Bagaimana Seharusnya Kita Beribadah Kepada Allah Ta'ala (Part 1)



Kita sering mendengar tentang bagaimana seharusnya kita beribadah kepada Allah ta’ala. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak boleh beribadah kepada Allah semata-mata karena kita takut dengan neraka dan siksaNya, karena akan membuat kita menjadi budak. Pun tidak boleh beribadah kepada Allah semata-mata karena kita mengharapkan surga dan segala kenikmatan dariNya, karena akan membuat kita menjadi pedagang yang terus mencari keuntungan. Kita harus beribadah kepada Allah semata-mata karena kecintaan kita padanya, ikhlas tanpa mengharapkan suatu apapun, benarkah?
Nah, kali ini, tulisan ini akan membahas tentang bagaimana kita seharusnya beribadah kepada Allah. Saya sendiri masih memiliki banyak kekurangan, tapi tidak ada salahnya membagikan ilmu, bukan? Mari kita saling memperbaiki diri!
Sebelumnya, kita harus membahas tentang tema besar saat ini, bagaimana kita seharusnya beribadah kepada Allah. Dari tema tersebut, kita mendapatkan beberapa point penting, yaitu hakikat manusia (hamba Allah), hakikat ibadah, dan hakikat ikhlas. Yang pertama, mengenai hakikat manusia sebagai hamba Allah yang tercantum di Al Qur’an surah Adz Dzariyat ayat 56, yang berarti :
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Dari sini kita bisa melihat bahwa tujuan penciptaan manusia memang beribadah kepada Allah ta’ala. Lalu, apa yang dimaksud dengan beribadah? Beribadah berasal dari kata abida ya’budu ibadatun (taat, tunduk, patuh). Beribadah berarti menyadari dan mengaku bahwa manusia merupakan hamba Allah yang harus tunduk mengikuti kehendakNya, baik secara sukarela maupun terpaksa.
Kesimpulannya, beribadah itu adalah patuh akan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Apapun itu, baik hal itu berisi tentang ibadah mahdah, seperti solat, puasa, zakat, dan lain-lain, juga termasuk ibadah umum, seperti menutup aurat, berbakti kepada orang tua, dan lain-lain. Jika kita mengetahui hakikat ini, ternyata seluruh kehidupan umat muslim terikat dengan hukum syara’! 24 jam penuh! Masya Allah!
Nah, hubungan antara manusia dan ibadah inilah yang terpenting. Untuk membahas hubungan tersebut, kita harus mengetahui sifat manusia. Manusia memiliki sifat yang pada dasarnya mengharapkan sesuatu, entah hal tersebut bersifat fisik atau metafisik, nyata atau tidak, dan materi atau spiritual. Karena sifat yang fitrah dan naluriah inilah maka Allah memberikan pahala dan dosa agar manusia semangat dalam melakukan sesuatu. Ketika ia percaya kepada Allah bahwa jika melaksanakan perintah akan mendapat pahala dan jika melaksanakan larangan akan mendapatkan dosa, maka ia akan berhati-hati dalam berbuat. Karena ia percaya, jika ia mendulang pahala, maka ia akan mendapatkan surga dan segala kenikmatannya. Sementara jika ia mendulang dosa, maka ia akan mendapatkan neraka dan segala siksaannya. Begitulah.
Esensi ibadah, bukan sekedar rutinitas tanpa arti. Jangan sampai kita beribadah tanpa mengetahui apa yang sebenarnya kita harapkan dari beribadah. Maka dari itu, diperlukan ilmu ikhlas yang berasal dari ilmu amal yang baik. Amal yang baik adalah amal yang didasarkan oleh niat yang ikhlas dan cara yang benar sesuai tuntutan syariah. Ikhlas beribadah kepada Allah bukan berarti tanpa mengharapkan apa-apa. Karena seperti yang dikatakan di atas, manusia dasarnya memang suka mengharapkan sesuatu. Bukankah kita akan mendapatkan apa yang kita niatkan, jika kita saja tidak mengharapkan apa-apa, bisa jadi apa yang kita lakukan malah menjadi sia-sia. Sayang sekali, bukan?
Ikhlas beribadah kepada Allah yaitu mengharap ridhoNya, mengharap surgaNya, dan terjauh dari nerakaNya. Begitulah kurang lebih esensi dari ikhlas. Ikhlas bukan berarti kita tidak mengharapkan apapun, itu bukan makna ikhlas. Tapi, perlu diingat bahwa ikhlas memang hanya mengharap ridho Allah dan segala hal yang berkaitan dengan Allah. Jangan menjadi orang yang materialis. Misalnya, ketika kita sudah mengetahui hikmah dari sholat yang membuat orang menjadi sehat, kita pun akhirnya sholat hanya karena berharap bisa menjadi sehat. Mungkin saja kita menjadi sehat, tapi kita malah tidak mendapat pahala, ridho Alllah, surgaNya, dan malah mendekatkan diri pada neraka. Naudzubillah min dzalik. Jadi, beribadahlah kepada Allah dengan ikhlas karena Allah, tanpa perlu tahu hal materialis apa yang akan kita dapatkan dari beribadah kepadaNya.
Terus, bagian mana yang membahas tentang bagaimana seharusnya kita beribadah kepada Allah? Wah, sabar, kawan. Mari kita kupas lebih dalam lagi hubungan manusia dan ibadah setelah tadi kita mengetahui tentang hakikat manusia, ibadah dan ikhlas.


----Teori pertama ----
“Bahwa kita tidak boleh beribadah kepada Allah semata-mata karena kita takut dengan neraka dan siksaNya, karena akan membuat kita menjadi budak.”


Tentu saja ini kurang tepat, memang kita tidak boleh beribadah hanya karena takut, tapi takut kepada Allah adalah suatu kewajiban! Dalilnya adalah Al Qur’an dan As Sunah. Adapun dalil Al Qur’an adalah firman Allah :
“Dan hanya kepadaKu lah kamu harus tunduk (takut). Dan hanya kepadaKu lah kamu harus bertakwa” (TQS. Al Baqarah : 40-41)
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (TQS. Ali Imran : 175)
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga.” (TQS. Ar Rahman : 46)
Lalu dari hadist berikut :
Abu Hurairah ra. berkata, aku mendengar Rasulullah saw. Bersabda : “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah dibawah naunganNya, pada hari yang tidak ada naungan kecuali naunganNya, yaitu pemimpin yang adil; pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah semasa hidupnya; orang yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid; dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena Allah; seorang lelaki yang diajak berzina seorang perempuan cantik dan berkedudukan untuk berzina tetapi dia berkata, ‘aku takut kepada Allah’; Orang yang memberi sedekah tetapi dia merahasiakannya seolah tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya; dan seorang yang mengingat Allah di waktu sunyi sehingga bercucuran air matanya.” (Mutafaq Alaih)
Dari Anas ra. ia berkata, Rasulullah saw pernah berkhutbah yang aku tidak pernah mendengar khutbah seperti itu selamanya. Rasulullah saw. Bersabda : “Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, maka niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Kemudian para sahabat Rasulullah saw. menutup wajah mereka dan mereka menangis tersedu-sedu. (Mutafaq Alaih)
Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. Tentang perkara yang diriwayatkan beliau dari Tuhannya, Allah berfirman: “Demi kemuliaanKu, Aku tidak akan menghimpun dua rasa takut dan dua rasa aman pada diri seorang hamba. Jika ia takut kepadaKu di dunia, maka Aku akan memberikannya rasa aman di hari kiamat. Jika ia merasa aman dariKu di dunia, maka Aku akan memberikan rasa takut kepadanya di hari kiamat. (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Dari Aisyah ra. ia berkata, “Wahai Rasulullah saw, Allah berfirman: “Dan orang2 yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (Al Mukmin 60) adalah ditujukan kepada orang yang berzina dan minum khamr.” Dalam riwayat Ibnu Sabiq dikatakan, “Apakah ditujukan pada orang yang berzina mencuri dan minum khamr tapi meski begitu dia takut kepada Allah?” Rasulullah saw bersabda, “bukan”. Dalam riwayat Waki dikatakan, “bukan, wahai putri Abu Bakar Ash Shiddiq, tapi ia adalah orang yang menunaikan shaum, shalat, dan sedekah, dan ia merasa khawatir ibadahnya tersebut tidak diterima.” (HR. Al Baihaki dalam Asy Sya’bi Al Hakim dalam Mustadrak, ia menshahihkannya dan disetujui oleh Adz Dzahabyi)
Dan banyak lagi dalil lain yang jika diungkapkan satu-satu akan menjadikannya pembahasan khusus. Dari dalil di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa takut kepada Allah itu adalah kewajiban. Takut yang dimaksud adalah takut akan azab, siksa dan kemurkaan dari Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
Kita juga dapat memahami bahwasanya menangis karena takut dan ingat kepada Allah itu disunahkan. Rasa takut kita kepada Allah harus ditunjukkan dalam kondisi apapun, baik dalam kondisi tersembunyi atau terang-terangan, baik dalam kondisi di hadapan banyak orang atau sendiri. Salah satu dalil dari As Sunah adalah sebagai berikut.
Dari Abu Raihanah, ia berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah saw. dalam satu peperangan. Kami mendengar beliau bersabda: “Neraka diharamkan atas mata yang mengeluarkan air mata karena takut kepada Allah. Neraka diharamkan atas mata yang tidak tidur di jalan Allah.” Abu Raihanah berkata, “Aku lupa yang ketiganya, tapi setelahnya aku mendengar beliau bersabda, “Neraka diharamkan atas mata yang berpaling dari segala yang diharamkan Allah.” (HR. Ahmad, Al Hakim dalam kitab shahihnya, disetujui oleh Adz Dzahabi dan An Nasai)
Dari Ibn Abi Malikah, ia berkata, “Aku duduk bersama Abdullah bin Amru di atas batu, maka ia berkata: “Menangislah! Jika tidak bisa, berusahalah untuk menangis. Jika kalian mengetahui ilmu yang sebenarnya, niscaya salah seorang dari kalian akan shalat hingga patah punggungnya dia akan mengangis hingga suaranya terputus.” (Hr. Al Hakim dalam kitab shahihnya disetujui oleh Adz Dzahabi)
Dengan adanya rasa takut inilah seorang manusia menjadi lebih berhati-hati dalam bersikap dan tidak berani untuk berbuat dosa, ia juga menjadi lebih memperkuat keimanan dan menjaga ibadahnya agar bisa diterima oleh Allah swt.


---- Teori kedua ----
 “Bahwa kita tidak boleh beribadah kepada Allah semata-mata karena kita mengharapkan surga dan segala kenikmatan dariNya, karena akan membuat kita menjadi pedagang yang terus mencari keuntungan.”

.
.
.
--- to be continued ---

Komentar