Lebih tepatnya tulisan ini bisa disebut
tulisan ‘telat’ atau sering disebut ‘late post’. Ya, memang late post.
Pembahasan kali ini adalah tentang Angeline. Late post banget kan? Hehe. Maaf,
lagi sibuk UAS. Tapi abaikan semua alasan tak bermutu milik saya, mari kita
lanjutkan saja. Mengapa saya mengangkat tema ini? Apa karena latah oleh media? Mungkin
saja. Atau karena panggilan jiwa? Bisa jadi. Pokoknya berbagai alasan itu
dirangkum dalam tulisan ini.
Kisah
tragis Angeline menyita banyak perhatian media. Bahkan media
menggembar-gemborkan kisahnya, bagai Angeline adalah satu-satunya anak di muka
bumi ini yang mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. Padahal, Angeline bukan
satu-satunya, bukan yang pertama kali dan, sudah tentu, bukan yang terakhir. Dibelahan
dunia lain, banyak sekali anak-anak yang mengalami hal yang sama. Apa yang
membedakan mereka dengan Angeline? Banyak hal. Salah satunya kepentingan para
media massa dalam liputan Angeline. Seperti yang kita ketahui, ketika kita
fokus pada satu hal, kita seringkali melupakan hal lain. Jadi, ketika berita
Angeline mencuat, perpolitikkan Indonesia pun bergulat. Sana sini terjadi hal
yang ganjil. Tapi siapa peduli? Toh mereka lebih perduli untuk mengikuti
perkembangan kisah sinetron Angeline.
Abaikan
semua kisah ganjil yang terjadi, seperti kakak angkat yang membuat fanpage
ketika Angeline hilang, sikap diam ibu angkat Angeline ketika ia dimintai
keterangan, alpanya para guru dan tetangga akan kisah hidup Angeline sebelum ia
terbunuh, serta bagaimana media berlebihan dalam meliput berita ini. Tapi, mari
kita mendengar beberapa pendapat netizen tentang hal ini. Salah satu dari
mereka berkata, “Andai anak-anak Palestina, Rohingya bernama Angeline. Sudah pasti
nasibnya akan berbeda”. Saya sampaikan, tidak! Tidak akan mengubah apapun. Masalahnya,
kasus yang dialami Angeline dan anak-anak Palestina maupun Rohingya adalah
berbeda. Angeline mengalami kasus yang dimotivasi oleh kerakusan dan kedengkian,
sementara anak-anak yang lain karena dimotivasi oleh dendam, iri dan genosida! Yang
mana yang lebih kejam? Keduanya! Apakah jika mereka berubah nama akan mengubah
hidup mereka? Tidak, sedikit pun tidak. Masalahnya, bukan nama, tapi
kepentingan dibalik itu semua.
Tak
perlulah jauh-jauh melihat anak-anak di luar sana. Di Indonesia sendiri, banyak
sekali terjadi kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa
kepada anak kecil. Motifnya pun beraneka macam, bisa dipilih. Yang pasti, semua
kejadian itu, tidak seheboh pemberitaan Angeline. Kalaupun ada, hanya bisa
bertahan dua atau tiga bulan. Tidak lebih dan bisa kurang. Tergantung dari
kebutuhan dan kepentingan media. Bukankah begitu?
Bukan,
bukan masalah besar ataupun kecilnya pemberitaan media yang kita soroti, tapi
sejauh mana solusi yang diberikan dunia kepada anak-anak tak berdosa yang hidup
di dunia ini. Rasa-rasanya, media sudah seringkali membeberkan penderitaan
anak-anak di belahan dunia lain, terutama anak-anak muslim minoritas. Tentu saja,
bertahan hanya dalam waktu beberapa minggu. Jadi, media massa hanya tampak
seperti menggugurkan kewajiban, “hei, aku sudah menyiarkan berita tentang anak
muslim itu! Ayo, cari berita lain.” Sudah begitu saja. Sesimpel itu.
Lalu
apa yang seharusnya kita lakukan? Bukankah dunia sudah terlalu banyak
memberikan solusinya. Mulai dari yang waras sampai yang gila, semua solusi
sudah tersedia. Sayangnya, tidak ada yang benar. Yah, mendekati benar sih
banyak.
Yang
pertama adalah memberikan pengertian kepada anak bahwa mereka harus menolak
ketika area tertentu mereka disentuh, dilarang berbicara dengan orang asing,
berani berkata tidak dan lain sebagainya. Ah, padahal apalah anak kecil. Mereka
hanya anak kecil yang polos. Masuk ke telinga kiri, keluar dari telinga kanan. Kalau
pun ada, mereka tidak paham dengan maksud dan tujuannya. Tapi, dunia memberikan
solusi memang hanya sampai disini. Tidak ada solusi tuntas. Meski ada solusi
baru, tetap saja hanya memodernisasi solusi lama. Tidak memberikan solusi yang
benar.
Padahal,
tahukah kita bahwa apa yang dialami oleh Angeline dan berbagai anak dibelahan
dunia lain karena berbagai hal. Mulai dari orangtua, lingkungan hingga
pemerintahan. Bagaimana pula kita mau menyalahkan anak sementara perilaku anak
adalah cerminan dari didikan orangtua dan atau lingkungannya.
Orangtua
seharusnya bisa mendidik anaknya agar tidak menjadi korban atau bahkan pelaku
dari kekerasan dan pelecehan seksual. Di dalam Islam, orangtua diwajibkan untuk
mewajibkan anaknya untuk paham tentang aurat, tidur terpisah, interaksi dengan
lawan jenis dan sesama jenis, hubungan mahram, dan lain-lain. Sehingga, hal-hal
tadi bisa dicegah.
Salah
seorang dosen saya pernah meneliti seorang anak jalanan yang sudah paham seks
sejak dini, dengan tanda kutip bahwa paham yang dimaksud bermakna mereka sudah
tahu tentang hubungan suami istri. Anak jalanan tinggal ditempat yang kumuh dan
sempit. Jangankan punya kamar terpisah, masih bisa masuk saja itu sudah
lumayan. Dalam keadaan seperti itu, bukan hal yang tabu jika mereka bisa
melihat orangtuanya yang sedang berhubungan, karena mereka tidak tidur
terpisah. Hal ini juga dibenarkan oleh pakar, ehm, pakar apa ya saya lupa,
hehe. Waktu itu beliau menyampaikan bahwa faktor ekonomi seperti tempat tinggal
yang tidak layak inilah yang membuat anak jalanan menjadi korban pedophilia. Ia
mengatakan hal itu ketika berita tentang ‘predator anak jalanan’ sedang booming
di Indonesia. Seorang laki-laki pedophilia yang sering memangsa anak jalanan.
Nah,
salah satu penyebab dari kekerasan dan pelecehan seksual adalah dari merebaknya
pornografi di Indonesia. Kalau kita bisa mengingat, pernah terjadi seorang ayah
yang menghamili anaknya setelah menonton video porno dan pada saat itu si istri
sedang pergi ke luar negeri untuk bekerja. Karena tidak bisa menahan keinginannya,
ia pun menyalurkannya kepada anaknya. Naudzubillah min dzalik! Kita temukan
lagi bahwa ekonomi ini juga yang membuat orang menjadi pelaku pelecehan
seksual. Andai saja keluarga tersebut tidak kesulitan, si ibu tidak perlu keluar
negeri dan si ayah tidak perlu bingung ketika ingin berhubungan. Kompleks sekali!
Lalu,
tentang kekerasan pada anak, kita juga sebaiknya mengingat tentang kisah
seorang ibu yang membunuh 4 anaknya ketika keempat anaknya tertidur. Dengan alasan
bahwa si ibu tidak sanggup membayangkan nasib anaknya. Ia tidak mau anaknya merasa
kesulitan seperti dia kelak. Maka, satu-satunya cara adalah dibunuh. Ia tidak punya
uang untuk menyekolahkan dan menyenangkan hati semua anaknya. Lebih baik anaknya
tidak melanjutkan kehidupan saja. Ya Allah! Sekali lagi, kemiskinan. Maka,
benarlah bahwa kemiskinan adalah salah satu penjajahan yang lahir dari
kebodohan dan kemalasan, dan semua itulah yang membuat umat ini tidak bisa
bangkit dan hanya bagaikan makanan yang siap disantap oleh musuh Allah.
Bukankah
ini berarti Negara berperan besar? Ya, tentu saja. Dengan akal sehat saja kita
sudah tahu. Perlindungan dari anak dan orangtua saja tidak cukup. Banyak sekali
hal yang harus dilindungi, dan semua itu hanya bisa dilaksanakan oleh Negara. Percuma
saja mengadakan seminar, konferensi, penyuluhan, atau diskusi sana sini jika Negara
tidak kunjung menindak para pelaku dan mencegah korban lanjutan. Lagipula,
apalah balasan bagi pelaku? Hanya penjara beberapa tahun atau denda. Alangkah bagusnya
kalau mereka bertobat, jika pada akhirnya tidak sama sekali? Atau bahkan malah
memotivasi para calon pelaku? Bahaya sekali. Atau para korban yang kelak
menjadi pelaku? Ah, dunia macam apa ini!
Oh
ya, apa saya melupakan sesuatu? Ah, benar! Saya lupa, bahwa hanya Negara yang
menerapkan hukum islamlah yang bisa melindungi anak-anak di muka bumi ini. Muslim
maupun non muslim. Minoritas atau mayoritas. Apapun warna kulitnya, rasnya,
sukunya, agamanya, semua sama. Bukankah islam adalah agama rahmatan lil alamin?
Apakah
kita akan membiarkan kisah Angeline melahirkan Angeline-Angeline yang lain?
Atau menghentikan kisahnya dan tetap tak berbuat apa-apa? Ketika melihat
beritanya, kita hanya bergumam prihatin, merasa empati ataupun simpati, setelah
itu tidak ada perubahan. Ah, bagaimana mungkin! Apa Anda yakin bila dunia ini
aman untuk anak? Sayangnya tidak. Orang-orang dewasa dan segala kerakusan,
keegoisannya telah membuat anak-anak menjadi korban. Orang dewasa? Bahkan disebut
dewasa saja tidak pantas. Mungkin disebut orang, juga tidak.
Akhirnya,
saya hanya bisa mengatakan, meskipun tulisan ini late post, tapi isi dari
tulisan ini akan terus bertahan. Tanpa waktu kadaluarsa hingga hukum Allah
ditegakkan. Karena, jika kita masih mempercayakan anak-anak kita dilindungi
oleh hukum selain hukum Allah, sama saja bahwa kita mempercayakan anak-anak
kita menjadi rusak sedikit demi sedikit, perlahan-lahan. Inilah zaman dimana masa
lalu yang kelam kembali terulang. Inilah masa neo-jahiliyah.
Tiada
hidup mulia tanpa Islam,
Tidak mulia Islam tanpa Syariah,
Tidak tegak Syariah tanpa Khilafah.
Yogyakarta, 5
Juli 2015
18 Ramadhan 1436
21.15 WIB
bagus (y)
BalasHapusSyukron..
BalasHapusafwan.
BalasHapus