Pers, Setajam Silet!



Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam betuk lainnya dnegan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. (UU No.40 tahun 1999 tentang Pers)

Pers merupakan pilar keempat bagi demokrasi (the 4th estate of democracy) dan mempunyai peranan yang penting dalam membangun kepercayaan, kredibillitas, bahkan legitimasi pemerintah. (R Eep Saefullah Fatah)


Dewasa ini kita dapat melihat bahwa pers memegang peran penting sebagai pihak yang dipercaya oleh masyarakat umum. Kata-kata yang disampaikan oleh mereka bagaikan kata-kata ‘dewa’, langsung dipercaya, diamini, kalau perlu permintaan mereka juga langsung dikabulkan. Begitu besarnya peran pers sampai-sampai masyarakat mudah tertipu dengan ucapan berbisa mereka.

Kapitalis-liberal telah mengukung dunia ini. Membuat dunia menjadi tempat yang kejam untuk ditinggali, udara yang tidak lagi higienis untuk dihirup dan suasana yang dingin mencekam kepada siapapun. Lingkaran setan yang mengejar uang pun tak pernah habis. Sistem busuk ini sudah membuat apapun menjadi ambigu, yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar. Kebenaran sudah menjadi abu-abu.

Penyakit dari sistem inilah yang membuat pers tak lebih menjadi pembual. Kebanyakan hanya menyajikan makanan basi, atau juga makanan yang diberi pewarna buatan dan pengawet. Sama saja, tidak sehat sama sekali! Makanan seperti inilah yang disajikan. Anehnya lagi, para penikmatnya biasa saja, persis seperti penikmat makanan cepat saji.

Terlihat sekali pers sudah melakukan berbagai macam tindak perilaku yang tidak mencerminkan kepribadian pers sejati. Pers yang harusnya sebagai lembaga yang menyampaikan kebenaran dari suatu fakta berubah menjadi lembaga yang menyampaikan kebohongan, fiksi, bahkan argumen tanpa dasar semata. Lihatlah acara ‘gosip’ lebih terkenal daripada acara berita lainnya. Kalaupun ada yang memiliki rating yang tinggi, isinya juga sama. Gosip, tidak kurang hanya lebih menutupi kebusukan saja.

Kita bisa mengingat beberapa bulan yang lalu ketika rakyat Indonesia dipaparkan dua calon pemimpin yang akan memimpin negeri ini. Tampak media seperti membagi peran. Yang satu membawa calon kesayangannya, yang satu pun tak mau kalah. Pencitraan disana-sini terlihat dengan jelas. Masalah yang tidak penting pun diberitakan.

Rakyat diajak tenggelam untuk mengurusi urusan kedua calon itu. ‘kepo’ akan masalah rumah tangga mereka, terharu dengan ‘bantuan’ yang diberikan dan mengangguk-anggukkan kepala di tengah konser yang diadakan oleh mereka. Pers membawa berbagai nama besar yang sudah mendukung kedua calon sehingga rakyat pun ikut mendukung salah satu dari calon tersebut. Bukan karena mereka mengenal dengan baik, namun karena sudah mengikuti apa yang dikatakan orang-orang ‘besar’ yang mereka sering sebut sebagai tokoh adat, tokoh agama atau tokoh publik.

Hingga akhirnya ketika tiba perhitungan suara, rakyat dibuat kebingungan. Satu sisi mengatakan calon A yang menang, sementara pihak lain mengatakan sebaliknya. Meskipun muncullah keputusan bahwa pihak A yang menang, namun rakyat yang terbiasa untuk terbelah menjadi dua tidak diam begitu saja. Mereka masih saja mendukung pihak B meskipun mereka tidak tahu dan tidak mengenal pihak B. Atau apapun yang terjadi dibelakang semua itu. Atau apa yang terjadi sebenarnya.

Kita juga ingat tentang pembunuhan yang terjadi di Paris, Prancis. Pembunuhan yang terjadi tepatnya di gedung redaksi majalah Charlie-Hebdo itu membuat gempar seluruh dunia. 12 orang terbunuh dalam adegan yang ‘mungkin’ sudah terskenario terlebih dahulu. Pembunuh diduga adalah seorang muslim yang marah karena majalah satir itu terlalu sering mencetak karikatur yang melecehkan Nabi Muhammad SAW.

Dengan dalih kebebasan, mereka mencetak karikatur tak layak itu. Media massa dan pers membuat pembelaan yang dilakukan oleh mereka sebagai hal yang benar dan layak untuk dilakukan. Kebebasan ekspresi katanya, sementara ketika orang-orang membahas membicarakan, meliput masalah tentang kebenaran holocaust dianggap sebagai anti semit. Semua akhirnya menutup mata pada masalah yang lebih besar.

Pembunuhan besar-besaran yang dilakukan di Palestina bukan lagi dianggap sebagai hal yang mengerikan. Tapi pembunuhan seorang anak Israel, yang belum tentu benar, dianggap hal yang luar biasa kejamnya. Dengan dalih itu, mereka menyerang Palestina, dan sekali lagi pers menjadikan semua yang mereka lakukan benar.

Lalu dimanakah kebenaran pers itu? tidak bisakah pers bebas dari segala sesuatu yang disebut dengan kepentingan dan keuntungan? Berita tidak lagi menyatakan kebenaran, tayangan televisi tidak lagi memberikan pendidikan. Semua hanya kepalsuan, kebohongan, pembodohan dan kesemuan.

Haruskah hal seperti ini akan terus terjadi? Kita lihat saja nanti. Entah sampai kapan kita mempercayai pers. Bahkan kita sendiri bingung akan mempercayai yang mana. Akhirnya menimbulkan rasa tidak percaya dan apatis, yang menyuburkan kezaliman orang-orang yang berkepentingan tadi.

Ah, dunia ini sudah tua...

Komentar