Jurnalistik adalah kehidupan tanpa suara. Tugas seorang jurnalis adalah membuka mata, membuka telinga namun menutup mulut. Tidak halal bagi seorang jurnalis untuk membuka mulutnya tanpa sebelumnya membuka mata dan telinganya, hingga membuka pikirannya. Bahkan ketika ingin membuka mulut, ia haruslah bisa mengekspresikannya dalam tulisan-tulisan dengan berbagai bahasanya. Ah, begitu sulit. Tapi itulah seorang jurnalis. Corong harapan umat manusia.
Aku
tidak pernah berfikir untuk memilih menjadi seorang jurnalis sebelumnya. Niat
sama sekali pun tidak. Namun niat bukan sebagai alasan utama, kan? Mungkin
kebiasaanlah yang menjadi alasan utama keinginan untuk menjadi jurnalis.
Terbiasa untuk menuliskan semua yang ada didalam pikiran, karena berbicara itu
terlalu sulit. Itulah yang dinamakan The Power of Habits.
Hidup
di Kalimantan, apalagi yang paling Utaranya, sebenarnya tidak terlalu sulit.
Tidak lebih mengerikan dibandingkan dengan apa yang orang pikirkan. Manusia
pemakan manusia, hidup jauh dari teknologi, menggunakan uang ringgit, memihak
pemerintah Malaysia, hingga bagian dimana dikatakan tidak mengenakan pakaian.
Aku sendiri tidak tahu siapa dalang yang bertanggungjawab dengan fitnah yang
maha dahsyat ini. Yang pasti, setiap kali berkenalan dengan orang baru di Jogja
ini, setidaknya 50% orang sudah mempunyai ilmu sebelumnya tentang Kalimantan
yang salah kaprah. Aku sedikit memaklumi hal itu, meskipun dalam keadaan
terpaksa. Bukankah ini semua salah dari jurnalis yang ada di Kalimantan yang
tidak mampu mengenalkan Kalimantan secara nasional? Atau mungkin ini kesalahan
jurnalis luar Kalimantan yang mengabaikan informasi tentang Kalimantan?
Entahlah, hanya Allah yang tahu jawabannya.
Hal yang sedikit aku sayangkan di
Kalimantan, tepatnya di Kabupaten tempat aku tinggal, adalah kenyataan bahwa
jurnalis muda tidak memiliki nama disana. Aku sudah berusaha untuk menyampaikan
aspirasi anak muda yang labil ini ke berbagai percetakan lokal. Namun selalu
berakhir dengan tidak adanya jawaban, jika tidak mau dikatakan penolakan.
Lagipula, tidak semua yang dikatakan dan diberitakan oleh orang dewasa itu
benar, kan? Dibutuhkan pemikiran seorang pemuda, yang kadang sedikit alay, untuk melihat dari sisi
kepemudaan, kan? Mungkin mereka lebih rela para pemuda menyampaikan aspirasi
dengan demonstrasi, yang terkadang tidak bisa woles. Meskipun hasilnya sama saja. Tidak ada yang perduli.
Karena itu, berbekal tekad dan uang
bulanan dari orang tua, aku pergi ke Jogja untuk menuntut ilmu sekaligus
menuntut keadilan. Menuntut keadilan bahwa aku haruslah bisa mendapat ilmu
kepenulisan dan bisa menyampaikan aspirasiku secara jelas dan terang-terangan
dalam dunia jurnalistik. Tekad yang indah, bukan? Bukan?
Meskipun
tingkat membaca di kampus itu sangat rendah, bagi para mahasiswa, bukan berarti
pers mahasiswa boleh memiliki mutu rendah. Biasanya mahasiswa membaca karena
adanya tugas dari dosen, atau kalau pun bukan, buku yang dibaca kurang lebih
sekitar novel atau komik. Lalu apa yang harus dilakukan jurnalis kampus agar
informasi yang mereka berikan tidak hanya sebagai pembungkus kacang rebus?
Perubahan seperti apa yang harus mereka lakukan agar mata mahasiswa menuju pada
karya mereka? Dalam situasi itu, aku ingin bergabung menikmati perjuangan
perubahan pers mahasiswa. Jurnalis kampus memiliki kewajiban untuk memberikan
hasil analisis dan imajinasi terbaik mereka pada mahasiswa yang melupakan hak
untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Karena kewajiban tetaplah kewajiban.
Penerima hak boleh mengabaikan haknya, namun pengemban kewajiban tidak boleh
melalaikan kewajibannya. Agak miris memang.
Sebagai seorang pemuda, aku sangat
prihatin dengan apa yang terjadi pada pemuda-pemuda, teman-temanku yang lain,
saat ini. Problematika Pemuda bahkan dijadikan tema sebagai pembuatan makalah.
Disandingkan dengam tema Sistem Pendidikan Nasional, Pelanggaran HAM, Paradigma
Pembangunan dan lain-lain yang menjadikan tema tentang Problematika Remaja
adalah salah satu masalah serius saat ini, khususnya di Indonesia. Mengapa hal
itu bisa terjadi? Lalu bagaimana cara menyelesaikannya? Jawabannya itu sangat
mudah, sebenarnya. Semua itu karena sistem yang mengatur negeri tercinta ini
sudah salah dari awal. Kata orang, salah asuh. Karena kita tidak bisa
menyalahkan satu sisi saja. Sisi dalam dan luarnya sudah rusak. Memperbaiki
satu saja hanya akan menambah masalah baru, dan tampak menjadi lingkaran setan.
Karena itulah, semua ini salah sistem kapitalisme yang sudah membiarkan
liberalisme dan hedonisme menari bahagia di negeri ini.
Apa hubungannya dengan dunia
jurnalistik? Mau tidak mau, diakui maupun tidak, jurnalistik mempunyai peran
disana. Pers mempunyai peran besar juga bagi perubahan para pemuda. Meskipun
hanya beberapa persen, tapi pers memiliki kekuatan mengubah paradigma
seseorang. Karena ini adalah zamannya informasi mudah diakses. Semua orang
melihat pers, para jurnalis, selalu benar dan yang paling benar. Meskipun hal
itu tidak juga benar.
Karena itu, aku sangat ingin
memberikan informasi yang benar, sesuai dengan kacamata Islam. Tulisan yang
membuat orang-orang bisa membuka mata, telinga dan pikirannya. Membuat orang
tidak hanya memperdulikan diri sendiri, tapi mengetahui bahwa ada hal lain
selain dirinya sendiri. Menghibur orang lain dengan hal yang mendatangkan
pahala, baik diri sendiri maupun orang lain. Sehingga menulis bukanlah sebagai
hal yang mubah saja, tapi sudah menjadi sunnah dan bahkan menjadi tingkatan
wajib.
Bukankah kita pernah mendengarkan
hadist bahwa Islam dihiasi oleh merahnya darah para syuhada dan hitamnya tinta
para ulama. Dengan dalil itu, maka yakinlah, menulis bisa saja menyandingkan
kita dengan para syuhada disurga-Nya kelak. Banyak sekali tulisan fenomenal
yang menggetarkan dunia, meruntuhkan suatu negeri ataupun membangkitkan suatu
negeri. Tulisan membuat semua kata-kata menjadi abadi. Tidak hilang ditelan
masa. Bahkan tulisan bisa saja menjadi saksi diakhirat kelak. Hal itu adalah
semangat bagiku. Karena itu, aku ingin memberikan tulisan dariku yang bisa memberi
perubahan pada pemuda. Mengajak untuk mendobrak tembok yang selama ini
menghalangi tanpa mereka sadari. Karena, pemuda itu hanya bisa menjadi 2 hal.
Jika tidak menjadi pemecah masalah, sudah dipastikan bahwa ia akan menjadi
pembuat masalah.
Yogyakarta,
10 September 2014
(tulisan ini sebagai salah satu syarat diterimanya sebagai anggota POROS PersMa UAD)
Komentar
Posting Komentar