.
.
Cerpen ini ditujukan untuk
memenuhi tugas bahasa Indone... #plak. Hehe. Tumben kan aku bikin cerpen? Yah,
anggap aja lagi iseng. Hoho. Sebenarnya udah sering sih. Kan tau sendiri
kerjaan author FF yang kejar setoran para readers?
Kali ini aku tidak membuat
FF, broh! Ini beneran untuk latihan menjadi penulis yang baik dan benar.
Penulis yang akhirnya dielu-elukan (diteriakin elu-elu) oleh para fansnya.
Selama ini kan, aku menulis sesuai mood-mood-an, ternyata itu tidak baik, bro!
Pokoknya Read and Review ya!
^^
.
.
....
“tunaikanlah
perintah Tuhanmu, dan tinggalkanlah kami...”
Aku mendengar kata-kata itu 1
jam yang lalu dan aku masih saja disini. Duduk dibayangan batu besar bersama
perempuan yang baru saja mengatakan hal itu. Ia tampak sangat kelelahan.
Bulir-bulir keringatnya jatuh bagaikan hujan. Nafasnya menderu dengan kencang
mencari udara yang segar. Ia benar-benar kelelahan. Perempuan itu memeluk
bayinya (yang aku perkirakan mungkin berumur 1 tahun) dengan erat. Aku masih
heran ketika melihat bayi itu, apa ia tidak merasa kepanasan?
“tinggalkan saja dia kalau
kau merasa kesusahan.” Ujarku pada perempuan itu yang tentu saja tidak mendapat
jawaban. Lagipula, untuk apa seorang manusia menjawab pertanyaan burung gagak
sepertiku. Aku hanya menggaruk kepala dengan cakarku. Tunggu dulu, siapa nama
perempuan ini? Ha... Ha apa ya? Oh, ya! Hajar! Aku mendengar nama itu dari pria
yang baru saja meninggalkannya dengan raut wajah yang penuh kekhawatiran.
“mau kemana?” tanyaku lagi
pada Hajar. Ia kembali berdiri, memperbaiki gendongannya, dan posisi tudung
kepalanya. Ia kembali berjalan menuju arah yang aku sendiri tidak tahu dimana.
Aku pun segera terbang rendah ke arahnya.
“setahuku disana tidak ada
orang...” celotehku padanya lagi. Aku rasa aku mulai gila. Berbicara pada
seseorang yang tentu saja tidak mungkin (atau lebih tepatnya mustahil bin
mustahal) akan menjawab. Hajar terus berjalan meskipun panas matahari
melelehkannya. Meskipun panasnya pasir membuat kakinya sedikit melepuh. Hajar
terus berjalan meskipun harus terus menggendong anaknya.
“kenapa
kau masih menggendong anak itu? Tinggalkan saja!”
...............................
“apa
maksudmu?”
“ibu
tidak menyayangiku! Ibu lebih menyayangi kakak dari pada aku!”
.............................
Aku mulai lelah. Hajar, apa
kau tidak lelah terus berjalan seperti itu? Ia sudah berjalan selama 2 jam.
Melewati 1 kilometer seorang diri sambil menggendong anaknya. Ah, seberapa
penting sih anak itu? Dia kan hanya seorang anak yang menyusahkan? Lihat saja
rautnya. Ketika ibunya kelelahan menggendongnya, ia masih saja tersenyum.
Benar-benar membuat siapapun jengkel.
“hei, disana ada gua! Ayo,
istirahat!” kami menemui sebuah bukit kecil yang terdapat gua didalamnya. Aku
mengajak Hajar untuk istirahat. Entah karena ia mengerti perkataanku atau
karena instingnya untuk berteduh, ia pun masuk bersamaku.
“hati-hati!” ujarku padanya.
Aku takut ia terjatuh sambil menggendong anaknya itu. Ia lalu duduk dan
bersandar di dinding gua. Ia meletakkan anaknya di sampingnya dan mengambil
gentong kecil yang berisi air. Ia meminum dengan pelan lalu memberikannya untuk
anaknya.
“minumlah...” ujarnya padaku.
Aku sangat terkejut mendengarnya. Aku yang sedari tadi hanya mengikutinya saja
tiba-tiba diberi minum. Aku hanya menatapnya dengan pandangan takut. “tak apa,
minumlah...” ujarnya sambil tersenyum. Aku kembali melihat gentong kecil itu.
Yah, air itu hanya bisa diminum oleh seekor gagak, airnya sangat sedikit. Aku
pun mendekat.
“terima kasih” ujarku. Hajar
hanya tersenyum seperti mengerti apa yang aku katakan. Aku meminum air dari
gentong itu. Dan benar saja, baru saja 5 teguk, air itu sudah habis.
“sst... jangan menangis...”
Hajar menimang-nimang anaknya. Anak itu menangis dengan kencangnya, membuatku
tidak konsentrasi untuk berdiam diri. Begitu nyaringnya sampai-sampai telingaku
berdengung. Hajar segera berdiri dan berlari. Duh, hampir saja ia terjatuh.
“mau pergi kemana?” tanyaku
yang segera terbang rendah mendekatinya. Ia tidak perduli dengan suaraku.
Baginya, suara anaknya yang paling ia dengar. Hanya suara anaknya yang membuat
ia harus bergerak. Hanya anaknya.
Aku masih saja heran. Mengapa
bisa ia menyayangi anak yang nakal itu? Mungkinkah Hajar sendiri tahu mengapa
ia menyayangi anaknya? Kurasa tidak. Karena hampir semua ibu gagak yang kutemui
tidak mengetahui mengapa ia menyayangi anaknya. Begitu pula ibu ular, ibu
kalajengking, ibu unta, dan berbagai ibu lainnya. Mereka tidak tahu.
Hajar terdiam. Ia melihat ada
gunung dihadapannya. Mungkin ia berfikir akan ada air disana. Aku juga berfikir
begitu sih. Hajar lalu menaruh anaknya dipasir dan menoleh padaku yang duduk
didekat anaknya.
“aku akan mencari air, temani
Ismail disini...” ujarnya lalu pergi. Aku hanya bisa terdiam. Melongo. Tidak
tahu harus melakukan apa. Aku hanya bisa diam seribu kata. Apa yang harus
kulakukan? Aku menatap anak yang bernama Ismail ini.
“sst, sst... jangan menangis,
ibumu pergi mencari air. Jangan menangis!” aku mencoba menghiburnya. Tapi,
malang tak dapat ditolak. Ia masih saja menangis. Yah, bagaimana mungkin
seorang anak bisa diam ketika ada seekor gagak yang berada didekatnya. Ia
menyaringkan suara tangisnya, sementara aku sendiri ikut berteriak untuk
menghiburnya. Semakin nyaring dan semakin nyaring.
“oekk.. oekk...”
“koakk.. koakk...”
“oeekk... oekkk...”
“koaaakk... koakkk...”
“oeeekk.. oekkkk...”
“koaakk... koakkkkkkkkkkkk”
Suara kami berdua benar-benar
harmonis, bukan? Suara itu sanggup membuat siapapun datang untuk membantu
Ismail. Tapi sayangnya tidak ada satupun orang yang mungkin datang kesini. Ah,
aku mulai lelah. Suaraku mulai serak. Stress. Mungkin tidak bagi Ismail, ia
semakin kencang menangis. Kaki dan tangannya bergerak dengan aktif.
Mencari-cari dimana letak kesejukkan untuk tubuhnya. Kain yang menelingkupnya
tersingkap. Aku dengan pelan memperbaikinya. Bisa-bisa tubuhnya terbakar kalau
langsung terpapar sinar matahari.
“Diamlah, Ismail! Jangan
nakal!” omelku sambil terus memperbaiki kainnya. Aku melihat ibunya berlari
kesana kemari. Entah berapa kali ia berlari bolak-balik dari sini hingga ujung
sana (aku tidak tahu ia lari darimana kemana).
Aku menatap langit yang
langsung membuatku memicingkan mata. Sinarnya yang begitu terang membuatku
benar-benar... benar-benar... haus dan lelah. Dan... dan... aku... benar-benar
haus.
....................................
“selalu begitu,
mentang-mentang aku anak terakhir, aku tidak dapat air yang banyak!”
“sudah, jangan banyak cerita.
Minum saja air ini...”
“iya... memangnya ibu sudah
minum?”
“sudah. Ibu minum lebih
banyak...”
“Ibu curang!”
“hehe... ibu memang curang!”
“ibu bohong?”
.............................
Aku bosan. Sempat-sempatnya
dalam keadaan panas dan haus ini aku mengatakan kalau aku bosan. Tapi, (sumpah)
aku benar-benar bosan. Aku bosan mendengar suara Ismail yang masih saja
menangis, meskipun kali ini suaranya menjadi sedikit kecil (mungkin ia lelah).
Aku bosan melihat Hajar yang berlari terus. Aku bosan menunggu selama 1 jam!
Aku bosan.
“sudahlah, aku akan mengejar
Hajar. Kau tunggu disini! Jangan lari kemana-mana. Jangan mau dimakan
serigala!” pamitku pada Ismail (yang tentu saja tidak diresponnya). Aku terbang
mencari keberadaan Hajar yang ditelan gunung.
“Hajar!” aku menemukan Hajar
yang masih berlari menuju gunung selanjutnya. “Kembalilah. Aku rasa tidak ada
air disini!” ujarku. Apa dia akan mengerti?
“kenapa kau bisa ada disini?
Siapa yang menemani Ismail?” tanyanya sambil bernapas dengan terburu-buru. Aku
terkejut mendengarnya.
“Hei, Hajar! Kau sudah
benar-benar kelelahan, tahu! Tidakkah kau memikirkan dirimu sendiri? Ismail itu
benar-benar menyusahkan! Dia berteriak terus dari tadi!” ujarku. Ia melanjutkan
perjalanannya. Tidak perduli dengan apa yang aku katakan.
“sudahlah. Tidak ada air
disana!” ujarku lagi. Aku benar-benar lelah mengikutinya. Aku lelah melihatnya
berlari. Bahkan aku lelah melihatnya berusaha! Ah, demi Allah, aku benar-benar
lelah! Mengapa ia terus saja berusaha ketika ia sendiri tahu bahwa tidak ada
air disana? Bukankah ia sudah bolak-balik berlari selama (mungkin) 6 kali?
Kenapa harus berlari lagi? Manusia adalah salah satu ciptaan Allah yang aneh.
Mereka terus saja berusaha meskipun apa yang mereka usahakan tidak mungkin
terjadi. Aneh.
“sebenarnya apa yang terjadi?
Apa terjadi sesuatu pada Ismail?” tanya Hajar yang mungkin juga lelah
melihatku. Ah, terserahlah. Terserah kau mau memaknai teriakkanku seperti apa.
Aku sudah pasrah. Hajar segera berlari pulang. Ia cemas terjadi sesuatu pada
anaknya. Ia benar-benar cemas. Aku bisa melihat hal itu dengan jelas dari raut
wajahnya. Ia berlari. Berlari lebih cepat dari yang tadi. Ia takut Ismail
dimakan serigala yang lapar disiang hari. Tunggu! Serigala?! Memangnya ada serigala?
Sayup-sayup aku mendengar
suara Ismail. Kali ini ia tidak menangis, ia tertawa. Tunggu, mungkinkah ada
serigala yang menggigit perutnya sehingga ia tertawa? Tidak, jangan bodoh!
Seseorang tidak mungkin akan tertawa ketika perutnya digigit oleh serigala. Ia
pasti berteriak! Ah, apa sih yang sebenarnya aku pikirkan? Aku makin menggila
mendengar suara Ismail. Apa dia baik-baik saja? Argh! Kenapa aku khawatir pada
anak nakal itu? Meskipun nakal, dia itu... ah, sudahlah!
“ISMAIL!” Hajar berlari lebih
kencang lagi begitu melihat anaknya berada digenangan air. Air? Sejak kapan ada
air disana? Ismail tidak mungkin buang air sebanyak ini! Aku mendekatinya.
Tidak berbau. Air apa ini? Hajar mengangkat Ismail dan segera meraih air itu.
Tidak berbau dan tidak berwarna. Ia menggapai-gapai dasarnya. Semakin ia gapai,
air itu semakin deras mengalir. Apa itu? Aku mencoba merasakannya.
“enak!” ujarku. Air ini tidak
memiliki warna, bau dan rasa. Tapi entah kenapa bagiku sangat enak. Mungkin
karena aku haus. Entahlah. Aku melihat Hajar. Hajar? Kenapa kau menangis?
“Subhanallah!” ujarnya sambil
dengan erat memeluk Ismail. Tunggu dulu, apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak
mengerti. Sebenarnya, siapa kalian? Siapa anak itu? Pantas saja aku merasa
tidak sedikit pun membencinya, meskipun dia nakal (bagiku). Tapi, kenapa? Siapa
dia?
Tak terasa, Hajar terus
berdoa sambil menggendong anaknya. Aku tidak mengerti. Aku sama sekali tidak
mengerti. Apakah itu berarti usaha Hajar tidak ada gunanya selama ini? Ketika
ia berlari sebanyak 7 kali, bolak-balik dari satu gunung ke gunung lainnya.
Mengapa Ismail dengan mudahnya bisa mendapat air? Ia hanya menangis selama
berjam-jam dan akhirnya keluar dari bawah kakinya?
“Gagak, kita sudah punya
cukup air untuk minum. Kau boleh meminumnya...” ujar Hajar padaku sambil
mengusap garis dari air matanya di pipi. Ia mulai mengambil air dengan gentong
kecilnya dan meminumkannya untuk Ismail. Aku tidak mengerti, tapi terserahlah,
aku minum saja.
..........................
“kita
harus mencari air!”
“tapi
tidak ada air disini!”
“ah,
sudahlah... aku cari saja sendiri...”
“tunggu,
nak! Jangan pergi!”
...........................
Aku baru ingat. Teringat pada
tujuanku hingga akhirnya aku terpisah dari kawanan. Aku pergi karena aku sudah
tidak tahan berada di kawanan. Aku bosan karena aku adalah yang paling muda di
antara mereka. Pada akhirnya, aku selalu diganggu dan diperintah-perintah.
Memuakkan! Bahkan ibuku juga lebih memihak kakak-kakakku dari pada aku sendiri!
Benar-benar menyebalkan!
Aku melihat Hajar tersenyum
dengan Ismail yang juga tersenyum. Pemandangan apa itu? Membuatku kesal saja.
Hei, apa kalian tahu? Aku disini adalah makhluk yang kurang kasih sayang, tahu!
Bahkan sekarang aku sudah terpisah dari ibuku!
“kau tahu gagak?” tegur Hajar
padaku. “aku pikir aku akan menemui hal buruk ketika melihatmu, namun tampaknya
Allah tidak berkata begitu. Aku senang bertemu denganmu. Terima kasih sudah
menjaga Ismail” senyumnya lagi. Padahal aku tidak melakukan apa-apa.
“bukan masalah...” jawabku.
Mungkin Hajar tidak mengerti tapi dia terus tersenyum.
“mengapa kau sendirian? Mana
kawananmu?” tanya Hajar mengejutkanku. Benar. Dimana kawananku? Aku sendiri
juga tidak tahu. Aku hanya bisa menunduk sambil melihat bayanganku di air yang
terus mengalir itu. Bayangan seekor burung hitam kecil yang selalu dianggap
sial oleh makhluk sombong bernama manusia. Bayangan seekor burung hitam kecil
yang selalu diganggu. Seekor burung hitam kecil yang kehilangan kawanannya. Dan
bayangan seekor burung hitam kecil yang kesepian.
“kau bisa ikut denganku
sampai bertemu dengan kawananmu...” ujar Hajar. Aku hanya bisa menggeleng.
“tidak, terima kasih...”
jawabku. Mungkin aku selamanya akan menjadi gagak yang kesepian. Tumbuh kembang
besar dan menjadi tua seorang diri, hingga akhirnya mati ditelan usia. Atau mungkin
suatu ketika akan dimakan oleh serigala atau kucing gurun pasir. Entahlah.
Begitu melihat Hajar yang
sesekali bersenandung untuk Ismail aku kembali termenung. Kurasa tidak semua
apa yang kita inginkan akan langsung terkabul. Buktinya, ia sudah bolak-balik
berlari dari satu gunung ke gunung lainnya untuk mencari air, namun hasilnya
nihil. Memprihatinkan. Tidak semua yang kita dapatkan itu sesuai dengan harapan
kita.
Melihat Ismal yang tersenyum
itu malah membuatku tambah kesal! Bagaimana bisa ia begitu mudahnya mendapatkan
apa yang ia inginkan? Ah, kenapa aku marah-marah pada seorang bayi? Apa
salahnya? Sudahlah. Dalam diam aku tersenyum juga. Lagipula dia adalah
satu-satunya harta yang diberikan oleh Allah kepada ibunya.
“Oi... kalian!” suara berat
seorang laki-laki dan derap langkah suara kuda membuatku dan Hajar memalingkan
wajah menuju sumber suara.
“oii... kaliaannn... apa yang
terjadi?”
“apa disana ada air?”
“ada seorang perempuan dan
anaknya!”
“apa kalian baik-baik saja?”
Dan berbagai pertanyaan lain
yang belum sempat dijawab oleh Hajar. Tapi, aku rasa orang-orang ini pastilah
orang-orang yang baik. Mereka dengan segera mendirikan tenda dan memberikan
makanan pada Hajar. Kurasa, Allah memang benar-benar menyayangi Hajar dan
Ismail. Dia sama sekali tidak membiarkan Hajar dan Ismail tanpa
perlindungan-Nya.
“baiklah... kurasa saatnya
bagiku untuk pergi dan mencari kawananku!” ujarku dan segera pergi meninggalkan
mereka. Yah, lagipula aku tidak punya urusan lagi.
........................................
“darimana
saja kamu?”
“dari
tempat yang jauh... aku menemukan air. Apa mau minum?”
“benarkah?
Ayo kesana!”
“Ibu...”
“hem?”
“maafkan
aku...”
“sudah,
jangan banyak bicara. Tunjukkan saja tempatnya!”
“ibuuuu...
aku benar-benar minta maaffff...”
“eh,
kenapa menangis. Cepat, tunjukkan jalannya!”
“ibu
sama sekali tidak lembut!”
“seperti
tidak mengenal ibu saja.”
...................................
--- The End ---
......................................
--- The End ---
......................................
.
.
Oh yeah! Begitulah... haha...
cerita yang menarik, bukaann?? (reader : bukaaann..)
Btw, sekarang musim hujan ya,
membuat siapapun (atau hanya aku?) merasa sangat lapar dan rasa lapar itu
berlanjut terus-menerus. Membuat dompet menjadi was-was karena semakin menipis.
Kebutuhan perut tidak sinkron dengan isi dompet. Bisa-bisa dimarahin ibu gara-gara
makin kurus. Adakah seseorang yang baik hati, mau memberikan makanan buat
seorang putri dalam masa pertumbuhan ini? Apalagi BBM pake acara naik harga
segala, songong banget gak, sih? (author semakin OOT, bung!)
Yah, daripada semakin OOT... Pokoknya,
thanks for coming dan RnR ya ^^
.
.
.........................................
yoshiokaaa.... awal baca kukiraaa... tapi ternyataaa... good good..
BalasHapuslanjutkann.. ada sambungannya ga yaa?
ganbatte!!! :D
sudah habis tuh... hus hus pergi sana
Hapushehe... thanks for coming