Jalan Ninjaku


Cita-cita tertinggiku ketika akan masuk kuliah adalah menjadi mahasiswa ‘kupu-kupu’ alias mahasiswa yang kerjaannya cuman kuliah-pulang-kuliah-pulang. Rutinitas yang dilakukan berulang-ulang dengan ritme yang datar dan tidak memiliki masalah sama sekali. Nilai biasa-biasa saja, ikut UKM hanya sebagai formalitas semata, syukur-syukur punya teman buat minjem uang dan membantu ngerjain tugas. Tidak dikenal dan tidak mengenal orang. Tak ada kenangan orang lain tentangku dan aku tidak punya kenangan pada siapapun. Tidak sakit hati dan sedih karena orang lain, tidak berbicara hal yang tidak perlu seperti sok akrab atau apapun itu. Betapa menyenangkannya dunia seperti itu.
Tapi, keinginan hanya tinggal keinginan. Aku tetap saja harus bersosialisasi demi keberlangsungan hidupku lebih baik di kota orang ini. Bayangkan! Seorang diri tanpa keluarga dekat dan sahabat akrab, terombang-ambing di kota orang! Aku saja sering heran, ternyata aku hidup juga di Jogja selama 6 bulan ini. Kembali ke topik di atas, meskipun cita-citaku itu begitu mulia, namun tidak bisa diwujudkan. Aku harus mengubur impian menjadi anak pendiam, tidak dikenal, kurang pergaulan, lebih tepatnya anti sosial itu. Aku harus menggantinya menjadi anak yang banyak omong, banyak dikenal, banyak pergaulan dan mencintai sosial. Yakinlah padaku, mimpi seperti itu adalah hal yang paling sulit aku lakukan. Mengapa aku harus berubah menjadi lebih cerah seperti itu? Lebih mengenal orang? Memperdulikan orang lain? Memikirkan orang lain? Kalian tahu apa penyebabnya? Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah..
.
.
.
.
.
DAKWAH!
...
Menyebalkan sekali bukan! Dakwah sudah mengubahku dari yang dulunya individualis menjadi orang yang senang mencampuri urusan orang lain eh maksudnya membantu orang lain. Dari yang tidak suka tersenyum, menjadi harus sering tersenyum. Dari yang dulunya malas menyapa orang lain, menjadi harus menyapa orang lain. Benar-benar menyusahkan! Mau-tidak-mau aku harus melakukannya!
Kegiatan mengurusi urusan orang lain, perhatian, tampak baik-baik saja, menjaga sikap, dan menepis rasa malu berbicara di depan orang lain adalah kegiatan yang tidak menyenangkan. Sayangnya, itulah dakwah. Kita harus mau membantu orang yang dalam kesulitan, menampakkan wajah tanpa masalah (padahal sendirinya punya masalah menumpuk), sok akrab dengan orang lain (kenal gak kenal yang penting menyampaikan), hingga berani berbicara di depan orang banyak. Semua dari kegiatan itu tidak menyenangkan sama sekali. Sayangnya, itulah dakwah!
...
Tanpa terasa, kita akan merasakan indahnya dakwah, entah mengapa. Padahal hati sudah terlalu sering tersakiti, ketika ucapan tidak diperdulikan, media cetak yang disebarkan pun ditemukan di tempat pembuangan, penolakan hadir sebelum datangnya undangan, dicap aneh dan diasingkan. Ah, semua hal yang menyebalkan itu, entah mengapa terasa indah.
Yakinlah. Dakwah tiba-tiba sudah menjadi candu dalam hidupmu, tentunya dalam hal yang baik. Ia membuatmu menjadi merasa seperti seorang yang ketergantungan. Bukan, bukan dakwah yang membutuhkanmu, tapi kau yang membutuhkan dakwah. Dalam hatimu, hal itu yang muncul sebagai jawaban atas semua jerih payah dan pengorbanan (yang tak seberapa) yang telah kau keluarkan.
Seketika itu juga, aku meyakini diriku bahwa ini adalah jalan ninjaku, jalan hidupku. Apa aku menyesal karena pada akhirnya aku hidup seperti ini? Tidak, aku tidak menyesali semua keputusanku untuk berada di jalan ini.
Karena itu, kau atau siapapun yang membaca tulisan ini, tetaplah berada di barisan terdepan dakwah ini, perkokoh dan kuatkan hati, selalu yakin dan percaya, karena dakwah ini terus bergerak, jika sekali saja kau menghentikan langkah, ia akan meninggalkanmu.
Bergerak berkali-kali, karena hidup hanya sekali!

Yogyakarta, 16 Januari 2015

(dengan berbagai revisi sana-sini)

Komentar