Hope (Chap.1)

The end must be happy. If it’s not happy, it’s not the end!

Kata-kata itu saya dengarkan dari dosen Kesehatan Mental ketika membahas tentang Harapan. Ya, Harapan, seperti acara Golden Ways #ngawur. Sebenarnya, saya tidak begitu ingat pembahasan sebelumnya karena saya datang terlambat, hehe. Lanjut.


Saya pernah berkata kepada seorang teman melalui media sosial, bahwa saya bersyukur tidak lulus SNMPTN, itu artinya saya tidak membunuh harapan banyak orang. Lalu dia menjawab, “tapi mimpimu yang terbunuh”. Jika pada saat itu saya masih labil seperti pertama kali mengetahui bahwa saya gagal SNMPTN, SBMPTN, dan berbagai ujian masuk perguruan negeri lainnya (terlebih dengan kenyataan bahwa saya menjadi tunawiswa a.k.a gembelewele di Jogja), mungkin saya tidak akan bisa menjawab dan hanya bisa menangis. Tapi, saat itu dan saat ini berbeda. Saya dengan tenang menjawab, “Ya, mimpi saya terbunuh, tapi ia tidak mati.”

Pada saat itu, ketika harapan saya untuk masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja tidak terkabulkan, saya merasakan kesedihan yang mendalam. Sangat dalam, sampai-sampai saya menghabiskan waktu untuk tidur dan mengurung diri. Ketika tidur, saya berharap waktu bisa berputar lebih cepat. Terserah, yang penting saya ingin waktu cepat berlalu. Entah mengapa.

Tapi dengan perjalanannya waktu, saya mengingat bahwa ini bukanlah akhir, saya harus bangkit. Saya mulai menghibur diri ketika akhirnya di terima oleh salah satu perguruan swasta. Dalam hati saya berkata, ‘saya akan berdakwah di tempat ini’. Sebenarnya, kalimat itu hanya sebuah kata ‘penghibur’, lebih tepatnya kalimat tanpa arti. Namun, akhirnya kalimat itu berubah menjadi sebuah janji yang pada akhirnya membuat saya terus semangat untuk berjuang. Cerita selesai.

Kembali ke harapan tadi. Bukankah setiap orang berhak untuk memiliki harapan. Bahkan Allah berfirman, “berdoalah kamu dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan diterima).” Maka berharaplah kepada Allah! Kita berhak untuk memiliki harapan. Seindah apapun itu, sesempurna apapun itu, setinggi apapun itu. Terserah. Milikilah harapan. Karena itulah yang membedakan kita dengan makhluk yang lain. Kita punya harapan.

Tapi ingat, harapan manusia memang selalu tinggi. Bahkan harapan itu melewati garis kematian. Karena itu, harapan selalu terbatas dengan hukum syara’.  Jika melewati hukum syara’, maka janganlah berharap akan dikabulkan, seperti berharap untuk hidup selamanya atau mengulang kembali waktu. Itu tidak mungkin terjadi.


Harapan akan menimbulkan usaha bagi pemiliknya. Seberapa keras usahanya, seberapa gigihnya ia berusaha, seberapa kuat tekadnya dan seberapa sering doanya terlantunkan, itulah yang menentukan terwujudnya suatu harapan.

Ya, berusahalah, maka Allah yang akan menentukan. Man porposes, God disposes. Berusahalah, berharaplah, setelah itu, biarkan keajaiban Allah berjalan.

------> To Be Continued <----

Komentar