Wonderful Story of Turkey (Part 2)


Wah, apa kalian sangat pesaranan sekali sampai-sampai membaca episode dua dari tulisan saya? Kekeke... Terima kasih lahh... #gayaAtuk. Baiklah, agar kalian tidak penasaran sampai akhir hayat, saya bersedia untuk bercerita.
Kami lalu pergi ke Blue Mosque. Kenapa di sebut masjid biru? Karena memang hiasan keramik yang mendominasi hiasan di masjid ini adalah biru. Bukan karena semuanya biru, tapi dominasi biru. Seperti itulah. Masjid masih beroperasi sebagai masjid, belum diubah menjadi museum seperti masjid yang kita akan bicarakan nanti.
Non-muslim boleh memasuki masjid ini, baik di pelatarannya, taman maupun dalam masjid sampai di batas yang ditentukan--khusus untuk sholat. Namun, syaratnya harus menutup aurat. Jadi, disediakan kerudung untuk perempuan disana. Di masjid ini, sekali lagi tidak bisa berhenti untuk kagum karena keindahannya. Batu marmer yang menjadi bahan utama masjid ini membuatnya menjadi dingin. Bahkan tanpa alat pendingin sekalipun. Karpetnya saja dingin, meskipun terbayang seberapa tebal karpet itu.
Selanjutnya kami pergi untuk makan lalu pergi ke hotel di Bursa. Rencananya besok kami akan pergi ke Uludag. Gunung yang bersalju. Maklum, orang Indonesia kan gak pernah liat salju, kecuali di kulkas. Karena itulah...
Jam perjalanan menuju kesana adalah sekitar tiga jam, seingat saya. Kami menaiki kapal menuju Bursa selama tiga puluh menit. Bursa adalah kota terkecil di Turki, kata Guide Tournya--Mr. Tamar. Meskipun kecil, kotanya sangat bagus dan bersih. Serasa di luar negeri #plak #emangIya. Selama tiga jam itu saya memutuskan untuk tidur. Tidur lagi?? Ya sambil-sambil menulis cerita perjalanan ini. Lagipula apalagi yang dilakukan di dalam bis? Main bola?
Selanjutnya di hotel, saya kembali melewatkan cerita tidak penting ini -->> Skip
Paginya, sekitar pukul tujuh pagi, kami bersiap untuk check out serta sarapan. Saya dan mami bertukar sepatu. Katanya sih supaya pas difoto gak ngebosenin, sepatunya itu-itu mulu. Terserah saja sih. Kami pun pergi ke Uludag dengan suka cita. Namun, harapan hanyalah tinggal harapan. Ternyata gondola yang akan membawa kami naik ke Uludag sedang terkendala hal tak terduga. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Green Mosque, Grand Mosque dan makan siang. Makan lagi? Percayalah bung, cuaca super dingin ini mampu memaksamu untuk terus makan. Menyimpan banyak lemak supaya menghangatkan diri, seperti hewan yang sedang hibernasi. Atau sebagai pengisi energi yang habis ditelan hawa dingin. Kuper eh super sekali!
Setelah makan, kami solat di Green Mosque. Sama seperti riwayat Blue Mosque, Green Mosque didominasi oleh keramik hijau. Sama pula dengan semua masjid yang ada di Turki, peninggalan khilafah utsmaniyah ini benar-benar melegenda indahnya. Kaum akhwat berwudhu di toilet umum. Jangan bayangkan toilet umum yang sering kita lihat di Indonesia beserta kumuhnya imej toilet umum. Toilet umum disini sangat bersih. Hanya bayar 1 lira, semua masalah tuntas! Airnya dingin, bo! Dinginnya aor yang ada di Jakal KM 23 jauh kalah dari dinginnya air disini. Oke, saya bertekad tidak malas lagi untuk bangun subuh. Kadang malas, jadi solatnya agak diundur, berharap airnya berubah jadi hangat, hehe #ketahuan. Mungkin karena warga Turki paham bahwa keutamaan perempuan adalah solat di masjid, makanya tempat wudhu untuk perempuan tidak ada. Hanya toilet umum yang dibuat oleh warga sekitar. Tempat solatnya pun benar-benar tertutup dan limited space, hanya untuk 20 orang bertubuh normal, atau 30 orang untuk bertubuh langsing.
Selesai solat di Green Mosque, kami mendapat kabar gembira. Kabar gembira untuk kita semua! Bukan karena manggis ada ekstraknya atau durian ada ekstraknya, tapi karena gondola sudah di perbaiki! Hore... Tapi sebelumnya kami singgah dulu ke Grand Mosque dong! Tak ada kata lain. Masya Allah, saya sampai lupa. Haha. Maafkan saya.
Menuju Uludag menggunakan gondola selama tiga puluh menit itu lumayan membuat waktu berharga saya habis untuk mengambil foto mami dan paksaannya untuk mengambil foto bersama. Saya bukan orang yang suka foto-foto, tapi saat ini sedang tak bertenaga untuk foto-foto. Mungkin saya lelah. Pemandangan dari atas lumayan indah. Semakin keatas, semakin indah dan semakin menegangkan. Apalagi sempat beberapa kali terhenti. Gondola bergoyang dan hatiku pun bergunjang! Kecepatan jantung langsung berpacu lebih cepat, terlalu cepat sampai-sampai bisa diikutkan lomba balap jantung.
Akhirnya, setelah melewati tiga puluh menit penuh ketegangan, kegoyangan, dan kenarsisan, kami sampai dengan selamat sentosa tanpa kurang kewarasan sedikit pun. Kami kembali disambut dengan udara dingin yang ditambah sedikit sinar mentari. Sinar yang hangat membuat es yang bertebaran tipis di jalan sedikit demi sedikit mencair. Bahkan, pemandu kami mengatakan untuk jangan berjalan terlalu jauh karena khawatir akan terjadi tragedi terpeleset jamaah. Karena itu, jiwa narsis mami saya kumat kembali. Sebagai keponakan yang baik, menurutnya, maka saya pun memenuhi panggilan jiwa narsisnya itu. Lalu, akhirnya dia mau mengambil foto saya dengan kata-kata andalan yang sering diulang-ulang, "cepatlah kau befoto! Marah mamu nanti ndak ada fotomu. Kena mangah (marah) lagi mami. Aw eh.. Cepatlah!". Begitulah (-_-), membayangkan omelan mama yang mampu menghancurkan planet seperti kekuatan Goku, selalu ampuh membuat saya mau untuk difoto. Jepret!
Hanya karena diberikan waktu tiga puluh menit untuk berada di Uludag, membuat banyak orang kecewa karena belum memuaskan naluri narsis mereka. Namun, Mr.Tamar meyakinkan bahwa jika mereka tidak pergi tepat waktu, maka perjalanan dari Bursa menuju Istanbul akan mancet, istilah kerennya sih heavy traffic. Dan memang kemacetan menggila! Semua orang bermacet-macet-ria. Karena jam empat sore adalah waktu pulang ke rumah bagi banyak orang. Baik yang ke Bursa atau Istanbul. -->> skip
<<-- kisah lain di hotel -->>
Kejadian terkonyol saya rasakan ketika berada di hotel selama seumur-umur hidup di dunia fana ini. Hal utama ketika memasuki kamar di hotel adalah memeriksa hal terpenting, yaitu : toilet (tempat paling sakral untuk membuang segala hal, dari kotoran maupun kegalauan), kasur (jangan sampai kamarnya tidak ada kasurnya, mungkin anda salah masuk, malah masuk ke gudang mungkin), dan yang terakhir adalah arah kiblat.
Nah! Dari sinilah kisah aneh bin konyol itu mulai. Setelah mengecek kedua hal penting tadi, saya dan mami belum menemukan satu pun tanda arah kiblat. Plis, orang sudah mau solat ini! Tapi, kami tidak menemukan satu pun tanda-tanda kekuasaan ilahi tersebut. Kami sudah menengadah sedemikian rupa. Biasanya langit-langit kamar adalah tempat strategis, tapi kami tidak menemukannya. Bahkan mami sudah menelpon resepsionisnya. Ia lalu berkata pada saya, "bilangnya di atas. Di atas mana juga. Coba kau cari, takut kita malu kalau betul ada di atas. Hih. Baru paluy bahasa inggris pula resepsionisnya tuh!"
Mami juga menelpon kamar lain, bertanya arah kiblat. Salah seorang teman pun masuk bersama seorang resepsionis tak lama kemudian. Mami berkata, "See? Can you find it? I can't find it anywhere!" dengan wajah yang mungkin saja bisa menelan si mbak cantik. Saya hanya mengangguk-angguk dengan ekspresi wajah seperti mengatakan, "me too, me too! Do you know how tired I am looking for something that maybe doesn't exist?" sepertinya ekspresi wajah saya terlalu alay. Hehe.
Resepsionis yang lebih cocok menjadi model itu pun meminta maaf dan menunjukkan arah kiblat yang sebenarnya. Ternyata hanya kamar kami saja yang tak punya arah kiblat. Keajaiban dunia! Patut dimasukkan ke buku rekor sedunia! Dan itu hanya ada di Bursa.
Kisah konyol lainnya adalah betapa sulitnya kami untuk menutup jendela. Bukan sulit, kalau dibilang norak dan katro mungkin lebih tepat. Tapi akhirnya kami bisa menutupnya. Hampir saja kami diintip orang. "Bahaya tuh. Jangan-jangan ada yang rekam dari hotel seberang. Dimasukkannya ke Youtube. Aw Ka, lain ceritanya tuh!" ujar mami saya. Maafkan atas imajinasi liar mami saya. Lagian pede sangat dia. Memangnya siapa yang mau nonton?
<<--kisah lain di hotel **End**-->>
-->> To Be Continued

Komentar