The Power of Villagers


“Bagaimana caranya supaya Indonesia terhindar dari budaya korupsi?”
Pertanyaan yang luar biasa, kan? Saking seringnya dibahas, jadi udah biasa, gitu. Pertanyaan ini cukup klise, jawabannya bisa panjang. Sehari semalam dibahas juga mungkin gak selesai. Tapi, buat apa kita membahas sesuatu yang tidak akan berakhir? Makanya, saya akan memulai kisah ini tentang fenomena “Membayar Uang Tambang” di tempat saya.
Apakah ada yang mengetahui dimana saya tinggal? Saya berasal dari pulau Kalimantan, lebih tepatnya Kalimantan Utara. Kalau sudah sampai di Tarakan, kamu ikut Speed Boat ke Tanjung Selor selama kurang lebih satu jam tiga puluh menit. Begitu sampai ke Tanjung Selor, segeralah menyebrang ke Tanjung Palas, palingan lima menitan doang. Nah, setting tempat kali ini adalah kedua tempat tadi. Tanjung Palas dan Tanjung Selor.
Dengan nama yang penuh arti, kedua tanjung itu saling berhadapan dan dibelah oleh sungai Kayan. Alat transportasi untuk menyebrangi tanjung tersebut adalah dengan perahu atau dengan jembatan. Orang-orang lebih memilih untuk naik perahu. Mengapa? Karena, kalau mau melewati jembatan, akan menempuh waktu yang lebih lama dan melewati banyak kelurahan dan kecamatan untuk sampai. Lain lagi dengan persoalan jalan yang rusaknya seperti permukaan bulan. Bolong sana-sini. Mengerikan!
Nah, karena orang-orang memilih untuk menggunakan perahu, maka terdapat beberapa pelabuhan di kedua tanjung tersebut. Orang-orang lebih sering menyebutnya “Tambangan”. Jangan tanya pada saya, karena saya juga tidak tahu. Nantilah akan saya tanyakan mengapa namanya menjadi tambangan.
Saya akan sampaikan tutorial “Bagaimana Menyebrang Menggunakan Perahu di Tambangan Tanjung Selor Maupun Tanjung Palas?” yang bisa kita singkat menjadi “BMMPTTSMTP”. Kepanjangan ya? Pokoknya seperti itulah.
Pertama, ketika perahu merapat ke pelabuhan, segeralah naik dan duduk di tempat duduk yang tersedia. Utamakan duduk di dekat supirnya, supaya penumpang yang lain bisa duduk juga. Hati-hati, jangan sampai jatuh, karena perahunya kecil.
Kedua, ketika sudah duduk, jangan memegang sisi kiri maupun kanan perahu. Berbahaya! Khawatir tanganmu terjepit ketika perahu merapat ke pelabuhan atau bergesekkan dengan perahu lain.
Ketiga, jangan banyak gaya ketika di dalam perahu. Nanti oleng.
Keempat, begitu sampai di pelabuhan seberang. Tunggu sampai perahu merapat dengan sempurna, jangan sok gaya dengan langsung berdiri sebelum merapat. Nanti bakal diteriak sama supirnya.
Kelima, tinggalkan uang pas di samping tempat dudukmu atau langsung serahkan sama supirnya, kira-kira Rp. 3.000 atau 5.000. Kalau tidak punya uang pas, bayarnya di atas pelabuhan saja, jangan di perahu. Repot.
Keenam, berdirilah dan berjalan perlahan menuju pelabuhan. Sudah deh!
Nah, seperti itu tutorial naik perahu. Ada yang aneh? Ada dong. Di bagian keenam. Apa itu? meninggalkan uang di samping tempat duduk. Mungkin beberapa dari kalian akan merasa heran. Bagaimana jika ada yang tidak membayar? Bagaimana jika uang yang diberikan kurang? Dan lain-lain, dan lain-lain. Saya maklumi, karena saya baru menyadarinya sekarang ketika jiwa licik saya terasa di pulau perantauan.
Begini, inilah yang dinamakan The Power of Habits (Kekuatan dari Kebiasaan). Kekuatan ini, membuatmu yakin tidak akan terjadi kecurangan, kekurangan, ataupun korupsi, kolusi dan nepotisme. Orang-orang yang hidup di Kabupaten Bulungan, sudah terbiasa dengan hal ini, dan mereka percaya satu sama lain, tidak akan terzalimi. Lagipula, jika pun terjadi kecurangan, orang-orang yang disekitar akan dengan rela hati menceburkan si penjahat ke sungai dan tidak akan menolong penjahat itu. Seperti itu... Itulah yang dinamakan The Power of Villagers! #apadeh
Sama seperti korupsi. Sebenarnya, akar dari permasalahan ini adalah kebiasaan buruk. Begitu sebuah perilaku dibiarkan dan dibiasakan, maka dia akan terus berputar dan membuat masyarakat membiasakannya, menerimanya, dan membiarkannya. Makanya, kebiasaan buruk itu perlu dibinasakan. Kalau mau dihilangkan, maka hilangkan masalahnya.
Masalahnya, sistem negeri ini rumit sekali. Sistem yang rumit ini membuat orang muak dan ingin segera terbebaskan dari urusan administrasi yang menyebalkan. Karena itu, lumrah bagi orang lain memberikan pelumas, atau pelicin dalam bentuk uang, hadiah, atau intimidasi keluarga. Akhirnya, percuma saja membuat slogan, “Jujur itu hebat”, “Aku anti-korupsi”, atau apalah sebagainya. Lebih percuma lagi jika yang disasar hanya masyarakat menengah ke bawah, sementara pelaku utamanya adalah orang-orang yang harusnya mengurusi rakyat dan kebanyakkan makan gaji buta.
Seringkali kita mengajak anak-anak untuk membiasakan hidup jujur, sementara kita tidak memblokir media yang mengajak untuk tidak jujur dan tidak membungkan orang dewasa yang mengajari untuk berbuat curang. Sama saja bohong. Gali lubang, tutup lubang. Sekalian saja gali lubang kuburan sendiri. Masalah itu seharusnya tidak serumit saat ini, jika memang solusi langsung memangkas masalah.
Beri hukuman yang berat pada para zombi rakyat itu (pemiskinan atau hukum mati), latih masyarakat untuk membuat kebiasaan baru, dan jaga generasi muda agar tidak meniru. Begitu saja. Tapi, sayangnya, negeri ini lebih sering mendengar kata orang-orang hipokrit pecinta kebebasan. Mereka menghukum dan tidak menghukum seseorang dengan alasan yang tidak masuk akal. Disebutkan disini juga membuat saya pusing, lebih baik tidak usah, ya!
Meskipun beberapa dari mereka mengetahui solusi yang tuntas, tapi mereka lebih memilih untuk amnesia mendadak dan mengabaikannya. Kasihan sekali, kasihan sekali, kasihan sekali negeri kita ini.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (Terjemahan Q.S Al Maidah : 50)

Yogyakarta, 6 Januari 2016

Komentar

Posting Komentar