Mati Muda?


 
Ketika sedang berdiskusi dengan beberapa sahabat, saya menemukan sebuah pelajaran berharga yang terkadang dilupakan oleh banyak orang. Ya, banyak orang, terutama para pemuda. Salah satu dari sahabat saya berkata, “Saat ini banyak sekali orang membahas tentang nikah muda. Bertebaran buku-buku dengan tema yang sama, konferensi dan seminar, bahkan bermunculan komunitas tentang nikah muda. Mengapa tidak sesekali orang membahas tentang mati muda? Apakah mereka tidak memikirkan bahwa hal itu lebih penting?”
Ya. Mengejutkan sekali, bukan? Ketika Anda berada dalam forum ini, mungkin Anda akan merasa lebih terkejut lagi. Suasana diskusi pada saat itu sangat ringan, dan begitu ia berceletuk, tiba-tiba suasana menjadi hening. Apa yang ia katakan itu benar sementara kami sama sekali tidak tahu harus berkata apa. Saya kembali teringat dengan perkataan seorang sahabat di tengah terik panas, ketika itu ia berorasi. Ia berkata, “Dimana peran pemuda saat ini? Mereka semua bersibuk diri dengan urusan yang tiada gunanya. Pembahasan dan diskusi mereka berkutat dengan masalah cinta monyet dan segala tetek bengeknya. Dimana-mana berjamuran diskusi tentang jodoh dan nikah muda, seakan-akan jika tidak menikah, dunia akan runtuh!”
Saya pikir memang hal seperti inilah yang harusnya disentuh oleh pemuda saat ini. Entah mengapa, saya juga heran betapa hebatnya virus merah jambu itu menyebar. Tak pandang bulu, entah muda atau tua, entah anak kecil atau remaja, entah kaya atau miskin, entah lelaki atau perempuan, entah siapa saja, bahkan para aktivis dakwah pun tak luput dari permasalahan ini. Saya pribadi tidak menyukai virus ini, ia benar-benar menyusahkan. Ianya seperti kutu, kecil namun sulit sekali untuk dienyahkan!
Padahal apalah cinta? Satu kata dengan arti yang bervariasi. Yah, tergantung dari persepsi setiap orang yang pernah merasakannya maupun yang pernah melihat orang lain merasakannya. Merasakan? Ya, karena hal yang bernama cinta itu tidak pernah bisa terindera oleh panca indera kita. Ia hanya bisa diindera oleh hati. Cieh… #hus.
Kembali ke pembahasan awal. Tentunya, dari pada kita meributkan permasalahan tentang cinta yang berujung dengan nikah muda, alangkah baiknya kita membahas tentang kematian. Yang tentu saja pasti akan dialami oleh sesiapapun. Tua muda, kaya miskin. Siapapun berhak untuk mati. Berhak? Ehm, kurang lebih seperti itu.
Kematian adalah hal yang pasti. Terkadang banyak yang takut akan kehadirannya, terkadang ada juga yang menantikan kehadirannya. Entahlah, mengapa kematian menjadi sesuatu hal yang subjektif dalam pembahasan banyak orang. Sesuai dengan persepsi mereka sendiri akan kematian dan sejauh mana mereka menantikan kematian. Apapun persepsi mereka, kematian tetaplah suatu keniscayaan.
Tak menutup kemungkinan yang akan lebih dulu dihampiri oleh kematian adalah kita, yang mengaku sebagai pemuda dan mengaku masih memiliki jalan yang masih panjang. Karena banyak sekali yang menemui kematian bahkan yang lebih muda dari pada kita. Bayi-bayi, balita, anak-anak, banyak yang lebih dulu menghampiri kematian tanpa kita ketahui apa penghantar kematian itu dan tanpa kita sangka dan duga kedatangannya.
Kematian adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, persiapkanlah keberadaannya. Persis seperti Anda mempersiapkan kedatangan jodoh Anda. Persiapkan sebaik mungkin. Karena kematian bukanlah sebuah titik dari semua permasalahan Anda. Bisa jadi ia adalah sebuah alinea baru untuk melanjutkan kehidupan baru, yang mungkin lebih sulit daripada kehidupan saat ini. Karenanya, persiapkanlah. Dunia ini, kehidupan ini bukan untuk bersenang-senang. Tapi hanya sebagai tempat persinggahan semata. Tempat kita bersusah payah. Seperti sebuah hadist Rasulullah, dimana beliau berkata, “Kehidupan bagi seorang muslim adalah penjara, sementara bagi seorang kafir adalah surga.”
Kematian bukan hal yang menakutkan. Takut mati dan cinta dunia adalah penyakit hati yang sangat berbahaya. Ia sangat berbahaya ketimbang penyakit hepatitis atau penyakit hati lainnya. Percayalah! Penyakit ini membuat hidup Anda tidak tenang. Menolak kematian sama saja dengan menolak keberadaan diri Anda. Anda hidup, berarti Anda menanggung resiko untuk menghadapi kematian suatu saat nanti! Jangan takut mati, yang perlu Anda takutkan hanyalah kehidupan setelah kematian tersebut. Tapi, tidak sekedar perasaan takut yang merajalela, Anda harus mengubah perasaan itu menjadi sebuah emosi yang memotivasi Anda untuk memperbanyak bekal dalam menghadapi kematian dan kehidupan setelah kematian.
Kematian datang kapan saja. Persis seperti orang-orang katakan tentang jelangkung. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Kurang lebih seperti itulah. Anda tidak tahu kapan kematian menyapa Anda. Karena itu, sepanjang hidup ini, ingatlah bahwa ia akan datang tanpa terlebih dahulu menelpon atau meminta ijin pada Anda. Anda pula tidak dapat untuk menolaknya.
Sambutlah kematian! Sambutlah kematian dengan cara yang indah. Bagaimana caranya sementara kita tidak tahu kapan kematian akan menghampiri? Karenanya, teruslah mempersiapkannya. Kapanpun itu, sehingga ketika ia datang, Anda sudah siap dengan segala persiapan yang sudah Anda dicicil sejak lama. Selalulah melakukan kebaikan, beramal dan melakukan segala perintah dari Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Lakukan terus, usaha seoptimal mungkin. Karena, sekali lagi, Anda tidak tahu kapan ia akan datang. Sambutlah kematian dengan indah! Kematian Anda akan ditentukan oleh seperti apa Anda hidup di dunia.
Ah, mati muda… Hal yang paling dihindari pembahasannya oleh para pemuda, entah mengapa. Padahal seharusnya mereka paham bahwa kematian akan menghampiri siapa saja. Tua maupun muda. Padahal tahukah Anda bahwa slogan para syuhada adalah ‘Hidup Mulia atau Mati Syahid’? Mereka sudah bersiap untuk menyongsong kematian yang mereka inginkan. Hidup mulia dengan Islam atau mati syahid dalam memperjuangannya. Betapa mulia cita-cita mereka. Betapa peta kehidupan setelah mati yang mereka buat tersusun begitu indah dan rapi. Sepanjang hidup belajar, berinteraksi dengan masyarakat, berjuang dan selalu mendekatkan diri kepada Allah.
Sejarah telah mencatatkan banyaknya para syuhada muda yang gugur dengan terhormat di medan perang. Perang apapun itu, perang fisik maupun pemikiran. Mereka pergi dengan meninggalkan senyuman yang membekas selamanya, wangi yang semerbak harumnya, dan keluarga yang di dada-dada mereka telah tersimpan rasa ridho, bahagia dan haru yang amat sangat banyaknya. Indahnya kematian seperti itu…. Tidakkah Anda juga menginginkan kematian seperti itu? Ya, kematian yang dengan teguh memegang panji-panji Allah, penjaga Asma Allah, pengikut setia Rasulullah dan tulang rusuk masyarakat muslim.
Pada akhirnya, sudah siapkah Anda untuk menyambut kematian?

Yogyakarta, 2 Juni 2015
21.00 WIB

Komentar