah, untung-untung deh kalau cuman tertukar, terus nanti balik lagi. Lah, masalahnya kalau tertukar untuk selamanya! Nangis meraung-raung mungkin. Apalagi kalau barang yang hilang itu mahal, atau makanan minuman yang enak. Mampus deh. Rasanya sakit tapi tidak berdarah (Gaara, 2012?).
Saya, sebagai anak yang baik, selalu mengikuti saran ibu saya untuk memberi label di setiap makanan atau minuman atau barang milik saya sendiri. Penuhlah semua barang dengan nama saya. Efektif. Salah satu penghuni yang barangnya tidak terpencar kemana-mana, ya saya. Alhamdulilah. Betapa manjurnya label bernama itu. Entah karena labelnya yang manjur, atau nama saya yang menakutkan.
Kisah selanjutnya. Ada peraturan yang melarang kami untuk menaruh sendal di depan tangga. Saat itu saya sedang sial, lebih tepatnya malas, sehingga sendal yang baru saya beli dan bertujuan untuk dipakai ketika malas pakai sepatu itu hilang. Naas banget. Padahal warnanya bagus. Pink! Saya menduga bahwa hanya saya makhluk di asrama yang punya sendal atau sepatu warna pink. Warna itu, selain karena saya menyukainya, juga agar dapat dikenali bahwa sendal itu adalah milik saya. Just mine!
Sepertinya sendal itu disita, pikir saya. Karena memang seperti itulah hukuman yang didapatkan jika sendal ditaruh sembarangan. Saya sedih berkepanjangan karena hilangnya sendal itu, hampir-hampir saya ingin membuat selebaran, “Dicari sendal Oka berwarna pink, baru dibeli minggu lalu ketika diskon di supermarket xxx”. Tapi saya urungkan, karena akan mendobrak kealayan saya yang terpendam. Sejak saat itu, saya pakai sepatu kemana-mana. Gak mau beli sendal, lebih tepatnya malas. Sifat malas saya itu susah dihilangkan. Seperti kutu.
Banyak teman yang bertanya, kenapa saya sering pakai sepatu kemana-mana. Dikira saya itu orang yang rajin, terlalu formal, atau memikirkan penampilan. Meskipun aneh juga, bajunya gak sesuai sama sepatunya. Terserah, yang penting masih pakai alas kaki. Padahal, sebetulnya alasan tersembunyinya saya tidak punya sendal. Sendal gue hilang coy!
Hingga sampailah pada hari yang kita (?) tunggu-tunggu. Saat itu saya baru pulang kuliah, sore hari. Setelah memasukkan sepeda motor di basement, saya kembali naik ke atas. Setelah sampai di teras, saya melihat sebuah keajaiban. Saya dipertemukan kembali dengan sendal yang hilang itu! APA?!
“Sendal, apakah kau sendal yang selama ini hilang?”
“Iya, maaf, aku dibawa oleh seseorang yang tidak dikenal, dan ia hampir merusak salah satu tubuhku. Maafkan aku, Oka.”
“Oh, tidak apa-apa sendal. Terima kasih sudah mau bersabar menahan sakitnya dan kembali kepadaku.”
“Iya... akhirnya kita bertemu lagi.”
“Sendal~~~”
“Oka~~~”
“Aku merindukanmu~~~”
“Aku jugaaaaa~~~~”
Saya pun berpelukkan dengan sendal lalu dalam hitungan detik segera menariknya, membawanya masuk ke kamar, tutup pintu, mengunci pinntu lantas menyimpannya dengan baik-baik di tempat tertinggi di rak sepatu yang kumiliki. Oh sendal, namanya jodoh juga tak kemana!
Dengan sendal ini, saya mendapatkan pelajaran penting. Namanya jodoh, pasti akan bertemu. Entah bagaimana pun keadaannya. Meskipun terpisah, pasti akan kembali. Rezeki tidak akan mengingkari. Seperti lagunya JKT48 (eh, itu usaha ya?).
Selama ini, orang-orang suka menyalahi jodoh. Sama seperti ketika menyalahi rezeki dan menyalahi takdir. Semua ini adalah qodha’nya Allah. Keputusannya Allah. Allah akan memberi dan menariknya kapanpun Allah inginkan. Saat ini, sebentar lagi, nanti, kapan saja. Tidak perlu lah kita menyalahi semuanya. Dasar manusia tidak tahu diri! Huahaha (ketawa jahat).
Akhir-akhir ini kita mendengar berita banyaknya kecurangan ketika bekerja, pasti karena tidak yakin dengan rezeki yang diberikan oleh Allah. Ia tidak yakin kalau bekerja jujur akan mendapatkan rezeki. Lagipula, sedikit ataupun banyaknya rezeki, bukankah yang penting adalah berkahnya, halalnya. Gak usah mikir banyak dan dikitnya dulu. Bisnis itu bukan hanya untung rugi, tapi juga pahala dan dosa.
Semua dari kita setuju kalau semua yang kita miliki tidak kekal dan akan kembali kepada Allah. Semua dari kita juga setuju kalau Allah lah pemberi rezeki dan penarik rezeki. Pun setuju kalau Allah akan menghisab usaha bukan hasil. Tapi apakah perilaku kita menampilkannya? Banyaknya sih enggak. Kenapa?
Banyak yang mencuri, korupsi, menipu, membunuh, memfitnah, menganiaya hanya karena ingin mendapatkan materi yang banyak. Lah, lantas, setelah dapat materi yang banyak, apakah kita puas? Seringkali malah rezeki yang tak tampaklah yang membuat kita puas. Kesehatan, waktu luang, kebahagiaan. Lebih jauh lagi, iman, istiqomah, ridho Allah.
Sama deh dengan orang-orang yang pacaran. Saya bukan termasuk orang yang menjelek-jelekkan orang pacaran, tapi emang pacaran itu jelek, mau gimana lagi ya. Saya terpaksa jujur deh. Buat apa menghabiskan waktu dengan orang yang belum tentu akan menjadi suami atau istri kita. Lebih jauh, yakin gak sih kalau memang dia adalah belahan jiwa kita? Apa deh, dari pada dibilang belahan jiwa, yakin gak sih kalau kalian bakal sehidup semati sebagai suami istri? Jangan-jangan, kalaupun nikah, cuman bertahan beberapa bulan.
Bukannya skeptis, tapi buktinya terlalu banyak. Sudah berkahnya gak dapat, setianya juga gak dapat. Emang banyak juga yang tidak melalui pacaran, terus nikahannya cuman bertahan sebentar. Tapi plis ya, kita lagi gak membahas itu. Kita sedang membahas betapa usaha mengikat pasangan dengan cara pacaran itu sama sekali tidak berguna.
Katanya yakin kalau jodoh itu gak kemana, katanya yakin kalau yang baik akan bertemu dengan yang baik. Kamu yakin apa maksa? Karena pacaran itu tidak membuktikan semua keyakinan itu. Pacaran itu artinya kamu maksa dia buat jadi pasanganmu. Suka atau tidak suka, baik atau tidak. Seperti judi, kamu mempertaruhkan waktu dan masa depanmu untuk hal yang tidak jelas. Dihentikan saja, nggih. Mending memperbaiki diri aja dulu. Jodoh gak akan kemana, pasti akan ke rumah kok.
Kalau bahas jodoh, terlalu panjang, ntar pada baper, saya yang susah. Jadi saya cukupkan sampai di sini!
Yang terpenting adalah keyakinan. Semua hal yang gaib, termasuk keputusan Allah harus kita yakini keberadaannya. Kalau kita percaya bahwa rezeki berasal dari Allah, maka berusahalah seperti yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Sama seperti jodoh. Diusahakan sesuai dengan perintah Allah dan tuntunan Rasulullah. Tidak usah mendahului semuanya, seperti tahu segalanya saja. Percaya sama Allah, deh!
Sekarang, biarkan saya berduaan dengan sendal saya yang tercinta. Setelah lama berpisah. Kurang lebih sebulan. Oh, so sweet sekali.
Wallahu a’lam bishawab
CMIIW

Yogyakarta, 15 April 2015

Komentar