The Power of Villagers (Part 2)


Hah? Ada lanjutannya?
Iya, ada lanjutannya. Sebenarnya saya sendiri juga terkejut, kok bisa ada lanjutannya. tapi, seperti yang Anda ketahui (?), saya masih melakukan riset yang terpercaya dan kekinian (menurut saya) mengenai sebuah kebiasaan. Bisa-bisa saya jadi anak buahnya pak Pavlov. Hehe.
Jadi, begini...
Sebenarnya, judul di atas bisa digantikan dengan judul : The Power of Habits. Tapi, takut jadinya saingan sama ustad Felix, saya ubah judulnya menjadi “The Power of Villagers : Part 2”. Lagian, temanya juga masih nyambung. Eh, masa, sih? Tunggu, saya merasa ini semakin tidak nyambung. Kepala saya jadi tambah pusing.
Ehm, apa judulnya diganti saja, ya? Ah, sudahlah, tidak usah. Menghabiskan waktu saja. Kita mulai dengan...
Sekarang ini, macet menjadi masalah. Sejak dulu sih, tapi saya yang mulai merasakannya. Belum lagi buang sampah sembarangan, parkir sembarangan, dll yang sembarangan. Menurut Anda, sebenarnya apa solusi dari semua masalah ini?
Saya sendiri sudah mengerahkan seluruh pikiran saya untuk memikirkan problematika ini. Sudah bertanya kepada orang-orang, sudah membaca banyak buku, tapi beberapa dari itu semua tidak memuaskan rasa penasaran saya dan tidak memberikan solusi yang kongkret atas problematika itu.
Lalu, saya baru menyadari semua jawaban ketika berada di jalan. Ketika mengendarai sepeda motor, saya baru menyadari banyak sekali orang-orang yang melanggar lalu lintas. Dan yang membuat saya heran, mengapa tidak ada yang menindak mereka dengan tegas? Orang-orang seperti ini hanya akan menginspirasi orang banyak untuk melanggar aturan. Sebenarnya, untuk jawabannya, kalian bisa lihat di part 1.
Singkatnya, semua ini adalah masalah memulai kebiasaan.
Kemudian, beberapa jam yang lalu saya baru saja dari perpustakaan daerah yang baru di buka. Tempat yang bagus untuk tidur, eh tempat yang bagus untuk membaca buku (yaelah, namanya juga perpustakaan). Sebelum masuk ke dalam ruang baca, Anda akan dipersilahkan untuk memasukkan sepatu atau sendal ke dalam sebuah tas yang disediakan dan membawanya masuk, menyusunnya di rak atau membawanya kemanapun Anda pergi. Jika Anda melanggar, maka Anda akan dimarahi oleh petugasnya.
Apakah ada yang melanggar? Tidak ada.
Mengapa? Karena tidak ada orang-orang yang menaruh alas kakinya sembarangan.
Mengapa? Karena ada yang memarahi jika melanggar.
Untuk poin yang pertama, tergantung pada efektivitas poin yang terakhir, yaitu efek punishment, atau hukuman. Jika hukumannya tegas, maka orang-orang tidak akan berani melanggar. Bedakan dengan yang biasanya terjadi di beberapa masjid kita. Diperintahkan untuk “Rapikan sendal di depan pintu/rak”.
Apakah ada yang merapikan? Sedikit, bisa dibilang tidak ada.
Mengapa? Karena banyak yang menaruh sendalnya sembarangan.
Mengapa? Karena tidak ada yang memarahi.
Begitu saja, sih. Lalu, adakah kebiasaan yang tidak datang bersamaan dengan punishment? Lebih seringnya jarang (?), maksudnya jarang sekali tidak bersamaan dengan punishment. Biasanya, untuk di awal-awal pembentukkan kebiasaan, akan diberikan punishment terlebih dahulu. Beberapa hal yang saya temui tanpa adanya punishment adalah...
Begitu juga dengan warung yang sistemnya “Makan dulu, baru bayar.” Sebagai mahasiswa pecinta warung, saya sering sekali memperhatikan fenomena ini. Bukankah peluang untuk kabur lebih besar daripada peluang untuk membayar dengan jujur? Terlebih lagi ketika warung tersebut dipenuhi oleh orang banyak, saya pastikan, bahkan kasirnya pun kebingungan.
Apakah ada yang kabur? Jarang sekali, bisa dibilang tidak ada.
Mengapa? Karena tidak ada orang-orang yang pernah makan tapi tidak bayar.
Mengapa? Karena di dalam ingatan mereka, ketika kabur akan ada yang menghukum mereka.
Apa poinnya? Mindset, pemikiran, mahfum, atau persepsi mereka mengenai hukuman bagi orang yang kabur atau tidak punya uang untuk bayar makan.
Atau...
Tidak ada orang yang mau menggedor-gedor pintu toko yang sudah tutup, kecuali pencuri atau penagih hutang (untuk kasus tertentu). Ya, seberapapun mereka ingin membeli barang, tapi sudah waktunya berhenti beroperasi, maka mereka tidak bisa membeli lagi. Tidak ada hukuman dari pihak toko. Tapi, mereka dengan tegas menyatakan bahwa toko sudah ditutup.
Poin apa itu? Ketegasan.
Kenapa pemilik toko bisa tegas? Karena dia memiliki kekuasaan. Kalau dia adalah gelandangan, jelas dia tidak punya wewenang untuk menutup toko.
Maka, inilah pentingnya kekuasaan atau wewenang. Ibu kita punya wewenang untuk memotong uang jajan kita jika kita nakal, ayah kita punya wewenang untuk memarahi kita jika kita pulang larut malam, guru kita punya wewenang untuk memberi nilai nol jika kita mencontek, bos kita punya wewenang untuk memberhentikan kita jika kita malas bekerja. Siapapun yang punya wewenang, bisa melakukannya. Tergantung, apakah ia tegas atau tidak.
Sebenarnya, beberapa hal di atas juga termasuk punishment. Bedanya, hanya diberlakukan untuk membentuk kebiasaan, setelahnya orang-orang akan terbiasa untuk tidak melakukan kesalahan. Pada awalnya, mereka akan teringat pada ancaman, selanjutnya mereka akan lupa dengan semuanya. Dan lahirlah sebuah kebiasaan!
Untuk beberapa waktu, kebiasaan baru mungkin akan ditentang. Misalnya, dilarang parkir sembarangan, yang parkir sembarangan akan dikenai denda Rp. 50.000.000. Dilarang buang sampah sembarangan, yang buang sampah sembarangan akan dikenai denda Rp. 30.000.000. Tapi, lama kelamaan semua akan terbiasa, kok.
Tapi, yang harus diingat dalam membentuk kebiasaan baru adalah harus secara perlahan-lahan, konsisten, terstruktur, dan tepat sasaran. Misalnya, membiasakan rakyat merasakan kenaikkan bahan bakar minyak. Jangan langsung dinaikkan dari Rp. 2.000 menjadi Rp. 10.000., tapi naikkan secara perlahan. Mulailah dari ratusan hingga ribuan, sehingga selama beberapa tahun, harga bahan bakar minyak sudah menjadi tinggi.
Pada awalnya, rakyat mungkin protes, tapi tidak mengapa, itu hanya ujian kecil saja. Teruslah berjuang, lama-kelamaan mereka akan terbiasa. Dalam waktu beberapa tahun, semua perjuangan akan terbayar, kok. Terpenting juga, jangan tergoda untuk langsung menaikkan porsi kebiasaan, yang terpenting adalah perlahan tapi pasti, istiqomah!
Wah, saya rasanya sudah cocok jadi menteri.
Ehm, lanjut.
Coba dibedakan dengan kejadian pengubahan kurikulum pendidikan yang dulu pernah heboh itu. Kurikulum 2013 datang tak dijemput dan pulang tak diantar. Ia dengan serta merta mengubah kebiasaan guru dan murid. Apa yang terjadi? Perubahan yang demikian cepat dan besar itu membuat kalangan akademisi terkejut, termasuk keluarga para akademisi. Akhirnya, perubahan itu ditolak keberadaannya, meskipun kita ketahui bahwa beberapa murid sudah mulai terbiasa dengan kurikulum 2013.
Tapi, nasi sudah menjadi bubur, bubur sudah menjadi yogurt (?). Perubahan yang cepat dan besar itu dinyatakan tidak efektif, dan akhirnya dikembalikan seperti semua. Para akademisi membentuk lagi kebiasaan baru, yang sama sulitnya seperti sebelumnya. Tapi, toh, tetap bisa dilaksanakan, bukan?
Karena itulah, sebenarnya problematika dari negeri ini adalah enggannya memulai kebiasaan baik. Mantra penangkal dari memulai kebiasaan adalah “nanti” dan “cuma”. Dua kata itu berbahaya! Nanti berarti tidak selamanya, cuma berarti membiarkan selamanya.
Yang terpenting, untuk membentuk kebiasaan baik yang baru ini harus dimulai oleh pemerintah atau sistemnya, kalau cuma dari komunitas, efeknya hanya regional. Kita membutuhkan perubahan yang nasional, bung! Stop untuk berfikir pragmatis!
Wallahu a’lam bishawab
Correct me if I’m wrong

Yogyakarta, 12 Januari 2016

Komentar