Dilema Perda Syariah


Baru saja, saya membahas tentang Kontroversi Perda Syariah di Indonesia di kelas. Sebelumnya, ditayangkan cuplikan acara berita dari salah satu stasiun televisi nasional. Sangat menarik melihat bagaimana para narasumber saling beradu argumen dan terkadang pembawa acara memotong pembicaraan dan kembali memanaskan area pertarungan. Narasumber yang diundang dari partai Islam dan dari partai Nasionalis. Melihat pembawa acara begitu memihak partai Nasionalis dan jarang mempersilahkan partai Islam untuk berbicara, membuat saya terkekeh. Kenapa tidak dari partai Nasionalis saja yang menjadi narasumbernya?
Kembali kepada Kontroversi Perda Syariah di Indonesia. Sejauh saya menyaksikan acara tersebut, saya belum menemukan adanya hal yang salah dengan Perda Syariah. Tidak ada yang secara nyata keberatan atas hal itu. Salah satu walikota bahkan mengatakan, yang meminta Perda Syariah itu adalah dari penduduk itu sendiri. Lalu bagian mananya yang menjadi masalah?
Sebenarnya, dilihat dari segi mengapa banyak dari wilayah di Indonesia menginginkan Perda Syariah. Karena mereka merasa bahwa hukum Indonesia tidak cukup melindungi dan mengamankan mereka. Dibutuhkan suatu hukum yang mampu membuat mereka merasa aman dan terlindungi. Dan berhubung mereka orang Islam dan memiliki kesadaran pentingnya menegakkan syariah, maka dibentuklah Perda Syariah.
Lalu mengapa ada yang menentang? Mayoritas dari mereka beralasan bahwa Indonesia adalah negeri Pancasila, hidup dengan berbagai macam agama dan keyakinan. Tidak bisa ada perda Syariah, itu benar-benar mendiskriminasi non-muslim. Mereka hidup dengan ketidaknyamanan dan ketidaktenangan. Mungkin begitu maksud mereka. Padahal, dilihat juga, non-muslim disana banyak yang tidak keberatan dengan diterapkannya Perda Syariah. Mereka santai-santai saja, karena hal ini menyangkut syariah bukan menyangkut aqidah.
Rasulullah sendiri, ketika berada di Madinah, pusat Daulah Islamiyah, tidak sedikit pun memaksakan aqidah. Yang beliau paksakan hanya Syariah., karena hal itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Tidak semua penduduk Daulah beragama Islam dan Rasulullah tidak mempermasalahkannya. Buktinya, Rasulullah sering melakukan perjanjian kepada kaum Yahudi, meskipun pada akhirnya sering dikhianati dan dilanggar hingga mengakibatkan kaum Yahudi terusir dari Daulah. Juga, Ali ibn Abu Thalib pernah terlambat mengikuti solat Subuh hanya karena berjalan dibelakang seorang kakek Nasrani. Hal itu terjadi karena Ali ibn Abu Thalib menghormati orang yang lebih tua sehingga merasa segan untuk mendahului kakek tersebut. Begitu tahu bahwa kakek tersebut tidak pergi ke masjid dan malah pergi ke gereja, Ali ibn Abu Thalib tidak sedikit pun merasa marah atau pun kesal. Seperti itulah kehidupan beragama di Daulah.
Secara nyata Perda Syariah malah tampak sekulerisme, tanpa kita sadari. Tampak seperti persoalan agama, hanya Perda Syariah yang boleh mengatur hal itu, sementara persoalan negara, maka KUHP dan undang-undang lain yang mengatur hal itu. Benar, ‘kan? Karena tidak semudah itu menerapkan Syariah. Bukan sepotong-sepotong. Islam adalah agama yang sempurna, maka ketika menerapkannya harus sempurna juga. Jika mau menerapkan syariah, maka ubahlah sistem hukum di negeri ini terlebih dahulu.
Lagipula, mengapa banyak orang melakukan kejahatan dengan mudahnya? Bukan karena ada keinginan atau kesempatan, tapi karena mereka telah meremehkan hukum yang diterapkan di negeri ini yang telah dipermainkan oleh aparat negara itu sendiri. Peraturan buatan manusia yang begitu lemah, mudah bagi manusia itu sendiri untuk melanggarnya. Dibutuhkan suatu hukum yang begitu tegasnya. Bukan hukum yang bisa dipermainkan, karena konsekuensinya sangat besar. Dan itulah hukum Allah!
Lihatlah kebelakang, selama 13 abad Islam berjaya dengan gemilangnya. Sinarnya begitu terang menyinari 2/3 dunia, begitu hangatnya. Memberi kebaikan bahkan kepada 1/3 lainnya. Sebagian orang mungkin mengatakan, ‘ah, tidak usahlah mengenang masa lalu. Yang berlalu biarlah berlalu. Ketahuan banget, gak bisa move on!’. Tidak ingatkah kita, alasan para pejuang bersatu untuk melawan penjajah? Salah satunya adalah nostalgia atas kegemilangan kerajaan yang ada di Indonesia. Mereka merindukan rasa persatuan dari berbagai kerajaan. Mereka merindukan kerajaan yang bebas dari penjajah. Mereka merindukan kerajaan yang bisa menyejahterakan negeri. Hanya dengan kekuatan itu mereka bersatu, membebaskan diri dari penjajah. Lalu kapan kita? Kapan kita akan bersatu membebaskan diri dari penjajah yang bernama kapitalisme-sekulerisme? Kapan kita bersatu untuk kembali mengulang masa indah bersama Islam?
Permasalahan kembali kepada kita, apa yang kita mau? Jika mau senang di dunia, maka lakukanlah apa yang ingin kita lakukan. Tapi, jika ingin mendapatkan segala rahmat Allah, maka ikuti perintah Allah. Karena nikmat dunia tidak lebih dari setetes air dilautan di bandingkan dengan surga. Terapkan Syariah secara kaffah, semoga rahmat Allah terus mengalir kepada kita! Wallahu a’lam bi ashawab.


Yogyakarta, 30 September 2014

(tulisan dikirim ke salah satu media cetak di Yogyakarta. Entah diterbitan atau tidak. Tulisan untuk mengopinikan Syariah dan Khilafah pada Indonesia Congress of Muslim Students 2014)

Komentar