Diberitahukan bagi peserta
opini, hasil karya paling lambat dikumpulkan tgl 14 NOVEMBER 2014 dengan tema
“ANDAI AKU MENJADI GUBERNUR MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UAD... Untuk masalah
penulisan dan lain2nya BEBAS dan dikirim ke psychomonth19uad@gmail.com
Eits,
tunggu dulu, siapa ini? Siapa yang berani-beraninya memasukkanku sebagai
peserta kepenulisan opini? Siapa? Ayo ngaku! Ayo ngaku sebelum kukutuk menjadi
batuk! Uhuk.
Yah,
begitulah pertama kali kesan ketika aku mendapat sms yang tak diharapkan
keberadaannya. Tadinya aku berharap dapat SMS berhadiah, ternyata malang tak
dapat ditolak, aku malah dinyatakan sebagai peserta opini! Apa salah dan dosaku
di masa lalu?
Ah,
lupakan curhatanku itu. Silahkan di sensor mbak-mas panitia!
Begitu
pertama kali mendengar dan membaca tema ini, aku dan teman-temanku mengerutkan
kening. Apa coba maksudnya? Gak seru banget temanya! Siapa sih yang bikin? Gak
greget banget (panitia siap-siap mengasah pisau). Yah, bagi kami, mahasiswa
baru, menjadi Gubernur Mahasiswa bukanlah menjadi keiginan utama. Keinginan
utama adalah bagaimana caranya bisa beradaptasi di lingkungan yang baru ini.
Menjadi Gubernur Mahasiswa? Jadi ketua Kelas aja gak bisa.
Aku
sempat bercerita dengan teman-temanku, jika aku menjadi Gubernur Mahasiswa, aku
akan membuat hari libur yaitu hari Senin, Rabu dan Jum’at. Namun, karena
berhubung aku ada piket asrama hari Selasa, maka Selasa juga libur. Oh ya,
berhubung hari Sabtu adalah hari weekend, maka hari Sabtu juga libur. Hore!
Tentu saja ideku mendapatkan tepuk tangan dari teman-teman sekaligus gamparan.
Kapan kuliahnya, coba? Ukh, sakitnya tuh disini (nunjuk pipi yang habis
digampar).
Gubernur
Mahasiswa tentu saja tidak bisa melakukan hal itu. Apa sih hak dan kuasa
Gubernur Mahasiswa itu? Apa aja kewajibannya? Entahlah, aku juga masih belum
mengerti. Mendengar kata Gubernur Mahasiswa aja baru sekarang. Presiden
Mahasiswa itu apa pulak coba? Aku mulai lelah. Ehm, Gubernur Mahasiswa (menurut
sepengetahuanku) adalah seseorang yang memimpin di BEM suatu Fakultas tertentu.
Gubernur Mahasiswa adalah seseorang yang sangat dihormati, disegani dan sering
kali ditakuti oleh mahasiswa Fakultas tersebut. Kedatangannya sangat dinanti,
keberadaannya sangat disukai dan kepergiannya sangat dirindukan. Ketika ia
lewat, tidak ada satu kata pun yang keluar. Semua hormat dan patuh padanya. Eh,
tunggu dulu, ini Gubernur Mahasiswa atau seorang Raja, sih? Mulai gak sinkron
nih.
Kembali
ke pembahasan awal, Gubernur Mahasiswa, mari kita sebut dengan Guwa, adalah
seorang pemimpin dari kelompok yang kecil namun berpengaruh dalam suatu
fakultas. Menjadi pemimpin itu tidak semudah membalikkan mangkok soto. Menjadi
pemimpin itu sulit. Ketika kita harus memikirkan kepentingan bersama sementara
kita sendiri memikirkan kepentingan kita sendiri. Kita harus bisa tegas
meskipun pada suatu sisi merasa kasihan. Menjadi pemimpin itu berakhir mejadi
orang yang mudah galau.
Tapi
siapa yang bilang pemimpin itu sulit? Pemimpin itu tidak sulit, ia hanya perlu
untuk bisa mengatur dirinya sendiri dan orang lain. Asalkan ia bisa melakukan
itu, semua masalah bisa terselesaikan. Ia harus mampu menahan emosi dan menjaga
sikap. Menghadapi masalah dengan kepala dingin namun dengan hati yang hangat.
Sulit? Tidak juga.
Ah,
apa sih yang harus dilakukan jika menjadi seorang Guwa? Kita tidak bisa
memisahkanya dengan tujuan terbentuknya Badan Eksekutif Mahasiswa. Sebuah
organisasi yang berfungsi sebagai wadah aspirasi para mahasiswa. Tempat
mahasiswa mengadu dan menyandarkan bahu. Betapa mulianya organisasi tersebut.
BEM bukan sembarang organisasi. Bukan sekadar nama yang dituliskan di papan
besar, bukan sekedar nama untuk menakuti para gangster. Ia adalah nama yang
dimana ketika kau mengembannya maka nama itu adalah amanah yang begitu berat.
Bagaikan alat pemusnah, BEM hanyalah alat dimana orang yang kuat yang bertahan
dan orang yang lemah akan mundur secara perlahan. Karena tidak ada namanya
individualis dalam BEM, bukan pula sosialis, yang ada hanyalah keadilan. Tanpa
memandang siapa dan darimana, yang ada hanyalah keadilan.
Tentu
saja ketika menjadi Guwa, haruslah mampu untuk mempertahankan tujuan dari
keberadaan BEM itu sendiri. Membuat para mahasiswa merasa bahwa BEM adalah
rumah mereka sendiri. Tidak malu ketika bertemu dengan orang-orang yang
berkecimpung didalamnya, karena orang-orangnya tidak memalukan. Tidak takut
pula, karena orang-orangnya tidak menakutkan. Guwa harus mampu membuat
orang-orang yang ada disekitarnya merasa nyaman dan tenang, membuat
orang-orangnya mampu menyebarkan kenyamanan dan ketenangan itu sendiri. Itulah
yang pertama kali harus dilakukan jika menjadi seorang Guwa.
Guwa
juga harus mampu mengembalikan identitas mahasiswa sebagai agen perubahan,
penerus generasi cemerlang, dan orang-orang penuh harapan. Tidak boleh kalah
dengan zaman dimana mahasiswa hanya sebagai agen huru-hara, hedonis dan
orang-orang pemberi harapan palsu. Bukan sekedar wadah sebagai tempat
pelampiasan dan pencarian jati diri yang kabur akan nilai, namun benar-benar
wadah yang sangat dicari sebagai tempat pencarian jati diri para pahlawan masa
depan. Apakah itu berlebihan?
Tidak,
sodara-sodaraku. Semua itu tidak berlebihan, hanya kita saja yang terlalu
meremehkan. Tanpa sadar kita telah melupakan tri darma mahasiswa. Pendidikan,
penelitian dan pengabdian masyarakat. Kita lupa tugas kita pada akhirnya
kembali kepada masyarakat. Mengabdi! Guwa harusnya paham bahwa ia harus mampu
untuk menjadikan teman-teman mahasiswa dibawah kekuasaannya mampu memenuhi
amanah masyarakat itu.
Ayolah, jangan terlalu serius
membacanya. Ayo tersenyum! Semua itu tidak berat, karena begitu banyak
mahasiswa yang mampu melakukannya. Siapapun bisa menjadi Guwa yang mampu
memimpin jalan tersebut. Lagipula, apapun mimpi kita, Allah selalu bersama
kita. La tahzan!
Karena itu, program-progam yang
dicanangkan oleh seorang Guwa haruslah yang mampu memenuhi tri darma tersebut.
Menjawab berbagai persoalan mahasiswa suatu fakultas itu, dalam hal ini
Fakultas Psikologi. Tidak melulu hal yang formal, namun terdapat juga hal yang
mengasikkan. Tapi tidak serta merta keasikkan membuat lupa akan tujuan semula.
Ngomong-ngomong bagaimana dengan
diriku sendiri? Apa yang harus aku lakukan jika menjadi seorang Guwa? Tentu
saja melakukan apa yang baru saja aku ungkapkan diatas. Memang kelihatan sulit
ya? Huft, aku bahkan sama sekali tidak pernah berfikir untuk membawa diriku
menjadi Guwa. Kewajibannya berat, ma meenn! Bagaimana bisa seorang perempuan
yang lemah lembut sepertiku ini (pembaca dipersilahkan muntah ditempat yang
telah disediakan) mampu menjadi Guwa?
Aku pernah menjadi ketua OSIS SMA
dulu. Sebenarnya sangat memalukan kalau diceritakan, namun aku berharap ada
orang yang bisa mengambil hikmah dari cerita ini. Menjadi ketua itu sangat
sulit. Harus bisa melupakan perasaan tidak enak kepada senior atau pengajar.
Jangan biarkan mereka mendiktemu untuk melakukan sesuatu sampai-sampai kau
hanya sebagai boneka, hanya nama ketua saja yang disematkan namun tidak
memiliki arti. Kau harus punya keyakinan yang teguh atas segala program dan
rencanamu, jangan goyah dengan sindiran orang-orang untuk menghancurkan
semuanya. Konsistenlah! Bersikap lembut kepada anggota yang lain namun tidak
bersikap lemah. Jaga sikap didepan semua orang, namun jangan terlalu banyak
bertopeng. Karena ketika terbuka topeng itu satu per satu maka akan terasa
sakit.
Ugyaaa... aku mulai stress! Daripada
menjadi Guwa, aku lebih memilih menjadi orang yang selalu menguatkan Guwa.
Orang-orang yang mengerti ketika Guwa dalam masa krisis. Krisis kepercayaan
orang lain hingga krisis kepercayaan diri sendiri. Orang yang mampu menahan tubuh Guwa ketika
hampir jatuh, menuntunnya ketika tersesat dan menarikknya ketika ia takut.
Betapa indahnya orang-orang yang mampu bersama Guwa baik suka maupun duka.
Tanpa mereka sadari, mereka saling memberikan bantuan yang kecil namun besar
pengaruhnya.
Yah, aku rasa, aku masih belum
sanggup untuk maju kedepan menjadi seorang Guwa yang bermartabat dan bijaksana.
Aku masih belum mampu. Namun aku terus bersedia untuk menjadi orang yang mendukung
Guwa dengan segala programnya yang indah. Eits, jangan menangis, dong!
Meskipun begitu bukan berarti aku
adalah termasuk orang yang akan meninggalkan amanah begitu saja. Membiarkannya
seorang diri dan akhirnya lumutan dan karatan. Ingat! Ketika pada akhirnya
amanah diserahkan, maka tugas kita adalah menjaganya dengan baik dan mampu
membesarkannya dengan penuh suka cita. Karena amanah sangat rapuh, kita
sendirilah yang bisa membuatnya kuat!
Sudahlah aku tidak mau membahas
diriku lebih jauh, karena aku yakin kalian tidak merasa hal tersebut adalah hal
yang penting. Lagipula, kalau aku membahasnya tulisan ini akan menjadi visi dan
misi calon Guwa. Bisa-bisa aku di tangkap KPU Mahasiswa! Kampanye lebih dulu
sebelum diperintahkan. Bahkan yang lebih parah, kampanye sebelum dicalonkan!
Apa kata akhirat?
Begitulah sodara-sodara, apa-apa
yang aku pikirkan tentang seorang Guwa, Gubernur Mahasiswa yang berwibawa.
Bagus sekali, bukan? (bukaaannn...)
Aku sendiri tidak perduli apakah
opini ini akan mendapatkan hadiah jalan-jalan ke Jepang atau tidak, yang
terpenting adalah opini ini dapat tersampaikan dan manfaatnya bisa menyejukkan
hati, menentramkan jiwa dan memuaskan akal.
La tahzan! Allah selalu ada bersama
kita! Takbir!
Yogyakarta,
12 November 2014 3.30 WIB
(tulisan ini dilombakan di lomba opini mahasiswa untuk Psychomonth UAD, gak menang sih. Hahaha... yaiyalah, tulisan ngawur gitu)
Komentar
Posting Komentar