Seringkali kita mengharapkan
realita sesuai dengan teori yang sudah kita yakini. Tapi sayangnya tidak. Bagai
pungguk yang merindukan bulan, terkadang semua impian itu terasa jauh.
Rasa-rasanya ingin kita buang semua teori yang sudah kita telan mentah-mentah.
Semua teori indah yang memang terasa indah dan menentramkan jiwa ini.
Ekspektasi boleh tinggi, tapi kenyataan sudah pasti.
Seringkali kita iri dengan
keadaan orang lain, karena kita mengetahui bahwa apa yang kita miliki bukanlah
suatu hal yang ideal. Seperti keluarga yang harmonis, penuh cinta, dan islami.
Keluarga yang seperti ini sangat diinginkan oleh siapapun juga. Termasuk saya
sendiri.
Ayah yang bekerja keras
tanpa melupakan anak-anaknya, ibu yang berada di rumah mengurus dan mendidik
anak-anaknya, saudara yang belajar dengan semangat, bukankah kehidupan keluarga
itu begitu indah? Sangat menyenangkan bukan? Tapi, apakah semua orang bisa
mendapatkannya?
Idealnya, sebuah keluarga
seperti itu.
Kita sudah terdoktrin dengan
teori bahwa keluarga bahagia itu seperti ini dan keluarga bahagia itu seperti
itu. Ayah bekerja dan ibu mengurus rumah.
Tapi, seringkali berbeda.
Terkadang hal ini membuat kita sulit untuk menerima kenyataan. Seperti seorang
anak yang pernah bercerita kepada saya. Ia sulit untuk memaafkan ibunya yang
sibuk bekerja dan jarang sekali berada di rumah. Sampai-sampai ia sudah merasa
berada pada kondisi membenci ibunya. Mengapa ibunya seperti ini? Bukankah ibu
bertanggungjawab kepada anak? Mengapa ia harus dititipkan kepada pembantu?
Bukankah ibu adalah madrasah pertama setiap anak? Mengapa ibu harus bekerja?
Semua kenyataan itu
membuatnya marah. Ibu yang selama ini ia pelajari bukanlah ibu yang saat ini ia
hadapi. Ia semakin marah ketika ibunya sendiri sulit untuk menerima
“nasehat”nya mengenai apa yang harus dilakukan oleh seorang ibu. Ia jengkel
ketika ibunya malah balik marah kepadanya. Ia kesal ketika ibunya sulit untuk
mengungkapkan kasih sayangnya kepada anaknya.
Ia bertanya, “bagaimana
caranya saya memaafkan ibu saya?”.
Kisah itu terasa menusuk
hati saya yang paling dalam. Setidaknya, pertanyaan itu membuat saya berfikir
bahwa ternyata bukan hanya saya yang mengalaminya. Bukan hanya saya yang merasa
bahwa realita selalu tidak sama dengan teori.
Saya selalu mengutuk
realita. Mengapa ibu saya harus bekerja sekeras itu? Mengapa ibu tidak di rumah
saja? Sama seperti kutukan anak itu,
saya bahkan menolak untuk bekerja ketika memiliki keluarga kelak. Karena saya
tidak ingin menjadi ibu saya. Saya membenci ibu saya.
Tapi, benarkah demikian?
Ketahuilah, realita tidak
bisa dijadikan sumber hukum. Ia tidak bisa menjadi acuan benar atau tidaknya
suatu perbuatan seharusnya. Kita juga tidak bisa membiarkan realita menjadi hal
yang patut dimaklumi. Seyogyanya, realita yang salah menurut ideologi kita haruslah
diubah. Bukan ideologi kita yang menyesuaikan, tapi realita itulah yang
menyesuaikan.
Lantas, pantaskah kita
membenci realita? Lebih jauhnya, pantaskah kita membenci orangtua yang sibuk
bekerja?
Ketika umur setua ini (tidak
tua juga, baru 18 tahun), saya baru menyadari bahwa apa yang dulu saya kutuki
akan kehidupan saya itu tidak benar. Saya tidak boleh membenci orang tua saya,
terlebih ibu saya. Karena, bagaimana pun, merekalah orangtua saya. Ibu saya,
tetaplah ibu saya. Tidak akan berubah meski kiamat sudah datang.
Membenci ibu saya, tidak
akan mengubah apapun. Hanya akan menambahkan sakit hati yang berkepanjangan.
Saya mencoba untuk memaafkan
orangtua saya, ibu saya. Terutama, saya mencoba memaafkan diri saya sendiri.
Lagipula, apakah ada orangtua yang ingin meninggalkan anaknya? Apakah ada
orangtua yang ingin sibuk bekerja tanpa bisa melihat perkembangan anaknya?
Tapi, apakah ada orangtua yang tidak ingin memenuhi kebutuhan anaknya? Apakah
ada orangtua yang tidak ingin memenuhi keinginan anaknya?
Dunia ini memang kejam.
Kapitalisme telah menculik para orangtua untuk menjadi pekerja yang seperti
kehilangan semua waktunya. Feminisme sudah menarik ibu-ibu kita untuk bekerja
dan meninggalkan rumah. Lalu, apalagi yang bisa kita lakukan? Karena semua
sudah tersistemkan, semua sudah terjadi. Dari lubuk hati yang paling dalam,
semua ibu tidak ingin bekerja.
Saya mencoba untuk memaafkan
diri sendiri dan memaafkan keadaan. Saya mencoba untuk memahami orangtua saya,
ibu saya, dan memahami keadaan. Saya mencoba berdamai dengan semua konflik
dalam diri ini yang sudah terlalu panjang.
Ibu saya, tetaplah ibu saya.
Ibu kita semua, tetaplah ibu kita semua. Sesibuk apapun mereka. Sesulit apapun
mereka mengungkapkan cinta kepada kita. Mereka tetaplah ibu kita.
Apakah sampai disitu saja?
Bukankah saya mengatakan bahwa realita tidak bisa dijadikan sumber hukum,
patokan kebenaran dan kesalahan? Ya. Realita tidak pantas kita jadikan sebagai
alasan untuk menyerah. Ketika saya mengetahui bahwa ibu saya terikat dengan
hukum yang menyengsarakan, maka tugas kita sebagai anak adalah membebaskan ibu
kita dari hukum yang menyengsarakan tersebut.
Susahnya menjadi seorang
anak.
Seringkali kita mengharapkan
realita sesuai dengan teori yang sudah kita yakini. Tapi, ketika kita
dipaparkan dengan realita yang mengerikan, kita pada akhirnya membenci realita
tersebut, termasuk siapa saja yang hadir di dalamnya. Lantas, apakah semua itu
dapat dijadikan alasan untuk membenci semua yang kita anggap “tidak seharusnya
dilakukan”?
Sama halnya dengan hal-hal
yang ada di sekitar kita. Yang kita anggap tidak sesuai dengan ideologi kita.
Seringkali kita membenci
masyarakat yang jauh dari islam. Kita caci mereka karena penyembahan mereka pada
makhluk gaib, kita gurui mereka dengan teori kita yang terlampau tinggi, kita
hina mereka dengan perilaku mereka yang primitif. Seringkali kita membenci
teman-teman kita yang jauh dari islam. Kita marahi mereka karena aktivitas
pacarannya, kita hardik mereka dengan pergaulan bebasnya.
Mengapa harus membenci?
Apakah cinta terlalu mahal harganya sampai-sampai kita memilih untuk membenci?
Kita marah dengan semua
realita yang tidak sesuai dengan ideologi kita, tapi pantaskah kita membenci
orang-orang yang memang tidak memahami kita, ideologi kita. Yang sebenarnya
adalah ideologi mereka pula. Gambaran dari pemikiran dan perasaan mereka yang
sesungguhnya.
Bisa jadi, dunia sekejam ini
karena kita lebih memilih untuk membenci mereka ketimbang memberikan cinta dan
mengarahkan mereka. Bisa jadi.
Bisa jadi, mereka terus
mengembangkan kemaksiatan karena kita keras diri, menjauhi mereka dan menutup
diri dari mereka. Bisa jadi.
Semua kemungkinan bisa jadi
benar, meskipun bisa jadi salah.
Tapi, apa salahnya kalau
kita mencoba untuk mulai membuka diri dan mengenal lingkungan kita. Mengenal
diri kita sendiri.
Seringkali kita mengharapkan
realita sesuai dengan teori yang sudah kita yakini. Tapi, kita tidak pula
mencoba untuk mengubah realita sesuai dengan teori.
Yogyakarta, 3 Desember 2015
Komentar
Posting Komentar