Cerminan Diri

Jangan menilai buku dari sampulnya. Nilailah buku dari isinya.
Jangan melihat siapa yang menyampaikan, tapi lihat apa yang disampaikan.

Pepatah ini tentu sudah menjadi familiar bagi kita. Pepatah yang berisi bahwa tampilan dan isi adalah sesuatu yang berbeda. Benarkah? Menurut pepatah ini sih benar. Lalu bagaimana dengan pepatah yang mengatakan :

Perkataan seseorang mencerminkan perilaku yang sebenarnya.

Hayo, kata-kata ini malah mengatakan bahwa isi dan tampilan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bingung kan? Saya juga bingung. Mungkin semua orang juga bingung. Tapi, tak apa. Mari kita berfikir sejenak.

Memang benar bahwa dilarang melihat tampilan tanpa mengetahui isi. Makanya dilarang untuk berprasangka buruk kepada orang lain sebelum mengetahui yang sebenarnya. Dilarang juga untuk menikahi seseorang tanpa tahu wajah dan segala tindak-tanduknya. Ciee.. eh, dilarang cie pada pembahasan ini! #hus. Nah, pembahasan ini hanya sampai disitu, dengan mengatakan bahwa jangan berprasangka buruk kepada orang lain. Lalu bagaimana kalau misalnya terlalu berprasangka baik hingga akhirnya orang yang kita anggap baik malah menyakiti kita. Makanya ketika pertama kali bertemu seseorang, kita diwajibkan berprasangka baik disamping untuk mengobservasi--atau istilahnya, mengenal lebih jauh--orang tersebut. Jangan sampai kecolongan. (Makanya, jangan salahkan kalau selalu ada yang namanya tim oposisi atau tim penasehat atau dewan majelis di suatu pemerintahan. Jangan sensi kalau ada yang mengkritik atau menasehati, karena itu bukan berarti berprasangka buruk, hanya saja tidak ingin terjadi hal buruk.) Yang terpenting adalah jangan mudah menilai buruk dan baik orang dari tampilannya sebelum diobservasi, oke?

Lalu, bagaimana soal nasehat-menasehati? Sama seperti diatas. Ketika seseorang menasehati kita, jangan lihat siapa yang menyampaikan tapi lihat--dalam hal ini dengarkan--apa yang disampaikan. Karena kebenaran tetaplah kebenaran. Oleh siapapun yang menyampaikan. Entah lebih muda atau lebih tua, entah senior atau junior, lebih baik perilakunya dari kita atau lebih buruk, lebih bodoh atau lebih pintar. Kebenaran tetaplah kebenaran. Datang dengan keras atau lembut, ianya tetaplah kebenaran. Kita harus menerima dengan lapang dada, dan harapan untuk memperbaiki diri. Karena seperti yang diatas, mungkin saja orang yang menyampaikan tersebut sudah melakukan observasi singkat terhadap kita dan ia memberikan nasehat dalam rangka agar tak hilang prasangka baiknya kepada kita. Kan bagus kalau saling memahami? Seperti itulah kurang lebih maksudnya.

Lalu bagaimana dengan pernyataan seperti ini : Kalau begitu, lebih baik tampilan buruk. Hatinya baik. Istilah kerennya sih, jilbabin hati dulu baru fisiknya. Itu alasan banyak perempuan tidak mau mengenakan jilbab dan kerudung. Wah, itu salah besar! Kan sudah dikatakan, bukan itu maksudnya. Kalau masalah menutup aurat ya itu adalah kewajiban. Baik atau buruknya kita tidak dinilai dari itu. Tapi kalau sudah menutup aurat ya sudah pasti ia melaksanakan kewajiban. Sudah dapat nilai plus. Jangan jadikan kata-kata itu sebagai tameng untuk tidak memperbaiki diri. Karena ada pepatah lain yang mengatakan bahwa ucapan seseorang mencerminkan perilakunya. Lebih tepatnya, mana mungkin orang yang baik sementara ia tidak memperbaiki penampilannya layaknya orang baik? Meskipun ambillah kata kalau ada seorang kyai mantan preman, pastilah ia merubah penampilannya menjadi lebih baik. Meskipun tatoo mungkin tak bisa hilang, dan bekas antingan masih terpampang. Ia berusaha memperbaiki diri dan tampilannya. Lain halnya dengan ustad-ustadan yang merubah tampilan menjadi 'wow' tanpa merubah perilakunya. Pada akhirnya, sepintar-pintar tupai melompat pasti jatuh juga. Bau busuk pasti tercium juga. Bisa saja semua perilaku mereka akan terlihat. Meskipun berusaha berpenampilan baik namun ibarat tong kosong, ya percuma. Sementara orang yang sudah berperilaku baik, pada akhirnya ia akan berpenampilan seperti apa yang ia pandang itu baik. Karena perilaku adalah cerminan dari pemikiran seseorang.

Ada juga tuh yang protes seperti ini : Iya sih harus denger apa yang disampaikan, tapi kalau yang nyampaikan itu orangnya urak-urakkan, ya males lah! Nah, siapa hayo yang pernah begini? Saya pernah. Hehe. Memang sih, sudah dikatakan diawal. Kita tidak perlu lihat siapa yang menyampaikan. Jika itu benar--dimata hukum Syara'--maka benarlah ia. Memang menjengkelkan kalau yang menyampaikan itu malah lebih buruk--misalnya, dari pada kita. Kalau sudah begitu, maka gantian dong untuk menasehatinya. Mungkin ia mulai lelah. :-)

Kalau ternyata orang yang dimaksud adalah kita? Sering gak sih dengar kata-kata seperti : urus aja dirimu sendiri, sendirinya belum baik udah ceramahin orang? Nah, kalau sudah seperti itu, patutlah kita mengoreksi diri. Apalagi kalau yang mengaku sebagai pengemban dakwah. Jangan menjadikan kata-kata nilai dari perkataan bukan siapa yang mengatakan menjadi alasan untuk tidak memperbaiki diri. Bagaimana mungkin seseorang akan mendengarkan nasehat kita apabila kita sendiri tidak memperbaiki diri? Pengemban dakwah ibaratnya artis 24 jam. Segala tindak laku kita diperhatikan. Sekecil apapun kesalahanmu, akan dibantai habis-habisan dengan berbagai umpatan. Sayangnya, sekecil kebaikanmu kadang luput dari mereka yang sudah menilai keburukanmu. Karena itulah, perbaiki dirimu, saudaraku!

Khalifah al-Fatih adalah sebaik-baiknya pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baik pasukan. Mereka meraih semua gelar itu bukan dengan cara malas-malasan. Bukan dengan bermaksiat dan memperbanyak melakukan kemubahan. Semua kewajiban dilaksanakan tepat waktu, sunnah dikerjakan selalu. Hingga akhirnya Konstatinopel takluk dan kegemilangannya masih terasa di Istanbul, Turki. Karena mereka sadar, jika ingin pertolongan Allah datang, maka mereka sendiri haruslah mencapai derajat orang-orang yang Allah bersedia untuk membantu. Menjadi yang paling pantas dihadapan Allah.

Tak perlulah kita menjadi manusia tanpa cela. Karena kita bukan malaikat. Yang terpenting adalah mematuhi Allah dengan segala kemampuan dan akal kita. Saling memperbaiki diri, nasehat-menasehati. Jangan hanya baik seorang diri, ajak orang lain untuk baik bersama. Jangan menasehati sementara kita sendiri enggan melaksanakannya. Karena Allah sangat membenci hal tersebut.

Yah, demikian yang dapat saya sampaikan. Udah deh, gak usah serius gitu! Jangan berprasangka buruk kepada orang lain sebelum mengenalnya. Saling nasehat-menasehati. Bersama memperbaiki diri. Semuanya jadi lebih indah, kan? Dan yang terakhir adalah jika ingin kata-kata didengarkan oleh umat, jadilah seperti apa yang diinginkan umat tanpa mengubah prinsip yang sudah terpegang. Tolonglah agama Allah, maka Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.

Bersama kita memperbaiki diri :-)

Pada hari itu bergembiralah kaum Mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Terjemahan Qur'an surah ar Rum : 4-5)

Wallahu a'lam bi ash shawab.

Istanbul, 05:00 am, 26 Februari 2016

Komentar