Kita Berhak Marah!


Sekitar awal Januari 2015, dunia dikejutkan dengan drama penembakkan yang terjadi di kantor tabloid Charlie Hebdo di Paris, Perancis, yang mengakibatkan 12 orang meninggal dunia. Tabloid yang menerbitkan karikatur penghinaan kepada Rasulullah SAW itu tidak berusaha untuk introspeksi dan menahan diri untuk tak lagi menerbitkan karikatur tersebut, tapi malah menerbitkan ulang semua karikatur itu bahkan dengan angka yang lebih fantastis lagi. Disebut-sebut hingga mencapai 3 – 5 juta ekslempar, dan terjual dalam waktu hitungan jam saja.

Redaksi Charlie Hebdo mengatakan alasan mereka bahwa mereka tidak takut dan tidak akan berhenti menerbitkan hanya karena teror dan kekerasan. Tindakan mereka ini pun mendapat dukungan dari berbagai pihak di seluruh dunia. Termasuk dari sejumlah pemimpin negara-negara Barat yang juga beberapa waktu lalu melakukan aksi demo besar-besaran di Paris, Perancis, untuk mengutuk serangan yang mereka sebut sebagai tindakan barbar. Mereka beralasan bahwa pembuatan dan pemuatan kartun ini merupakan bagian dari kebebasan berekspresi (freedom of ekspression).

....

Indonesia sebagai negara yang dihuni oleh mayoritas penduduk muslim harusnya sangat peka dengan masalah ini. Masalah Rasulullah SAW dihina! Dan apa kalian tahu apa yang dilakukan para pemimpin muslim ketika Rasulullah SAW dihina? Bukannya marah, mengecam keras atau mengirimkan tentaranya (seperti yang dilakukan Turki beberapa puluh tahun yang lalu), mereka hanya diam seribu bahasa, bahkan ada yang ikut bergandengan tangan dibarisan pendukung Charlie Hebdo itu. Miris sekali, bukan?

Salah satu rukun iman adalah iman kepada para nabi dan Rasul. Ketika kita beriman, maka kita percaya. Kita percaya dengan keberadaan mereka, kebenaran ucapan dan tingkah laku mereka, bahkan kita pun mencintai mereka. Keimanan dan rasa cinta adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Maka ketika kita mengaku beriman dan mencintai, maka buktikan! Cinta tak butuh janji, cinta butuh bukti! Kurang lebih mirip dengan slogan para caleg.

Bagaimana mungkin kita tidak marah ketika Rasulullah SAW yang kita imani dan kita cintai itu dihina? Logikanya seperti ini, apa yang akan kita lakukan ketika orang yang kita cintai dihina? Misalnya orang tua kita? Ayah kita dituduh pedofil, misalnya. Ibu kita dituduh pezina, misalnya. Bukankah kita sangat marah dengan apa yang orang-orang katakan itu? Mendengar kata-kata keji itu seharusnya menimbulkan gemuruh di dalam hati yang tidak sedikit pun berhenti. Membuat tubuh ini panas, lebih panas daripada air yang mendidih. Seluruh tubuh terasa ingin bergerak untuk melakukan apa saja untuk menghabisi orang yang sudah menghina itu. Seketika itu mungkin saja air keluar dari kedua mata kita. Tidakkah seperti itu?

Atau kita diam saja, tidak melakukan apapun? Tidak sakit hati, tidak ambil pusing. Terserah orang melakukan apapun, lagi pula yang dihina juga tidak marah. Bukan itu masalahnya! Masalahnya adalah bukti cinta kita. Apa kita benar-benar cinta bila sedikit pun rasa marah dan sakit hati tidak ada ketika yang kita cintai itu dihina? Fatimah az-Zahra RA saja ketika melihat Rasulullah SAW dicaci maki, dilempari isi perut unta, dilempari batu saja marahnya bukan main. Meskipun Rasulullah SAW tidak menyuruhnya untuk marah dan membalas para kafir Quraisy itu. Meskipun Rasulullah SAW tidak menyuruhnya untuk membersihkan semua kotoran yang berlumuran di tubuh Rasulullah SAW atau mengobati lukanya, Fatimah az-Zahra RA tetap juga melakukannya sambil menangis dan mengutuk para pelaku.

Umar ibn Khattab RA, sang Khalifah kedua, pernah hampir menghunuskan pedangnya ketika malaikat Jibril yang ia kira manusia biasa datang dan langsung duduk dihadapan Rasulullah SAW. Umar ibn Khattab RA menganggap hal itu adalah hal yang tidak sopan. Hanya karena melakukan hal tidak sopan kepada Rasulullah SAW saja Umar ibn Khattab RA marahnya sedemikian rupa hingga pedangnya siap untuk menghilangkan nyawa seseorang. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang menghina Rasulullah SAW? Entah apa yang akan beliau lakukan.

Apa Rasulullah SAW marah ketika dihina? Tidak, beliau bahkan berdoa semoga orang yang menghina itu mendapatkan hidayah. Tapi apakah Rasulullah SAW menghardik orang yang membunuh istrinya ketika istrinya menghina Rasulullah SAW? Tidak, beliau juga diam saja. Beliau membolehkan, hanya saja beliau berkata ‘seharusnya aku yang menghukum perempuan itu.’

Ada sebuah kisah di Madinah. Ketika itu kumpulan orang Yahudi saling berdiskusi dan bertukar pikiran. Satu di antara mereka berdiri dan mengumpat, menghina, mencaci-maki Rasulullah SAW. Baru saja beberapa menit ia berbicara, anjing milik salah satu kerumunan itu menggonggong keras. Ia memberontak dan terlepaslah tali kekangnya. Anjing itu langsung menerkam Yahudi yang berbicara tadi. Orang-orang pun segera mengamankannya dan mengikatnya kembali. Kali ini lebih kuat.

“Wahai fulan, tidak perlu menghina Muhammad lagi.” ujar salah satu dari mereka yang mengikat anjing itu. Namun, Yahudi itu tidak juga berhenti. Ia kembali menghina Rasulullah SAW, kali ini lebih keras dan lebih kejam. Dan apa yang terjadi? Anjing itu kembali menyalak dan menerjang Yahudi itu. Talinya putus! Semua orang panik dibuatnya.
Dari kisah itu, bukankah kita paham, bahwa anjing saja marah ketika Rasulullah SAW dihina! Lalu kita sebagai makhluk paling sempurna, tidakkah kita marah? Atau akal dan hati kita lebih rendah dari anjing? Entahlah.

Berita yang saat ini sedang santer diberitakan di Indonesia adalah pertarungan antara cicak dan buaya. Yaitu KPK dan POLRI. KPK yang baru saja menangkap ketua Kapolri yang baru dan POLRI yang baru saja menangkap wakil ketua KPK. Persaingan yang tidak ada habisnya. Persaingan yang didasarkan ego, mungkin saja. Rakyat Indonesia langsung bereaksi keras mendukung KPK, mereka mencurigai adanya kriminalisasi dalam berita ini. Serta merta mereka langsung merencanakan aksi mendukung KPK. Baik itu masyarakat biasa maupun organisasi publik. Semuanya!

Anehnya, ketika Rasulullah SAW dihina, bukannya marah, mereka hanya melakukan kegiatan seperti biasa. Tidak satu pun yang melakukan aksi, kecuali sebagian dari orang-orang yang membuktikan cintanya kepada Rasulullah SAW. Tidak ada aksi dan reaksi. Tidak ada! Dalih basi yang mereka ungkapkan seperti ‘bukan urusan negara kita’, ‘nama Rasulullah SAW sudah mulia tidak perlu dibela’, dan ‘bahkan yang dihina pun tidak marah’.

Astagfirullah! Bukan urusan negara kita? Bukan? Betapa beraninya mereka menggunakan dalih itu. Selama ini mereka pikir tinggal di bumi mana? Tinggal di bumi buatan mereka sediri? Ini bumi Allah dan ini adalah bumi milik Zat Yang Maha Mencintai! Dalih yang membuat Islam terkotak-kotak. Dalih penuh kebusukan. Dalih yang berhasil disebarkan kaum kafir!

Nama Rasulullah SAW sudah mulia, tidak perlu dibela?! Bahkan yang dihina pun tidak marah?! Dalih paling dangkal yang ada di muka bumi ini. Apakah dalih itu digunakan oleh Fatimah az-Zahra RA? Apa dalih itu yang digunakan oleh Umar ibn Khattab RA? Dan yang terpenting, apakah dalih itu digunakan oleh anjing yang bahkan tidak punya akal? Apa dalih itu membuat kita aman ketika ditanyai oleh Allah di hari pembalasan? Apa dalih itu menjadi bukti cinta kepada Rasulullah SAW? Ah, mungkin saja tidak ada rasa cinta sama sekali?

Kita semua jelas paham, ketika kaum Barat mengatakan bahwa itu adalah pengungkapan dari ekspresi kebebasan. Lalu kebebasan mana yang mereka sebut ketika muslimah di Barat tidak boleh mengenakan cadar atau bahkan kerudung? Lalu kebebasan mana yang mereka sebut ketika pelajar muslim di Barat terkendala pendidikannya? Lalu kebebasan mana yang mereka sebut? Kebebasan apa yang mereka gaungkan? Kebebasan palsu! Kebebasan yang tidak jelas dasarnya! Kebebasan yang hanya dituruti oleh hawa nafsu! Tidak ada yang jelas.

Dan lebih dari yang kita pahami, bahwa Rasulullah SAW dihina dengan seenak jidat mereka karena kaum muslim bagaikan singa ompong! Tidak berdaya melawan Barat. Tidak ada kesatuan tidak ada kekuatan. Padahal dulunya bersatu dalam kekuatan, bahkan Turki (kepala pemerintahan Khilafah kala itu) pun mengirimkan pasukan yang kepalanya ada di Barat dan ekornya ada di Timur, ketika Perancis berencana membuat opera yang menghina Rasulullah SAW. Seketika itu juga Perancis membatalkan opera itu. Tidak rindukah kita dengan masa-masa itu?

Kita merayakan maulid Rasulullah SAW setiap tahun, bershalawat padanya setiap waktu, membaca kisah kehidupannya selalu, namun tidak bereaksi ketika ia dihina. Tidak marah ketika cacian keji menghampirinya, tidak bersedih ketika fitnah mendatangi. Masalahnya, ketika saudara sesama muslim di negeri lain dihina dan disiksa pun kita tidak bereaksi, mungkin karena Rasulullah SAW sudah tiada kita pun tidak sakit hati. Astagfirullah, seberapa parah kah hati kita telah mati rasa? Seberapa jauh kita membiarkan ia tidak peka? Seberapa lama telinga kita tertutup untuk tak mendengar tangisan, rintihan dan teriakan saudara kita? Dan kini ketika yang paling harusnya kita cintai itu dihina dan dilecehkan, mulut pun tak mau berucap, hati pun tak mau bergerak.

Rasulullah SAW dihina, kita berhak marah!

Ya Rasulullah SAW, maafkan kami yang hanya bisa marah dan mengecam penghina itu
Maafkan kami yang masih lemah dan tidak bisa membelamu di garda terdepan
Maafkan kami, Ya Rasulullah SAW

Maafkan kami yang masih lemah
Maafkan kami yang masih terlena akan dunia
Maafkan kami yang tidak menegakkan semua sunnahmu
Maafkan kami, Ya Rasulullah SAW

Betapa bodohnya kami mengharapkan syafaatmu
Betapa bodohnya kami mengharapkan pertolonganmu
Sementara namu dihina, dan tidak satu pun yang bisa kami lakukan untuk menolongmu
Maafkan kami, Ya Rasulullah SAW!

Sekali lagi, kita semua paham bahwa umat muslim harus bersatu. Umat muslim tidak perlu terlalu lama menjadi buih dilautan, umat muslim harus berani untuk menjadi ombak. Umat muslim harus memiliki kekuatan dan kesatuan! Dan hanya dengan menerapkan Syariah beserta menegakkan Khilafah ala minhaj an nubuwah muslim dapat bersatu! Dengan berkibarnya bendera al Liwa dan ar Roya! Dengan satu kepemimpinan! Dengan satu tujuan!

seorang imam itu sesungguhnya laksana perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung” (HR Bukhari dan Muslim)

Ya Rasulullah SAW, tunggu kami...
Allahumma shalii ala sayyidina Muhammad

Wallahu a’lam bi ash shawab


Yogyakarta, 26 Januari 2015

Komentar