Aku sangat tidak suka ketika orang-orang membahas betapa sayangnya ia kepada ibunya. Ketika orang-orang membahas betapa ibunya sangat mencintainya. Betapa besar perjuangan seorang ibu. Aku tidak suka. Bagiku itu adalah suatu hal yang biasa. Tidak ada spesialnya. Apa sih yang spesial bagi seorang ibu yang menyayangi anaknya? Kurasa tak ada. Karena ia adalah ibu. Dan ibu memang wajib, sadar maupun tidak sadar, ia lakukan suka maupun tidak suka, mencintai anaknya. Ia wajib menyayangi anaknya. Karena itu aku tidak suka pembahasan seperti kasih sayang seorang ibu dan lain-lain. Bagiku hal itu adalah hal yang biasa. Ibu harimau saja sayang pada anaknya. Kurasa hal itu adalah hal yang biasa.
...
Karena ibuku
juga menyayangiku, dan aku menyayanginya
...
Aku
tidak suka ketika orang-orang membahas tentang betapa bersyukurnya ia dilahirkan
oleh ibunya. Betapa ia merasa terharu oleh perjuangan ibunya yang hampir
kehabisan napas demi sehelai napas anaknya untuk selanjutnya. Aku tidak suka.
Bagiku itu juga hal yang biasa. Buat apa ia bersyukur? Pada akhirnya ibunya
adalah ibunya. Ibunya tetaplah ibunya. Memangnya kalau tidak bersyukur akan
merubah kedudukan seorang ibu? Tidak kan? Karena itu aku sama sekali tidak suka
membahasnya. Tentu saja ibu bersusah
payah melahirkanmu! Kalau tidak dikeluarkan ia akan kesusahan membawamu kesana
kemari. Mau tak mau, suka tak suka, ia harus melahirkanmu dan menerimamu. Oke?
Jangan dibahas lagi. Karena hal itu sudah biasa. Semua makhluk hidup pasti
menghasilkan keturunan. Dan hal itu biasa saja.
...
Karena aku
berterimakasih pada ibu yang melahirkanku dan aku bersyukur lahir dari rahim
ibuku.
...
Aku
tidak suka ketika orang-orang membahas saat-saat bahagia bersama ibu. Bercengkrama
dan bermain bersamanya. Ketika bahagia, tertawa bersama ibu. Ketika sedih,
dihibur ibu. Dan semuanya. Menurutku itu juga hal yang biasa. Ibu memang
seperti itu. Ibu mana sih yang tidak senang melihatmu senang. Ibu mana yang
tidak sedih melihatmu sedih? Hal itu biasa. Sudahlah. Jangan dibahas lagi.
Sudah terlalu basi. Sudah hal lumrah. Karena hati kita sudah menjadi satu
dengan hati ibu.
...
Karena aku
merindukan dan menanti saat bersama ibu dan aku berterimakasih karena ibu
selalu ada.
...
Aku
tidak suka ketika orang-orang membahas tentang betapa ia bersyukur memiliki ibu
ketika ia jatuh. Ibu selalu ada disaat ia sedih dan disaat ia memerlukan bantuan.
Aku tidak suka ketika orang-orang membahas hal itu. Memangnya kenapa? Karena
itulah tugas seorang ibu. Mau bagaimana lagi. Meskipun ia tidak mau, memang
itulah tugasnya. Mau tidak mau, suka tidak suka. Ia adalah seornag ibu. Sudah
tugasnya untuk bersamamu ketika sedih. Karena ketika kau sedih, ibumu juga
sedih. Dan memang seperti itulah ia. Tidak ada yang luar biasa dari itu.
...
Karena ibu ada
ketika aku ingin berhenti bermimpi dan aku berterimakasih atas kata-kata
kuatnya padaku.
...
Aku
paling tidak suka ketika orang-orang mengatakan kalau ia ingin membahagiakan kedua
orangtuanya, terutama ibu. Hei, itu bukan keinginan. Tapi kewajiban! Sudah
menjadi kewajiban setiap anak untuk membahagiakan keduaorangtuanya terutama
ibu. Menurutmu sudah berapa banyak ia berkorban untukmu? Dan sudah berapa kali
kau bersikap tidak baik padanya?
...
Karena aku
sudah sering bersalah padanya dan aku ingin mengucapkan milyaran permohonan
maaf untuk menebusnya.
...
Dan
seperti itulah yang kurasakan hingga tanggal 8 November lewat di kalender dan
hingga tanggal 22 Desember menyapa kembali diriku. Aku sampai sekarang tidak
suka membahasnya. Aku bahkan tidak suka mendengar lagu bertemakan ibu, hal itu
menyakitkan hatiku.
Ibuku
adalah wanita karir yang sibuk. Pergi pagi dan pulang sore, kalau akhir tahun,
ya pulangnya mendekati waktu magrib di Indonesia bagian tengah. Karena itu, aku
tidak suka membahas tentang ibu. Bagiku ibu hanya seorang yang bekerja saja. Mungkin
itu salah satu alasan aku tidak mau bekerja. Aku tidak mau anakku kelak
kesepian, sama seperti apa yang aku rasakan.
Namun,
begitulah ibuku. Aku mengerti. Apa yang ia lakukan ini semua untuk anaknya. Karena
dunia kapitalis bin kejam ini sudah mencekik ibuku yang baik. Ia sudah
merenggut waktu ibuku untukku. Ia sudah merenggut waktu mendongeng ibuku setiap
malam. Ia sudah membuat anak ibuku yang tertua menjadi anak yang keras kepala
dan sering menjengkelkan kepada ibuku. Kapitalis itu, ingin sekali kubunuh ia.
Ibuku
bukan ibu baik nan anggun seperti yang ada di dongeng, drama korea, telenovela,
sinetron, opera sabun, anime dan apalah itu namanya. Ibuku adalah ibu yang
biasa. Ibu yang tidak pandai memasak, namun memiliki resep yang membuat anaknya
ingin menambah makan terus menerus. Ibu yang sulit beradaptasi, namun sangat
ramah pada teman-teman anaknya. Ibu yang pemalu, namun tidak pernah malu untuk
berdagang barang-barang halal untuk anaknya. Ibu yang pemarah, namun peka
terhadap perasaan anaknya dalam keadaan apapun. Ibu yang tak feminim, namun
begitu anggun mengenakan jilbab dan kerudung. Seperti itulah, ibuku hanya ibu
biasa.
Ibuku
snagat suka sekali jalan-jalan, namun karena punya anak yang kecil-kecil dan
bandel-bandel, agak sulit baginya untuk pergi. Namun itu tidak berarti anaknya
tidak bisa pergi. Ia selalu saja sempat-sempatnya menyerahkan anaknya ke
keluarga yang pergi liburan. Ia ingin membuat anaknya senang mengenal dunia
luar. Tidak hanya berada di dalam rumah bagai burung dalam sangkar emas. Ia ingin
membuat anaknya bisa bersosialisasi. Ia sama sekali tidak perduli jika ia harus
tinggal dirumah. Yang terpenting anaknya bisa senang ketika liburan sekolah. Meskipun
terselip do’a keselamatan ketika suara deru mobil meninggalkan rumah, atau
suara ributnya speedboat/perahu meninggalkan pelabuhan, atau suara bisingnya
pesawat meninggalkan bandara, atau pun suara tawa dan lambaian tangan anaknya
menghilang dari jarak pandangnya.
Aku
merasa sangat bersalah ketika sering bertengkar padanya. Menjawab semua
amarahnya. Membuatnya membanting kursi. Membuatnya hampir memberhentikanku
sekolah. Membuatnya hampir berkata buruk padaku. Aku masih saja kurang
berterimakasih ketika ia tidak pernah memukulku, tidak pernah berkata kasar
padaku, tidak pernah memberhentikanku untuk sekolah, tidak pernah menghentikan
dakwahku, tidak pernah menghentikan mimpiku. Aku bersyukur ketika ia terus
menghiburku ketika aku hampir putus asa mendaftarkan diri di fakultas
psikologi. Padahal dulu sekali, ia sangat menentang keputusanku untuk mendaftar
di fakultas psikologi. Dari lubuk hatiku yang paling dalam aku hanya bisa
mengucapkan terima kasih, yang tidak sedikit pun bisa membalas satu pun
kebaikannya.
Ketika
biasanya aku bosan mendengar suaranya, aku baru merasakan betapa bersyukurnya
aku ditelpon olehnya tiap malam. Sekedar untuk bertanya apa aku sudah makan,
sudah belajar, sudah solat, atau apa saja yang aku lakukan hari itu. Banyak
sekali yang ingin aku sampaikan padanya. Namun, aku ingat bahwa ia sudah begitu
lelah mendengarku, lagipula aku lebih suka bertemu dengannya secara langsung. Aku
hanya masih heran saja mengapa banyak orang bertanya padaku. Mereka bertanya
mengapa ibuku selalu menelpon tiap malam. Entahlah, aku juga tidak paham dan
tidak perduli. Yang terpenting aku merindukan suara deringan ponsel, suara
lantunan gitar listrik, khas panggilan dari orangtuaku.
...
Memang seperti
itulah ibuku. Tidak ada yang spesial dengannya. Tidak ada yang luar biasa
darinya. Namun tidak ada yang pernah menggantikan kedudukkannya di hatiku. Mungkin
hanya dengan memesan surga pada Allah yang bisa menjadi bentuk dari rasa
terimakasih dan maafku padanya. Karena aku, sebagai anak yang biasa-biasa saja
dan terkadang sedikit kurang ajar, tidak
sedikit pun bisa membalas semua kebaikkannya.
...
Terkirim seluruh cinta tertinggi
dibawah Allah dan Rasul-Nya
Yogyakarta, 1 Januari 2015
Komentar
Posting Komentar