Setiap
manusia mempunyai yang namanya naluri pemenang, atau bisa saya sebut bahwa
naluri ini bahkan sudah terbawa sebelum roh menghampiri tubuh. Bukankah banyak
sekali contoh tentang hal ini? Seperti betapa banyaknya saudara yang kita bunuh
sebelum akhirnya kita sendiri mencapai sel telur? Contoh seperti itu sudah agak
membosankan, dan saya yakin kalian semua juga tidak begitu menyukainya, terlalu
sering, bukan?
Baiklah,
karena itu saya akan mengambil contoh dari suatu kisah yang saya alami sendiri.
Kisah ini dimulai ketika saya sudah berada di Jogja dan mewakili suatu
perlombaan bersama teman saya. Sebenarnya, kami tidak memiliki niat menang,
tapi anehnya, kami menang di babak pertama. Padahal, saya sudah mengingatkan
kepada mereka bahwa kami tidak boleh menang, apapun yang terjadi. Bersyukurlah,
ketika babak kedua kami berhasil kalah! Banzai!
Penjelasan
yang super-duper singkat, bukan? Yah, bukannya saya tidak mau menceritakannya
lebih detil, hanya saja cerita ini sangat panjang dan tidak akan selesai dalam
waktu dekat. Jadi… begitulah… pokoknya, ini membuktikan satu hal! Bahwa kami
masih mempunyai naluri pemenang, naluri pejuang, naluri takut kalah, naluri
bertahan hidup!
Apalah
dengan nama naluri yang super alay itu, pokoknya naluri itu benar-benar ada dan
setiap manusia mempunyainya. Dalam perlombaan itu, kami diberikan waktu sekitar
tiga puluh menit untuk menyusun strategi, dan ketika menyusun strategi itu,
kami benar-benar memanfaatkannya untuk mengalahkan tim, membantainya dan membuatnya
bertekuk lutut, meskipun tanpa sadar. Padahal kami sangat menginginkan
kekalahan lebih dari siapapun yang mengikuti lomba itu, dan akhirnya kami
menang?
Sedikit
curhat, saya merasa sedikit menyesal dengan sifat pengecut kami itu. Bukankah
tim lain berusaha untuk menang dari lubuk hati mereka yang paling dalam?
Sementara kami hanya bermain-main? Sama sekali tidak menghormati tim lain, ya?
Terserah! Bukankah sudah saya katakan di atas? Kami memiliki yang namanya
naluri pejuang, naluri pemenang! Kami bertahan.
Lalu,
untuk babak kedua dimana kami kalah, saya rasa itu bukan kekalahan. Itulah yang
namanya kemenangan! Kami berhasil untuk kalah… Kami mencapai tujuan kami dan
pulang tanpa merasa telah kalah, karena secara teknis kami menang—karena kami
menyusun strategi sungguh-sungguh untuk kalah.
Baik.
Abaikan cerita yang membuat kalian bingung di atas itu. Akan saya bahas naluri
ini lebih lanjut. Menurut beberapa tokoh psikologi barat, semisal Freud
menyebutnya Ego Defense Mechanism.
Tapi, saya lebih memilih kajian Syekh Taqiyuddin rahimullah yang menyebut
naluri ini adalah naluri mempertahankan diri atau Gharizah Baqa’. Naluri ini akan muncul dari luar dan akan aktif
ketika merasa terserang atau merasa dirinya tidak aman, baik dari serangan
fisik maupun serangan mental. Apapun itu.
Jika
ada seseorang yang menghina kita, lalu kita marah, itu artinya naluri kita
aktif. Karena diri kita terancam secara mental dan kita menolak hinaan yang
diberikan oleh si penyerang.
Jika
kita ketahuan melakukan kesalahan di depan umum, lalu kita berbohong, itu
artinya naluri itu juga aktif. Karena diri kita terancam dan kita menolak untuk
menerima kenyataan tersebut.
Jika
kita diserang pencuri, lalu kita melakukan perlawanan, teriak, memukul, lari
dan lain sebagainya, itu artinya naluri kita aktif. Ya, diri kita terancam dan
kita tidak mau benda berharga kita diambil.
Semua
contoh di atas hanya contoh kecil. Sebenarnya banyak lagi, marah, berbohong,
memukul, menendang, menghindar, mengelak, curang, membuat rasionalisasi,
membuat makar, iri dan lain lagi. Tapi, contoh itu hanyalah manifestasi yang
buruk dari rasa keterancaman kita. Meskipun memang beberapa situasi boleh
dilakukan dalam kondisi syar’i, tapi lebih banyak yang tidak boleh untuk
dilakukan.
Jika
kita dihina oleh orang lain, lalu kita berusaha lebih keras membuktikan
kemampuan kita, itu juga artinya naluri kita aktif. Lebih positif. Atau jika
kita ketahuan melakukan kesalahan, kita lalu meminta maaf. Itu juga artinya
naluri kita aktif dengan cara positif. Atau jika diserang pencuri…
Yah….
Lari
aja! Mau ngapain lagi? hehe…
Sayangnya,
banyak yang tidak menyadari betapa naluri ini sangat mempengaruhi hidup kita.
Beberapa yang mengetahui teori ini tidak tahu bahwa banyak hal yang dapat menenangkan
kita dari rasa cemas dan keterancaman. Mereka juga lupa bahwa tidak semua yang
buruk berasal dari naluri ini. Harga diri, perjuangan, tidak mau kalah, tidak
menyerah, semangat, dan lain sebagainya juga hidup dari naluri ini.
Tentu
saja, pemenuhan naluri ini memiliki kapasitas yang berbeda tiap orang.
Tergantung bagaimana ia memandang hidupnya, bagaimana ia menjalani hidupnya
dengan paradigmanya, dan bagaimana hal-hal yang disekitarnya mendidiknya.
Karena itu, tidak salah jika beberapa psikolog Barat mengalami penyakit jiwa
dari teori mereka sendiri, karena banyak diantaranya salah memahami hidup—atau
mungkin semuanya—dan pengasuhan yang salah dari lingkungannya.
Bandingkan
dengan para sahabat terdahulu dan para pejuang islam yang memiliki track record yang baik dalam menyikapi
naluri ini. Bagaimana eloknya mereka mengatur pemenuhannya. Pada satu sisi,
mereka sangat keras kepada kaum kafir, tapi di satu sisi lainnya sangat lembut
kepada kaum muslim. Tengoklah saat ini? Kebalikannya. Sangat lembut kepada kaum
kafir, dan sangat keras bin kasar kepada kaum muslim.
Mengapa?
Karena—seperti yang disebut di atas—bahwa mereka memiliki pandangan hidup yang
benar, menjalani kehidupan seperti paradigma yang ia yakini, dan lingkungannya
telah mengasuhnya dengan sangat benar!
Pandangan
hidup yang benar yang dimaksud adalah bagaimana ia memecahkan persoalan akan
asalnya, tujuan penciptaannya, dan tujuan dari kehidupannya. Ia selalu
menjawab, “Allah, Allah, Allah!” Allah dahulu, Allah sekarang, dan Allah
selamanya. Ia menjalani hidupnya dengan paradigmanya tadi, “Hidup untuk Allah,
hidup untuk Islam.” Sehingga membuatnya selalu mengaitkan diri pada hukum
Allah. Yang terakhir adalah bagaimana sekitarnya yang telah dinaungi oleh
paradigma yang sama mengasuhnya. Paradigma atau pemikiran Islam. Ya, hukum
Islam tegak kala itu. Melindunginya, mengasuhnya, membesarkannya, mendidiknya
menjadi seorang muslim yang benar-benar paham akan hakikat kehidupannya.
Tak
sulit bagi mereka untuk memenuhi naluri baqa’ ketika semua hal tadi terpenuhi. Sehingga
mereka memiliki sifat yang sangat heroik melebihi kisah di komik Marvel, dan
sifat yang sangat lembut melebihi kisah di drama Korea.
Naluri
inilah yang membuat manusia menjadi manusia. Tidak ada yang salah dengan
manifestasinya, yang salah adalah bagaimana manusia menggunakannya. Tidak ada
yang salah dengan marah, egois, harga diri, pantang menyerah, berbohong, tapi
semua harus berada pada situasi dan kondisi yang telah disetujui oleh Sang
Pencipta. Pun tidak semuanya benar, seperti jujur, mengalah, sabar, memaafkan,
berlapang dada. Semua ada porsinya. Sandarkan saja semua karena dan untuk
Allah, maka bereslah segala sesuatunya.
Bagaimana
pun manusia ingin menolak semua manifestasi dari naluri ini, tetap saja tidak
bisa ditolak. Karena ia alami. Sudah begitu apa adanya. Jalani saja. Hadapi
dengan kepala dingin namun hati yang hangat. Ikuti jalan yang sudah ditunjukkan
oleh Allah.
Yah,
pokoknya seperti itulah yang disebut dengan naluri pejuang, naluri pemenang,
naluri untuk tidak mau kalah. Naluri mempertahankan diri!
Komentar
Posting Komentar