Bukankah Aku Warga Negara yang Baik?

Selama ini aku berfikir bahwa aku adalah warga negara yang baik. Lihatlah, aku tak pernah lupa untuk membayar seluruh tagihan listrik dan air. Aku merasa berterimakasih kepada pemerintah yang telah mengurus kami dengan baik. Aku membayar listrik dan air tanpa protes. Karena aku tahu, pemerintah telah susah payah meminta bantuan luar negeri untuk mengurus kami. Jadilah aku tak pernah telat membayar listrik dan air. Meskipun hampir setiap tahun harganya menaik, aku tetap teguh membayar listrik dan air. Mereka mengatakan bahwa aku harus menghargai usaha keras pemerintah. Meskipun hampir setiap hari terjadi pemadaman listrik bergilir, aku tak pernah berhenti membayar. Bukankah aku adalah warga negara yang baik?

Aku selalu memilih para caleg. Mereka mengatakan bahwa orang-orang yang muncul di spanduk-spanduk itu akan menjadi wakil rakyat kami. Mereka akan menyampaikan aspirasi kami, meskipun kami tak pernah menyampaikan aspirasi. Ah, entahlah, aku pilih saja satu di antara mereka. Meskipun aku tidak mengenali satu pun dari mereka, aku tetap memilih. Meskipun aku sering mendengar bahwa mereka sering tidur atau absen ketika rapat, aku tetap memilih mereka. Aku tetap menusuk gambar wajah mereka dengan paku kecil yang terikat di bilik kecil. Aku harap mereka tak merasa sakit. Bukankah aku adalah warga negara yang baik?

Ketika harga BBM kembali naik, aku tak pernah protes. Aku tak pernah ikut gelombang suara ketidaksetujuan teman-temanku. Meskipun barang pokok pada akhirnya melonjak tinggi, aku tak pernah bersuara tinggi. Aku harus lebih berusaha, aku berpikir positif bahwa pemerintah ingin menyeleksi kami agar bisa beradaptasi dengan dunia ini. Aku berpikir positif bahwa pemerintah ingin menuntaskan kemiskinan dengan uang subsidi yang dipotong. Mereka mengatakan subsidi itu akan dialihkan untuk orang miskin. Dan aku percaya saja. Bukankah aku adalah warga negara yang baik?

Ujian Nasional sudah tiga kali aku lakukan, dan aku selalu melaksanakan ujian dengan baik. Aku tidak mengeluh seperti teman-teman yang lain. Aku tidak pernah merasa tertekan atau apalah namanya. Karena pemerintah mengatakan bahwa semua ini sebagai tolak ukur keberhasilan setiap sekolah. Semakin banyak siswa yang tidak lulus, maka akan diberi banyak bantuan. Sebenarnya kata-kata ini membuatku bingung. Haruskah aku tidak lulus agar sekolah tuaku ini mendapat bantuan, ataukah aku harus lulus untuk menaikkan harga diri para guru? Aku bingung, tapi aku tetap mengerjakan soal Ujian Nasional dengan penuh semangat. Bukankah aku adalah warga negara yang baik?

Banyak sekali pengemis dan pengamen di jalanan, dan aku tidak pernah memberikan uang sepeser pun. Karena pemerintah melarang itu. Mereka mengatakan bahwa hal itu membuat para pengemis dan pengamen terbiasa hidup meminta-minta. Aku berpikir positif bahwa pemerintah akan mengurus para pengemis dan pengamen itu, sesuai dengan yang dituangkan di Undang-undang Dasar 1945. Aku memasang wajah acuh tak acuh dan lewat begitu saja di hadapan mereka. Aku buang semua rasa kasihan dan iba pada anak-anak mereka. Bukankah aku adalah warga negara yang baik?

Aku belajar dengan sungguh-sungguh, tak pernah kulirik organisasi yang ada di perkuliahan, bagiku semua tidak penting. Aku harus bisa lulus dengan waktu yang diinginkan pemerintah, dengan begitu aku bisa berguna bagi pemerintah. Aku bisa digunakan oleh mereka sebaik mungkin. Aku tidak boleh menjadi orang yang merepotkan negara. Bukankah aku adalah warga negara yang baik.

Tapi, aku sadar. Menjadi warga negara yang 'baik' telah menutup mata, telinga, mulut dan hatiku. Aku telah terbutakan, dibuat tuli dan bisu oleh pemerintah. Hatiku mengeras karenanya. Slogan ‘jangan tanyakan apa yang negara bisa berikan, tapi tanyalah apa yang bisa kau berikan pada negara’ adalah kesia-siaan. Omong kosong! Bukankah selama ini aku sudah menjadi warga negara yang baik? Lalu apa yang kudapatkan? Aku mendapatkan rasa sakit!

Aku sakit melihat saudaraku yang tidak kunjung dibantu oleh pemerintah, dilirik pun tidak. Aku sakit melihat banyaknya kemiskinan. Aku sakit akan itu. Saudaraku dijadikan tumbal. Mereka dikatakan sebagai biang kerok, kambing hitam atas semua masalah. Padahal apalah salah seorang yang tak punya apapun selain hati yang suci? Mereka dijadikan tolak ukur keberhasilan suatu negara. Akibatnya, berbagai cara digunakan untuk mengenyahkan mereka. Menaikkan harga sembako agar mereka tak bisa makan. Menggusur tempat tinggal sederhana mereka agar mereka menggelandang dan tertabrak kendaraan. Mendirikan perusahan dimana-mana, yang polusinya akan membunuh mereka, polusi udara dan air sama saja.

Aku sakit melihat saudaraku tidak mendapatkan keadilan. Anak, perempuan, laki-laki, lansia, semua sama saja di mata hukum, yang membedakan mereka adalah seberapa banyak uang mereka. Seberapa mampu mereka bertaruh di meja hijau. Nenek miskin yang memungut buah yang jatuh dari pohon akan lebih berat hukumannya daripada ibu-ibu cantik yang melakukan pencucian uang bermilyaran rupiah. Kalaupun sama-sama masuk penjara, penjaranya pun berbeda. Memiliki kelas persis seperti kelas di kapal. Kelas ekonomi dan kelas bisnis. Si nenek di kelas ekonomi, sementara si ibu cantik di kelas bisnis.

Aku sakit melihat saudaraku terkukung akan kebodohan. Ketika hak akan pendidikan tak dapat mereka capai. Semua aktifitas belajar mengajar hanyalah salah satu mimpi yang sulit untuk diraih. Padahal tertulis pula bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara. Lalu mengapa untuk memenuhi pendidikan itu terasa sulit?

Sebenarnya aku pun heran, apa tugas pemerintah ini? Ketika kami yang menggaji mereka dengan pajak. Kami menghidupi diri kami sendiri. Apa tugas pemerintah itu sebenarnya? Kenapa mereka tak pernah puas untuk menyiksa kami? Kami dengan patuh membayar semua keperluan mereka, dan apa bayarannya? Menaikkan harga sembako? Menaikkan harga BBM? Apa alasannya? Agar tidak membengkakkan APBN, dan apalah itu! Dimana semua uang kami? Dimana? Apa ini yang namanya rasa terima kasih? Butuhkah mereka terima kasih dari kami sementara kami tak pernah mendapatkan kasih?

Semua retorika omong kosong mereka sudah tidak berguna. Tidak mempan! Semuanya palsu. Seluruh senyum manis dan janji indah itu semua palsu! Tak berarti dan tak berguna. Semua kaos dan bantuan itu tak berguna lagi! Semuanya omong kosong!

Terlebih lagi ketika mulut kami dibungkam! Kami dipaksa diam, kami diperintahkan untuk lupa! Tapi kami menolak untuk diam, kami harus bersuara! Lagi pula, kemana lagi kami harus mengadu selain kepada mereka? Kami menolak lupa, karena kami adalah manusia yang berhak diperlakukan seperti manusia. Kami akan terus berjuang. Karena kami tak mau lebih sakit dari pada ini.

Dan rasa sakit ini entah ada dimana. Karena semuanya sakit, menjalar, meradang! Tapi aku tahu apa penyebab dari semua rasa sakit ini. Bukankah tidak mengetahui tempat rasa sakit bukan berarti tak tahu penyebab rasa sakitnya? Aku yakin, inilah penyebab dari rasa sakit itu. Semua karena diterapkannya sistem kufur! Sistem yang telah membuat manusia tak lagi menjadi manusia. Sistem yang membawa manusia kembali ke hukum rimba. Siapa yang kuat, dialah yang menang. Siapa punya banyak uang, dialah yang akan menang!

Maka hanya satu obat ampuhnya. Obat yang berasal dari Allah SWT. Karena semua penyakit ada obatnya, maka sistem islam adalah satu-satunya obat dari penyakit yang dibuat sistem kufur! Kembalikan kehidupan Islam yang sesungguhnya! Karena hidup dengan sistem ini sudah cukup memuakkan!

Komentar