Habis Terang, Terbitlah Gelap

Ketika menulis judul ini, saya bingung untuk beberapa saat. Apa maksudnya? Serasa ada yang salah. Apa ya? Ternyata judulnya salah. Haha. Harusnya habis gelap, terbitlah terang! Ah, tapi menurut naluri menulis saya yang agak sedikit ngawur, judul itu sudah cukup untuk menjelaskan maksud dari tulisan saya saat ini.

Kita akan membahas wanita. Wanita itu pembahasannya tidak selalu kehabisan topik. Selalu menarik untuk dibicarakan, baik oleh pria atau wanita itu sendiri. Lika liku hidup wanita sudah cukup membuat kita takjub dengan makhluk ciptaan Allah ini. Masya Allah! Tentu saja dalam banyak hal.

Dalam Islam, kedudukan wanita sangat dijunjung tinggi. Sampai-sampai Rasulullah bersabda : sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita solehah. Wuih, masya Allah! Jadi, jangan malu untuk jadi wanita solehah, sudah bisa menjadi perhiasan di dunia, loh! Malah bisa jadi bidadari di surga pun iri dengan perhiasan dunia tersebut.

Tapi, banyak sekali orang-orang yang mengatakan bahwa Islam menjatuhkan martabat perempuan, mendiskriminasi. Wanita diperintahkan menutup aurat, tidak diwajibkan ke masjid, diwajibkan mengurus anak, tidak diperbolehkan menjadi pemimpin negara, dan lain-lain. Bagi penggiat HAM, hal ini sudah cukup membakar mereka. Bagi mereka, wanita punya kemampuan yang sama seperti pria. Bisa bekerja, sekolah, berpolitik, meniti karier, dan lain sebagainya.

Pada zaman dahulu, sebelum islam datang, para perempuan dipandang hina oleh dunia. Kedudukannya bahkan tak lebih penting dari seekor hewan ternak. Ia hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki dan pesuruh semata. Di Jazirah Arab, bayi perempuan dikubur hidup-hidup, karena dianggap sebagai aib. Kalau masih hidup, maka ia dibiarkan hidup, itu pun hidup dengan penuh kehinaan.

Tak jauh beda dengan yang ada di Arab, maka di bagian Eropa pun sama juga. Perempuan hanya dipandang sebagai pelampiasan nafsu dan tak memiliki hak suara. Bahkan perempuan bisa menjadi racun bagi para raja terdahulu. Begitu seterusnya yang dialami para wanita di seluruh dunia. Tidak terangkat derajatnya sampai Islam datang.

Islam yang dibawa oleh Rasulullah untuk disebarkan memberikan kebahagiaan bagi seluruh makhluk, terutama para wanita. Kebahagiaan itu sampai-sampai membuat peradaban Arab yang penuh kebodohan menjadi cerdas cemerlang. Terlebih lagi ketika Islam terus bergerak menyebarkan ajarannya ke penjuru dunia, memperluas wilayah Daulah Islamiyah, memberikan kesempatan seluruh kaum untuk mencicipi kenikmatannya.

Derajat wanita pun menjadi sederajat dengan pria, terkadang lebih tinggi lagi. Salah satu buktinya adalah adanya surah an Nisaa yang berarti perempuan. Tak ada surah ar Rijal untuk laki-laki. Allah pernah berfirman bahwa laki-laki dan perempuan itu sama, yang membedakan hanya ketakwaannya saja. Karena itu, semua perempuan pun bisa berlomba-lomba menuju kebaikkan tanpa harus takut kalah oleh laki-laki. Rasulullah juga mengatakan bahwa yang pertama kali di hormati adalah ibu lalu ayah. Ibu bahkan diulangi sampai tiga kali.

Lalu bagaimana dengan kewajiban solat jum'at, kewajiban mencari nafkah dan kewajiban perang, yang dimana perempuan tidak diwajibkan akan hal itu? Berkurangkah amalannya? Rasulullah dengan bijaksana menjawab, pahala perempuan terletak ketika ia menjaga kehormatan dirinya, kehormatan dan harta keluarga ketika suami pergi, melayani suami dan mendidik anak-anaknya. Pahalanya sama, mungkin lebih tinggi lagi. Masya Allah!

Perempuan juga mendapat banyak hak istimewa, diantaranya istirahat untuk tidak beribadah ritual saat haid. Ia dibolehkan untuk tidak solat, tidak berdiam di masjid, tidak berpuasa, tidak melaksanakan haji/umroh, dan tidak membaca (memegang) al Qur'an. Hanya puasa wajib yang harus ia ganti di kemudian hari. Mudah kan? Karena Allah Maha Mengerti bahwa perempuan dalam keadaan sakit saat haid.

Islam melindungi perempuan dengan memerintahkannya menutup aurat, agar tak dinikmati auratnya oleh sembarang laki-laki. Kewajiban untuk membawa mahrom ketika berpergian jauh, agar memiliki perlindungan. Tidak diwajibkan mencari nafkah, agar lebih fokus mengurus anak dan suami, serta tidak dipaksa untuk dinikahkan dengan pria yang tidak ia sukai.

Lalu mengapa banyak penggiat HAM yang kebakaran kumis seperti yang saya katakan di atas? Semata-mata karena dua hal. Pertama, karena mereka belum tersentuh dengan islam. Kedua, karena mereka membenci Islam. Mari kita bahas satu per satu. Pertama, mereka belum tersentuh islam karena islam memang belum menyapa wilayah mereka saat itu. Keburu diruntuhkan oleh pengkhianat Islam. Mereka belum mengenal islam dari luar maupun dalam. Seandainya mereka mau mempelajari islam, maka hidayah akan lebih cepat datang dan mereka akan memahami islam. Banyak kok situasi seperti itu.

Kedua, mereka membenci islam tanpa tahu apa itu islam dan tanpa mau tahu. Kadang kalau pun tahu, mereka pura-pura tidak mau tahu. Hati mereka sudah tertutup rapat dan akal mereka sudah menolak datangnya kebenaran. Seperti itulah. Kalau ada cinta buta, mereka itu benci buta. Apapun yang datang dari islam, ya mereka benci habis-habisan. Baik atau buruk, benar atau salah. Yang salah tambah disalahkan, yang benar ya disalahkan juga. Kalau untuk alasan yang kedua ini, bahkan doa pun mungkin tak bisa meruntuhkan hati mereka.

Emansipasi yang dielu-elukan oleh kaum wanita seluruh dunia adalah hal semu, fatamorgana. Kedudukan tinggi seperti apa yang mereka inginkan? Sederajat mana? Kesamaan apa yang dimaksudkan? Semua tidak jelas. Sama seperti terbentuknya organisasi tersebut. Jikalau perempuan ingin disamakan dengan laki-laki, maka hancurlah keseimbangan dunia ini. Tak ada yang mau saling mengalah, tak ada yang mau saling melengkapi. Lihatlah dunia modern dimana perempuan ikut bekerja, bahkan mungkin lebih tinggi posisinya daripada laki-laki. Maka yang ada hanyalah kehancuran keluarga. Perselingkuhan, KDRT, pemberontakan anak, dan lain-lain. Namun, perempuan tidak mau disalahkan. Mereka masih berlindung di komisi perlindungan anak dan wanita. Padahal, kalau mau disamakan, seharusnya komisi itu hilang juga.

Kartini yang dikatakan sebagai ibu kita (padahal nama ibu saya bukan Kartini, hehe) juga tak sekali pun membahas tentang emansipasi. Ia hanya membahas tentang bagaimana perempuan bisa mendapatkan pendidikan seperti laki-laki. Saat itu ia pun baru mempelajari islam. Masih di awal surah, sang guru meninggal dunia tanpa sempat mengajarinya lebih jauh lagi.

Lalu masih percayakah dengan emansipasi wanita? Tak jelas siapa dan apa yang dibela?

Komentar